19 September 2022 23:09 WIB
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Akbar Wijaya
Geng-geng preman di Haiti bersaing memperebutkan wilayah dengan cara kekerasan dan polisi tak berdaya menghentikannya.
Kekerasan yang dilakukan geng preman di kawasan-kawasan miskin menjalar ke Ibu Kota Haiti Port au Prince. Para preman mendatangi ibu kota dengan sepeda motor dan membawa senapan serbu.
The Guardian melaporkan kekerasan oleh geng preman sudah berlangsung sejak Mei. Mereka mulai memasuki pusat ibu kota dan memegang kendali sejumlah wilayah pada Juli.
Para preman juga tak segan menculik anak-anak, memperkosa wanita yang mereka inginkan. Pada 11 September lalu dua wartawan Haiti ditembak mati dan tubuh mereka dibakar saat meliput sebuah kawasan kumuh, Cite Soleil, yang dikendalikan geng preman di ibu kota.
Para korban diidentifikasi sebagai jurnalis Tayson Latigue, yang bekerja untuk publikasi digital Ti Jenn Jounalis, dan Frantzsen Charles, seorang reporter FS News Haiti. Al Jazeera melaporkan hingga kini jenazah kedua wartawan nahas itu belum ditemukan.
Perdana Menteri Haiti Ariel Henry mengecam serangan preman terhadap wartawan.
"Kami mengutuk keras tindakan biadab ini, sambil mengirimkan perhatian tulus kami kepada keluarga para korban dan rekan-rekan mereka," tulisnya di Twitter pada Senin (12/9/2022).
Pembunuhan jurnalis di Haiti bukan kali ini saja terjadi. Pada bulan Januari, dua jurnalis Haiti, Wilguens Louissaint dan Amady John Wesley, dibunuh oleh geng preman di pinggiran Port-au-Prince.
Louissaint dan Wesley juga dilaporkan dibakar hidup-hidup oleh kelompok bersenjata di Laboule 12, sebuah lingkungan yang telah menjadi lokasi kekerasan berbagai geng.
Pembunuhan jurnalis di Haiti juga pernah terjadi pada April 2000 lalu. Jean Dominique, reporter terkenal di Haiti pada kala itu mati dengan penyebab yang masih menjadi misteri.
Kekerasan, bencana alam, dan ketidakstabilan politik sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-hari rakyat Haiti selama beberapa dekade. Namun dalam beberapa bulan terakhir, kekacauan sosial ekonomi dan politik membuat situasi runyam ini semakin menjadi-jadi.
Haiti menjadi negara pertama di Karibia yang dipimpin masyarakat kulit hitam usai mengusir penjajah Prancis pada abad ke-19.
Namun setelah merdeka sejarah negara ini justru diwarnai kekerasan. Mulai dari perseteruan dengan tetangga mereka, Republik Dominika, hingga konflik internal pada 1957-an, ketika Haiti dipimpin diktator Duvalier atau “Papa Doc”.
Papa Doc mengambil alih kekuasaan dengan dukungan militer dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Rezim Papa Doc secara luas dipandang sebagai salah satu yang paling korup dan represif dalam sejarah modern Haiti.
Lepas dari Duvaliver, ternyata Haiti jatuh ke tangan yang lebih represif yakni putra Duvaliver, Jean-Claude, atau "Baby Doc."
Dia memanfaatkan kepercayaan tradisional Haiti pada voodoo untuk membentuk milisi pribadi bernama Tonton Macoutes, nama ini diambil dari mitos tentang zombie yang bangkit dari kematian dan sangat ditakuti sekaligus dibenci masyarakat Haiti.
Selama 28 tahun berkuasa Papa Doc dan Baby Doc menggunakan Tonton Macoutes untuk membunuh antara 30.000 dan 60.000 orang Haiti. Mereka juga memperkosa, memukul, dan menyiksa masyarakat.
Tahun 2010, gempa bumi di Haiti menewaskan hingga 300.000 orang. Meskipun ada upaya bantuan internasional, negara ini tetap saja kewalahan, dan mengalami masalah politik, sosial dan ekonomi yang memburuk.
Politik semakin tak stabil ketika Presiden Jovenel Moïse dibunuh pada Juli 2021, yang mengakibatkan lonjakan kekerasan dan kesengsaraan rakyat.
Gejolak politik, harga pangan yang tinggi dan inflasi yang meningkat juga memperburuk krisis kemanusiaan di Haiti.
Kantor perwakilan PBB di Haiti mengatakan 540 orang diculik dan lebih dari 780 orang tewas antara Januari dan Mei 2022. Dalam lima bulan terakhir tahun lalu, 396 orang diculik dan 668 tewas.
Tahun 1995, kelompok-kelompok paramiliter bermunculan ketika tentara Haiti yang tak dipercaya lagi dibubarkan karena jejak berdarah mereka.
Kelompok paramiliter ini semakin kuat dan besar, seiring pemerintah yang kehilangan kendali atas negaranya.
Pada tahun 2017, mendiang Presiden Moise membangun kembali tentara, tetapi ukurannya hanya sekitar 500 tentara, yang tentu tak bisa menandingi meningkatnya peningkatan keanggotaan geng, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 20.000 hingga 30.000.
Pasukan polisi Haiti, yang berjumlah sekitar 15.000, juga tidak memadai untuk menanggapi meningkatnya kekuatan geng.
Dua aliansi geng terkenal yang berseteru memperebutkan wilayah yaitu dikenal sebagai G9 dan G-Pèp.
Pemimpin G9 adalah mantan perwira polisi yang menjadi bos kriminal, Jimmy Chérizier, juga disapa akrab sebagai Barbecue.
Gengnya telah menduduki terminal bahan bakar minyak (BBM) terbesar di negara itu dan menjadi mafia jalur distribusi yang menciptakan krisis pasokan.
Cherizier pernah menuntut Perdana Menteri negara itu, Ariel Henry, untuk mengundurkan diri dan menyerahkan 50 juta dolar kepadanya untuk memulihkan distribusi bahan bakar di Haiti.
Bahkan Cherizier mengklaim bahwa gengnya lebih merupakan komunitas politik daripada kelompok kejahatan terorganisir.
“Pertarungan kita adalah pertarungan politik. Kami adalah kelompok politik bersenjata,” kata pemimpin geng itu tahun lalu.
Cherizier yang juga mengklaim gengnya sebagai pendukung kaum miskin Haiti, diduga mendalangi serangan brutal di La Saline, salah satu lingkungan termiskin di ibu kota, menewaskan sedikitnya 71 orang pada 2018.
Serangan itu diduga dilakukan untuk membungkam anggota oposisi politik, yang mungkin memiliki hubungan dengan geng lain.
Sekarang kekerasan merebak di seluruh ibu kota, mencapai provinsi yang dulu damai, dan menggusur ribuan keluarga.
The New York Times mengatakan bagian dari ibu kota sekarang sangat berbahaya sehingga banyak penduduk telah melarikan diri, dan hanya sedikit orang yang keluar pada siang hari.
KOMENTAR
Latest Comment