25 Maret 2023 15:03 WIB
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
Keputusan DPR menerima Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menuai pro dan kontra.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dengan enteng mengatakan mereka yang tidak suka UU Ciptaker silakan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Bagi yang kemudian menolak Perppu menjadi undang-undang kemudian menggunakan hak konstitusionalnya, bisa kembali menggugat ke Mahkamah Konstitusi,” kata Dasco pada Jumat (24/3/2023).
Pernyataan Dasco seperti reka ulang 2020 silam. Saat itu Presiden Jokowi mempersilakan mereka yang tak puas dengan cetakan awal UU Ciptaker untuk mengajukan gugatan kepada MK.
“Jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK” kata Jokowi dalam siaran persnya (9/10/2020).
Hasilnya, sekelompok masyarakat sipil mengajukan gugatan dan MK menyatakan UU Ciptaker cacat formil dan inskonstitusional bersyarat pada 2021.
Selang satu tahun kemudian presiden mengeluarkan Perppu Ciptaker yang kemudian diloloskan DPR dan sekarang menjadi UU Ciptaker.
Bukan cuma dalam UU Ciptaker, narasi "gugat saja ke MK" juga disampaikan dalam pro dan kontra pengesahan revisi UU KUHP menjadi UU.
Di tengah kontroversi, Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly mempersilakan mereka yang tidak setuju dengan hukum tersebut untuk menggugat di MK.
“Kalau pada akhirnya nanti (masih ada tentangan) saya mohon gugat saja di Mahkamah Konstitusi. Lebih elegan caranya,” ujar Yasonna (5/12/2022).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadah Mada Zainal Arifin Mochtar menyatakan MK bukan kantong sampah dari undang-undang ngawur buatan DPR dan Pemerintah.
Zainal menegaskan mekanisme gugatan ke MK tidak dapat menegasikan kewajiban pemerintah dan DPR untuk membuat produk hukum yang baik dan sesuai aturan yang ada.
DPR dan pemerintah, kata Zainal, bertanggung jawab penuh untuk membuat produk hukum yang berkualitas dan sesuai dengan perundang-undangan, yakni partisipasi publik yang memadai dan bermakna.
“Jangan sampai ucapan ke MK ini menegasikan kewajiban pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang yang baik. Pemerintah dan DPR itu punya kewajiban untuk bikin undang-undang yang bagus. Jangan sampai MK dijadikan kantong sampah,” kata Zainal kepada Narasi, Kamis (24/3/2023).
Menurut Zainal mekanisme gugatan kepada MK bukan alasan bagi DPR dan pemerintah untuk ugal-ugalan membentuk undang-undang.
Sebab tupoksi legislator adalah membuat undang-undang yang sesuai dengan aspirasi dan keinginan publik, bukan hanya keinginan DPR dan Pemerintah.
“(Seakan-akan) ‘saya boleh ugal-ugalan toh nanti ada MK’ ya tidak bisa begitu logikanya. Logikanya adalah kewajiban itu adalah bikin UU yang bagus, syaratnya? Partisipasi publik yang memadai dan meaningful,” jelasnya.
Zainal menilai respons DPR juga bertolak belakang dengan pengesahan Perppu Cipta Kerja yang dengan sendirinya melangkahi mekanisme gugatan MK, alih-alih melaksanakan hasil gugatan yang memutuskan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat.
“Saya kira kasus ini anakronik. Di satu sisi mereka mengatakan silahkan ke MK, di sisi lain mereka tidak patuh sama putusan MK. Jadi ngapain orang ke MK kalau dia sendiri tidak patuh dan malah menciptakan mekanismenya sendiri?” kata Zainal.
Menurut Zainal, DPR juga telah mementahkan mekanisme judicial review MK melalui kontroversi pencopotan hakim MK Aswanto. Sebab Zainal menilai pemecatan hakim di tengah masa jabatannya adalah bentuk ‘ancaman’ bagi kewenangan MK yang seharusnya berperan sebagai mekanisme korektif atas tugas-tugas DPR.
“Ini jadi semakin nggak jelas aja. Mana mungkin menyuruh ke MK tapi pada saat yang sama kalau MK macam-macam ‘diancam’ akan berhentikan MK di tengah jalan. Jadi dia suruh naik ke MK, padahal MK sendiri diancam. Kepalanya dilepas buntutnya dipenggal” ujar Zainal.
Hal senada juga diungkapkan oleh ahli hukum pidana dan HAM Asfinawati. Menurutnya, DPR dan pemerintah tidak bertanggung jawab saat menyuruh masyarakat untuk menggugat hasil undang-undang yang mereka buat.
“Pernyataan yang sangat mudah menyuruh masyarakat untuk menguji sebuah undang-undang ke MK itu dangat nggak bertanggung jawab” ujar salah satu pimpinan Sekolah Tinggi Hukum Jentera tersebut (24/3/2023)
Menurutnya, respon tersebut hanya menunjukkan tendensi DPR dan pemerintah untuk tidak mendengar masukan masyarakat. Sebab sebelumnya MK pun telah memutuskan UU tersebut sebagai inkonstitusional bersyarat.
“Jadi sebetulnya ini tendensinya memang tidak mau mendengarkan masukan masyarakat,” katanya.
Asfinawati juga menilai hal tersebut bahkan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang mengatakan pemulihan bukan hanya harus melalui pengadilan, tetapi juga melalui eksekutif review.
Dari Kontrol Jadi Stempel
Sikap DPR yang seakan mengandalkan MK untuk ‘bersih-bersih’ juga menegasikan tupoksinya sebagai institusi kritis terhadap kebijakan pemerintah. Sebab kontrol atas keputusan pemerintah hanya tupoksi MK, tetapi juga DPR.
Menurut Zainal pengesahan Perppu Cipta Kerja mensinyalir hilangnya fungsi kontrol DPR menjadi sekedar institusi stempel.
“Bahaya ketika presiden bikin perppu, harusnya yang kontrol DPR. Tapi ternyata DPR-nya harusnya kontrol, tidak berjalan, jadi stempel. Menggeser mekanisme kontrol jadi stempel itu yang problem,” ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut menjadi kegagalan eksekusi sistem presidensialisme atau perils of presidentialism. Dimana ekuatan DPR yang diharapkan menjadi pengontrol pemerintah malah kerap ‘dibunuh’ oleh DPR.
“Itu yg disebut the perils of presidentialism.. Niscayanya sistem presidensial membutuhkan pengontrol (bisa juga dibaca oposisi) yang seimbang. Masalahnya di kita, oposisi dibunuh dengan masukkan semuanya ke koalisi pemerintahan,” katanya.
KOMENTAR
Latest Comment