Presiden Jokowi: Saya Sudah Bisiki Menkes Permudah Pendidikan Dokter Spesialis

23 Mar 2023 11:03 WIB

thumbnail-article

Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Foto: Dok. Sekretariat Kabinet RI

Penulis: Advertorial

Editor: Advertorial

Situasi kesehatan di Indonesia masih mencatat adanya sebagian masyarakat mengalami kesulitan dalam mendapatkan fasilitas kesehatan, terutama di daerah terpencil dan kepulauan.

Salah satu yang jadi permasalahannya adalah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, terutama soal dokter spesialis. Selain itu, ada perkara soal standar dan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang belum memadai. Kondisi itu semakin parah dengan belum meratanya sebaran rumah sakit yang mampu mengobati penyakit katastropik.

Data Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI menyebut dari 3.134 rumah sakit (RS) yang ada di Indonesia, hanya terdapat 69 RS kelas A dan 432 RS kelas B. RS kelas A mampu memberikan pelayanan hingga tingkat subspesialis, sementara RS kelas B dapat memberikan layanan spesialis lebih memadai.

“Krisis” dokter spesialis

Bukan hanya perkara belum meratanya pelayanan kesehatan kelas RS di Indonesia. Masalah lain yang dihadapi adalah belum meratanya ketersediaan jumlah dokter spesialis di fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh wilayah. 

Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), hanya ada sekitar 97.000 dokter spesialis di Indonesia. Jumlahnya bervariasi dari satu spesialis dengan spesialis lainnya, ataupun antar satu wilayah ke wilayah lainnya.

Khusus untuk dokter spesialis onkologi radiasi (dokter dengan kemampuan khusus dalam terapi radiasi untuk penyakit kanker) misalnya, data KKI mencatat jumlahnya hanya ada 146 di seluruh Indonesia. Itupun persebarannya tidak merata. Sebanyak 133 atau 77 persennya ada di Pulau Jawa. Wilayah DKI Jakarta tercatat yang memiliki dokter spesialis onkologi radiasi paling besar, yakni sebanyak 54 atau 37 persen.

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin membeberkan salah satu penyebab kurangnya dokter spesialis di Indonesia. Model pendidikan dokter spesialis di Indonesia masih berbasis universitas, sehingga calon dokter spesialis harus membayar kuliah. 

“Indonesia satu-satunya negara di dunia, dokter spesialis harus bayar ke Fakultas Kedokteran. Itu sebabnya jumlahnya jadi sedikit. Di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Singapura, hingga Australia, pendidikan dokter spesialis gratis,” kata Budi.

“Di Indonesia, kursi spesialis langka dan mahal,” ucap Menkes dalam peresmian Mayapada Hospital Bandung, Senin (06/03/2023).

Kondisi ini ditambah dengan pendidikan kedokteran spesialis hanya berbasis perguruan tinggi. Sementara itu, hanya sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki Fakultas Kedokteran. Menkes Budi mencatat, dari 514 kabupaten/kota hanya ada 20 Fakultas Kedokteran.

Karena itu, upaya perbaikan dan pembaharuan regulasi kesehatan yang ada saat ini menjadi penting. Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) misalnya, dapat diarahkan untuk mempermudah pendidikan, hidup dan karier dokter, yang pada akhirnya memperbaiki layanan kepada masyarakat.

Menkes Budi sebelumnya bilang pemerintah bakal mengubah basis proses Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS menjadi berdasarkan pendidikan belajar sambil bekerja di rumah sakit. Perubahan basis ini akan mempercepat penambahan jumlah dokter spesialis di dalam negeri.

Sebab, jumlah rumah sakit nasional jauh lebih tinggi dibanding jumlah perguruan tinggi dengan program studi spesialis.

RUU Kesehatan–UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang saat ini sedang direvisi dan telah disetujui Badan Legislasi DPR–akan mengubah beberapa isi UU sebelumnya untuk memacu pengadaan tenaga medis.

RUU Kesehatan berencana mengubah isi beberapa UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Penyesuaian kedua aturan tersebut dinilai bisa memberikan kepastian hukum bagi peserta didik spesialis di rumah sakit pendidikan. Termasuk juga bisa mempermudah pembukaan program studi profesi dan spesialis di rumah sakit pendidikan.

Presiden: Perbanyak Dokter Spesialis

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri juga mendorong penambahan jumlah dokter spesialis di dalam negeri untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Tanah Air. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden dalam sambutannya saat peresmian Mayapada Hospital Bandung, pada Senin (06/03/2023).

“Kita masih punya problem di dalam negeri, dokter spesialisnya masih kurang atau dokter yang punya subspesialis masih sangat kurang, saya sudah bisikin tadi ke Pak Menkes ini perlu diurus,” ujar Presiden.

Presiden menilai, selain mempunyai fasilitas fisik yang bagus, dengan adanya jumlah dokter spesialis maupun subspesialis yang mencukupi dapat menciptakan pelayanan kesehatan yang semakin baik bagi masyarakat.

Untuk itu, Kepala Negara meminta kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menambah dan mempermudah pendidikan dokter spesialis.

“Nanti saya sampaikan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga untuk pendidikan dokter spesialis agar dibanyakin dan dimudahkan,” ucap Presiden.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa pemerintah terus berupaya menghasilkan dokter spesialis lebih banyak lagi.

“Kita ingin lebih cepat melahirkan dokter-dokter spesialis yang berkualitas, sesuai standar masing-masing kolegium, dan dilakukan di perguruan tinggi maupun di rumah sakit. Kami akan terus berkoordinasi dengan Kemendikbud Ristek untuk menyelesaikan kendala-kendala di lapangan,” ucap Budi.

Kolaborasi untuk Layanan Kanker

Selain upaya untuk meningkatkan jumlah dan sebaran dokter spesialis di Indonesia melalui perubahan regulasi, beberapa upaya kolaborasi dapat dilakukan.

Kementerian Kesehatan RI sendiri menargetkan semua penduduk Indonesia, terutama di daerah terpencil bisa secara optimal memperoleh akses layanan kanker serupa dengan di perkotaan. 

Salah satu, praktik model percontohan dan percepatan dari target akses layanan kanker itu, Kemenkes menjalin kerja sama dengan The University of Texas MD Anderson Cancer Center. Kerjasama itu ditandai dengan penandatanganan kesepakatan kerja atau Memorandum of Understanding (MoU) dilaksanakan di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada Jumat (3/2/2023).

Menteri Kesehatan RI, Budi G. Sadikin menuturkan bahwa penyakit kanker merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan banyak kematian di Indonesia. Secara khusus, bagi perempuan misalnya, kanker payudara menjadi penyebab utama kematian.

“Upaya yang harus dilakukan adalah skrining yang tepat. Kanker yang teridentifikasi lebih awal melalui skrining memiliki tingkat kesembuhan sekitar 90%. Sementara apabila kanker teridentifikasi di stadium akhir, maka tingkat kematiannya mencapai 90%,” ucap Menkes Budi.

Berdasarkan data terbaru dari Global Burden of Cancer (Globocan) pada tahun 2020, terdapat 141,1 kasus baru kanker per 100.000 orang di Indonesia dan 85,1 kematian akibat kanker per 100.000 orang. 

Direktur Utama RS Kanker Dharmais, dr. R. Soeko Werdi Nindito, MARS mengatakan bahwa Rumah Sakit Kanker Dharmais sebagai unit pelaksana dari kerjasama dengan Anderson Cancer Center akan menindaklanjuti kolaborasi tersebut.

RS Kanker Dharmais bersama MD Anderson juga melakukan kunjungan ke RSUP Ngoerah dan RSUD Bali Mandara. Harapannya, lanjut dr. Soeko, layanan kanker bisa diberikan di semua rumah sakit sesuai dengan level-levelnya. Begitu juga dengan layanan jantung, stroke, ginjal, dan layanan ibu dan anak.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER