Tim Advokasi untuk Demokrasi: Tuntutan Jaksa ke Fatia-Haris Membela Kepentingan Luhut Bukan Publik

13 November 2023 21:11 WIB

Narasi TV

Tangkapan layar Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar tengah mendengarkan pembacaan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cakung, yang ditayangkan secara daring, Senin (13/11/2023). Dalam persidangan itu, Haris Azhar dituntut 4 tahun penjara karena diduga telah melakukan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut B Pandjaitan. ANTARA/Syaiful Hakim

Penulis: Ramadhan Yahya

Editor: Akbar Wijaya

Kasus kriminalisasi terhadap dua aktivis: Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) akhirnya sampai
pada tahap pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur Senin (13/11/2023).

Sebelum jaksa membacakan tuntutannya tim kuasa hukum Fatia-Haris sempat mengajukan alat bukti surat yang telah dihadirkan dalam persidangan sebelumnya pada proses pemeriksaan saksi dan ahli.

"Alat bukti surat ini bertujuan untuk memperkuat pembuktian bahwa Fatia dan Haris tidak bersalah dan harus dinyatakan bebas dari segala dakwaan," tulis tim kuasa hukum Advokasi untuk Demokrasi Fatia-Haris yang terdiri dari Asfinawati, Nurkholis Hidayat, Muhammad Isnur, Andi Muhammad Rezaldy dalam siaran pers, Senin (13/11/2023).

Tim kuasa hukum menilai pembukaan surat penuntutan Jaksa sangat tendensius karena menyebutkan berhenti menggunakan isu Hak Asasi Manusia (HAM), anti korupsi dan lingkungan di Papua
sebagai dalih untuk lari dari pertanggungjawaban pidana.

Tim kuasa hukum juga menyoroti narasi Jaksa yang menyerang cara-cara penasihat hukum dan penonton yang dianggap membuat kegaduhan.

"Hal ini sangat problematik, sebab Jaksa bukan hanya menjatuhkan
martabat Fatia dan Haris, akan tetapi menjatuhkan rasa solidaritas yang terbangun di antara kelompok masyarakat sipil," lanjut tim kuasa hukum.

Tim kuasa hukum juga keberatan dengan penilaian jaksa yang mempermasalahkan sesi pembuktian saksi dan ahli karena dianggap tidak objektif dan tidak berdasarkan sumpah. Tuduhan ini bagi mereka sungguh serius, selain meragukan kapasitas saksi dan ahli yang kami hadirkan, hal ini pun menuduh bahwa keterangan saksi dan ahli yang kami hadirkan manipulatif serta berbohong.

"Padahal, sikap saksi dan ahli yang kami hadirkan sejauh ini sangat kooperatif dan menjawab seluruh pertanyaan. Adapun pertanyaan yang tidak dijawab merupakan respon dari saksi dan ahli kami atas
pertanyaan bodoh serta tidak perlu yang disampaikan oleh JPU," kata tim kuasa hukum Fatia-Haris,

Jaksa juga dinilai mengesampingkan proses pembuktian di persidangan saat membacakan tuntutannya. Jaksa, lanjut tim kuasa hukum Fatia-Haris, sama sekali tidak menyinggung persoalan kebebasan berekspresi, konflik kepentingan pejabat hingga narasi Anti-SLAPP yang telah
disampaikan pada proses pembuktian.

"Jaksa pun mengenyampingkan fakta podcast yang berbasis riset berupa kajian cepat masyarakat sipil. Proses pembacaan tuntutan pada sidang kali ini pun kian menegaskan bahwa Jaksa betul-betul membela kepentingan Luhut, bukan kepentingan publik," ujar kuasa hukum Fatia-Haris.

"Jaksa menyampaikan bahwa Luhut sama sekali tidak terlibat dalam praktik pertambangan di Papua. Padahal, dalam proses pembuktian saksi yang dihadirkan oleh Jaksa sendiri yakni Paulus Prananto
mengakui bahwa perusahaan yang dimiliki Luhut pernah menjajaki kesepakatan bisnis pertambangan di Intan Jaya dengan West Wits Mining dan PT Qurrota Madinah Ain."

Tim kuasa hukum Fatia-Haris juga menyoroti pernyataan jaksa dalam tuntutannya yang menyatakan pemberian label Pembela HAM bukan alasan pembenar dari tindakan yang dilakukan oleh Fatia-Haris melanggar hak, martabat dan nama baik Luhut.

"Paradigma ini lagi-lagi keliru, sebab kritik yang disampaikan oleh kedua pembela HAM ini dalam kapasitas Luhut sebagai pejabat publik bukan individu. Argumentasi soal penghinaan pejabat publik dari Jaksa pun sekali lagi menegaskan biasnya Jaksa dalam menuntut kasus ini," kata tim kuasa hukum Fatia-Haris.

Pernyataan ini menuru tim kuasa hukum Fatia-Haris sejalan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri yang menyatakan bahwa korban sebagai pelapor merupakan orang perseorangan dengan identitas spesifik dan bukan profesi, institusi, korporasi dan jabatan.

Tim kuasa hukum Fatia-Haris menilai isi dakwaan Jaksa lebih ‘Luhut’ daripada Luhut, karena dalam beberapa kesempatan
menyebutkan perasaan Luhut yang tersinggung, nama baik yang tercemar dan sikap batin Luhut lainnya.

"Hal ini sangat berlebihan, sebab jika dilihat dari track recordnya, Luhut
merupakan mantan Jenderal yang berkarir puluhan tahun di institusi kemiliteran. Hal-hal yang Jaksa bacakan terkait perasaan Luhut dilebih-lebihkan dan terlihat sekali ingin menjerat Fatia dan Haris atas dasar perasaan serta kepentingan korban," kata mereka.

Tim kuasa hukum Fatia-Haris juga menilai tuntutan Jaksa mengada-ngada, sebab banyak fakta dan dalil yang disusun secara
sembarangan. Misalnya, Jaksa menyatakan bahwa Fatia terlibat aktif dalam penyusunan konten terbukti dari tindakan menyusun catatan-catatan yang berisi nama-nama yang akan disebutkan pada saat sebelum podcast dilakukan.

"Dalil ini tentu saja tidak benar, sebab faktanya, Fatia saat video tersebut direkam Fatia hanya membawa kajian cepat 9 masyarakat sipil," ujar mereka.

Berdasarkan surat tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, tindakan Haris Azhar pada intinya dinyatakan telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo. UU ITE Pasal 55 ke (1) KUHP. Haris dituntut 4 tahun penjara dan denda 1 Juta Rupiah subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, Jaksa juga meminta agar link youtube Haris Azhar dihapus dari
jaringan internet. Sementara itu, Fatia dinyatakan telah bersalah melanggar pasal yang sama dengan Haris. Tuntutan yang dimohonkan oleh JPU kepada Fatia yakni selama 3 tahun 6 bulan.

“Kami menilai bahwa tuntutan ini jauh dari objektif, sebab didasarkan pada ketidaksukaan, bukan pada pertimbanga-pertimbangan hukum yang relevan. Fakta-fakta yang dijabarkan pun sangat tendensius dan penuh dengan karangan," kata tim kuasa hukum Fatia Haris.

Tim kuasa hukum juga menilai jaksa keliru mengostruksi analisis karena didasarkan fakta-fakta yang salah. Jaksa tidak sama sekali menyinggung substansi terkait kerusakan lingkungan hidup, masyarakat adat, hingga
kekerasan di Papua.

"Justu, Jaksa menyatakan semua isu yang diangkat merupakan rekayasa," kata mereka.

Bagi tim kuasa hukum tuntutan jaksa mencederai dan melecehkan martabat perjuangan masyarakat sipil khususnya di Papua.

“Kami menilai bahwa tuntutan Jaksa merupakan bagian dari Malicious Prosecution, sebab tuntutan ini tidak berdasarkan hasil-hasil pembuktian di persidangan. Tuntutan yang dibacakan Jaksa memiliki muatan permusuhan pribadi, bias, atau alasan lain di luar kepentingan keadilan," kata Nurkholis Hidayat dari Tim Advokasi untuk Demokrasi.

Hal ini dapat dilihat dari tuntutan pidana maksimal yakni penjara 4 tahun dan Jaksa menyatakan bahwa tidak ada satupun alasan
yang meringankan.

“Tuntutan ini merupakan bentuk menginjak-nginjak hukum sekaligus alarm berbahaya bagi situasi demokrasi khususnya kebebasan sipil di Indonesia. Selain itu, tuntutan ini kian mempertegas bahwa Jaksa merupakan institusi penegak hukum yang memberikan sumbangsih besar terhadap buruknya situasi HAM, khususnya kebebasan dalam
berpendapat," ujar Muhammad Isnur.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR