29 November 2023 14:11 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Rizal Amril
Virus pneumonia misterius tengah melanda China. Virus ini menyerang pernapasan di kalangan anak-anak dan membuat mereka harus dirawat di rumah sakit. Lonjakan kasus yang signifikan ini memunculkan kekhawatiran global akan ancaman pandemi baru seperti Covid-19.
Laporan peningkatan kasus pneumonia pertama kali diungkapkan oleh Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok pada Senin (13/11/2023).
Jumlah pasiennya terus meningkat dari minggu sebelumnya yang hanya 127 klaster. Selanjutnya, Program for Monitoring Emerging Diseases (ProMED) juga melaporkan hal serupa di kawasan China utara.
Ruang tunggu rumah sakit kawasan Beijing dilaporkan telah dipenuhi orang-orang yang ingin memeriksakan anaknya.
Bahkan, beberapa dari mereka harus menunggu sambil menggunakan infus. Melansir NBC News, seorang orang tua pasien bernama Emma Wang menyebut harus menunggu 2-3 jam untuk menemui dokter. Padahal, biasanya waktu tunggu hanya setengah jam.
“Saya tahu 4-5 keluarga yang mengalami situasi seperti ini. Saya sangat khawatir virus ini akan terus menyebar,” ujar Emma.
Akibat kasus pneumonia ini, sekolah terpaksa libur selama satu minggu jika ada murid yang sakit. Pihaknya juga mengingatkan agar orang tua murid lebih berhati-hati dalam mencegah dan menangani kasus pneumonia yang menjangkiti anaknya.
ProMED menyebut gejala pneumonia di China tak disertai batuk. Anak-anak yang menderita pneumonia mengalami nodul paru, sebuah benjolan kecil yang berada di paru-paru.
Benjolan ini bukanlah virus, tetapi bisa disebabkan oleh orang yang terkena infeksi bakteri setelah terserang virus seperti flu.
Menurut Kementerian Kesehatan China, penyebab pneumonia bukanlah sesuatu yang baru. Ini bisa disebabkan oleh tumpang tindih virus yang sudah ada sebelumnya. Berikut ini virus penyebab pneumonia:
Epidemiolog dr. Dicky Budiman, M.Sc, PH., menyebut bakteri inilah yang menyebabkan peningkatan kasus pneumonia.
Bakteri ini bisa diterapi dengan antibiotik sehingga tak harus perawatan di rumah sakit. Namun, laporan dari Taiwan justru menyebut bahwa bakteri mycoplasma sudah resisten dan kebal dari antibiotik.
Menurut dr. Dicky, kasus influenza menurun saat pandemi COVID-19. Namun, ketika protokol kesehatan COVID-19 dicabut, perilaku masyarakat membuat influenza meningkat.
Selanjutnya adalah infeksi RSV dan adenovirus yang cukup berat bagi anak-anak.
Virus ini menyebabkan infeksi pada paru-paru dan saluran pernafasan. Gejalanya mulai dari flu, demam, sakit tenggorokan, pneumonia, dan lain-lain.
Menanggapi peristiwa ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan upaya peningkatan kewaspadaan akan risiko penularan pneumonia. Langkahnya adalah dengan edukasi dan pengawasan bahan makanan produk hidup.
Dalam hal ini, Kemenkes memiliki sistem bernama Influenza Like Illness (ILI) dan Severe Acute Respiratory Infection (SARI). Sistem ini akan dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas untuk mengawasi gejala yang menyerupai pneumonia.
“Kalau orang sakit influenza, dia sembuh sendiri dan nggak perlu dirawat berat. Makanya kita punya SARI itu untuk memantau kasus-kasus influenza yang dengan tiba-tia dia jadi berat atau dia jadi bergejala berat,”ujar Kepala Biro Komunikasi Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi pada Selasa (28/11/2023).
Upaya meningkatkan kewaspadaan ini juga sesuai dengan anjuran WHO.
Oleh karena itu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan kembali seperti mencuci tangan, menjaga perilaku hidup bersih, dan menggunakan masker jika sedang tidak sehat.
KOMENTAR
Latest Comment