BUDAYA (DIPER)MALU(KAN) DALAM BUDI PEKERTI - ESAI

9 November 2023 20:11 WIB

Narasi TV

Aktor Ine Febriyanti dalam sebuah adegan film "Budi Pekerti" (2023). (Sumber: Instagram/@filmbudipekerti)

Penulis: Soni Triantoro

Editor: Rizal Amril

Antropolog Colin Turnbull dalam buku klasiknya, The Forest People (1961), menceritakan corak kehidupan suku pemburu Bambuti di belantara Kongo pada abad ke-20.

Untuk bertahan hidup, biasanya anggota suku Bambuti akan bekerja sama menjebak dan menangkap hewan buruan. Laki-laki memasang jaring di hutan, perempuan menebang semak-semak guna menakut-nakuti binatang agar masuk ke dalam jaring. Hasil tangkapan lalu dibagi rata ke seluruh anggota kelompok.

Suatu ketika, salah satu anggota bernama Cephu berpikir ia pantas mendapatkan lebih dari sekadar bagian yang rata. Maka, ia melakukan pelanggaran besar dengan secara diam-diam memasang jaringnya di depan para pemburu lainnya, mengambil lebih banyak hewan buruan untuk dirinya sendiri.

Keserakahannya terbongkar. Cerita tentang akal busuk Cephu tersebar. Kemarahan menyebar ke seluruh kelompok. Ketika Cephu kembali ke kamp, ​​kelompoknya menyerangnya. Ia dihina dan dikucilkan.

Di hadapan kemarahan kolektif dari kelompoknya, Cephu mengaku bersalah dan setuju untuk membagikan hasil buruannya. Pengampunan datang. Kemarahan kolektif itu berhasil menyatukan kelompok untuk menghukum Cephu, dan membawanya kembali ke barisan.

Sekarang, bayangkan itu 2023, perkirakan apa yang akan terjadi jika salah satu anggota yang memergoki kecurangan Cephu malah spill di Twitter alih-alih menghadapinya langsung? Dan bagaimana jika Anda, yang duduk di belahan dunia lain, melihat twit itu? Anda tidak kenal Cephu. Pelanggarannya tidak memengaruhi Anda secara pribadi. Namun, ada potensi besar Anda akan merasa marah, lalu ikut share, menyebabkan orang lain ikut marah. Dan mereka melakukan hal yang sama, menyebarkan kemarahan lebih luas. Seruan agar Cephu ditendang dari kelompoknya akan bermunculan. Lalu, mungkin akan hadir pembelaan, tapi diikuti gelombang pembenci yang lebih besar lagi. Demikian, terus menerus, seperti ombak laut.  

Kelam-kabut, mungkin. Tapi itu hanya akan jadi hari-hari biasa di media sosial. Tidak ada yang istimewa. Karena toh dari sekian banyak drama sejenis di medsos, ujung-ujungnya ‘’kasus itu gimana? sudah tidak ramai lagi ya?’’, berganti drama lain. Bagi kita, itu hanya senilai satu notifikasi.   

Tidak ada yang peduli kehidupan sebenarnya yang dijalani Cephu. Padahal, yang paling menanggung konsekuensi pertempuran singkat itu hanya kelompok terdekatnya. Dalam konteks beragam kasus nyata di luar sana, yang akan menanggung adalah keluarga.

Tapi itu seperti drama di balik tirai yang tak pernah tersibak, tak pernah ada penonton.

Sampai tibanya Budi Pekerti, film panjang kedua Wregas Bhanuteja yang mengantongi tujuh belas nominasi FFI.

Dikisahkan, seorang guru BK (Bimbingan Konseling) SMP jadi viral karena sepotong rekaman video yang memperlihatkannya sedang cekcok di tengah antrian pedagang putu. Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), nama guru itu, sebetulnya tengah menegur seorang bapak-bapak penyerobot antriannya. Karena adu mulut dengan si bapak-bapak kian runyam, Bu Prani akhirnya muntap, mengomel ‘’ah suwi’!’ (ah, lama), lalu ngeloyor pergi. Tapi realitas yang ditangkap penonton rekaman itu sama sekali berbeda, justru Bu Prani seakan-akan mendamprat pedagang putu itu dengan kata ‘’asui’’ (anjing kamu!). Apes, sosok Bu Prani di rekaman itu akhirnya dikenal sebagai ‘’ibu-ibu kasar pengumpat’’.  

Wregas lalu mengembangkan premis itu menjadi plot berisi konsekuensi-konsekuensi dengan pola tipikal yang kita temukan sehari-hari di kasus-kasus cancel culture. Rekaman menyebar di berbagai platform, ragam komentar muncul dari yang menertawakan, sindir satir, sampai mengata-ngatai. Kreator konten menggubahnya jadi meme, remix dengan musik jedag-jedug. Netizen berbondong-bondong penasaran mencari tahu identitas, latar belakang dari sosok ibu pengumpat tersebut.

Maka, di sinilah karakter keluarga Bu Prani ‘’masuk panggung’’. Kedua anaknya, Muklas (Angga Yunanda) dan Tita (Prilly Latuconsina) memutar otak dan berdaya upaya menyelamatkan nama baik ibunya. Langkah pertama—bilamana tak mau disebut blunder: membuat video klarifikasi.

Imbas awalnya, opini publik mulai terpecah, suara-suara positif muncul. Tapi efek bola salju terjadi. Satu klarifikasi dibalas klarifikasi lain, dan inilah kesalahan terbesarnya: video klarifikasi itu membuka identitas Bu Prani. Artinya, menciptakan peluang bagi netizen mengulik latar belakang, mengembangkan karakter Bu Prani dari ‘’ibu-ibu kasar pengumpat’’ jadi ‘’guru SMP kasar pengumpat’’, memperpanjang drama, dan mencari karakter baru.

Netizen seolah menerobos masuk ke rumah keluarga Bu Prani, menyeret Muklas dan Tita dalam panggung mereka. Dua karakter itu—sebagai keluarga dari karakter utama—tidak hanya berfungsi sebagai pendramatisir nuansa konflik dengan sebatas jadi korban buntut persoalan, melainkan ikut mempertajam konflik lewat keputusan-keputusan mereka yang menambah berbagai dimensi masalah baru.

Ironisnya, satu-satunya anggota keluarga yang tidak ikut berkarut-marut justru suaminya, Pak Didit (Dwi Sasono) yang sedari adegan-adegan awal dikisahkan sebagai pengidap bipolar, sebagai beban keluarga. Malahan ia bisa jaga jarak dari kekacauan tak berkesudahan ini—anak-anaknya sempat membatasi aksesnya ke internet—untuk nantinya justru berperan cukup penting dalam laju plot menuju babak resolusi.

Ada banyak konsekuensi yang mendera Bu Prani, keluarga, dan pejabat di sekolahnya. Tapi, bagi saya yang paling mengiris hati justru ketika konsekuensi itu turut melukai cara pandang dan keyakinan Bu Prani. Ia bertahun-tahun menjalankan hidup sebagai guru BK. Pengabdiannya bukan pada sains, tapi ide-ide moralitas. Caranya memberi sanksi pada siswa-siswanya dengan cara antik (disebutnya ‘’refleksi’’) bisa baik bisa salah—Wregas sengaja meninggalkan ruang perdebatan—tapi itu jelas menunjukan perhatian seriusnya pada urusan moralitas. Dan tiba-tiba, ia harus dihadapkan moralitas bekerja lewat cara yang sangat berbeda dengan yang ia yakini selama ini. Rasanya seperti dikhianati. Hatinya gelagapan, lebih dibanding kehilangan nama baik atau sirnanya kesempatan menjadi wakasek.  

‘’Ibu itu salah apa to?’’ kata Bu Prani, kebingungan.  

 ‘’Saiki kebenaran perkara sopo sing paling akeh ngomong!’’ jawab Muklas. Atau dalam bahasa pikir Yuval Noah Harari: kebenaran ditentukan algoritma.

***

Jonathan Sacks dalam buku Morality: Restoring the Common Good in Divided Times memaparkan kegelisahannya: moralitas kian terkikis di dunia hari ini. Baginya, masyarakat semakin individual, menitik beratkan pada self-interest dibanding kesediaan berbelas kasih, atau peduli dengan kesejahteraan orang lain. Moralitas berhenti menjadi aturan bersama untuk dipatuhi, bergeser menjadi masalah selera personal. Kita semakin kehilangan rasa hormat terhadap kebenaran dan etika dalam konversasi publik.

Saya menyukai pilihan Wregas memilih ‘’antre membeli putu’’ sebagai pintu gerbang menuju konflik. Mengantre, kiranya salah satu ujian komitmen moral paling mendasar di masyarakat. Dalam pemahaman Sacks, moralitas atau budi pekerti diuji dalam situasi di mana kita mesti rela menyerahkan sebagian dari kepentingan kita untuk memastikan orang lain mendapat tujuannya. Ini prinsip dasar dari terciptanya berbagai tatanan, seperti negara, market, atau sesimpel memastikan setiap pembeli putu akan bisa pulang masing-masing dengan putu yang diinginkan.

Yang menarik, dari bukunya tersebut, Sacks menyediakan satu bab khusus, berisi 5 anak bab yang banyak bicara mengenai budaya cancel culture—menggunakan istilah public shaming. Bangkitnya lagi kultur mempermalukan sosok yang dianggap bersalah sebagai sanksi sosial ini berangkat dari pertemuan antara perkembangan digital dan krisis moralitas.  

Di satu sisi, public shaming mengandung manfaat. Memungkinkan orang yang tidak punya uang, waktu, atau sumber daya berlimpah untuk tetap bisa berperan mengarahkan atensi publik ke perilaku yang memang perlu dikritisi. Terhakiminya pelaku pelecehan seksual atau pedofilia misalnya, seperti yang dilakukan Harvey Weinstein (#metoo) bisa jadi kasus ideal, atau berbagai gerakan mengawal perilaku pejabat publik.

Akan tetapi, perlu dipahami bila public shaming merupakan jenis pengadilan kasar yang tumbuh sebelum zaman modern, atau mungkin masih eksis di tempat-tempat di mana penegakan hukum lemah. Ini respons kuno terhadap pelanggaran sebelum adanya pengadilan hukum dan prosedur yudisial.

Pengadilan semacam ini tidak melibatkan norma legal. Tanpa proses hukum. Tak ada prosedur yang jelas untuk menentukan apakah kesalahan itu sudah ditetapkan, dan bila iya, apa hukuman yang setimpal. Yang ada adalah aturan jalanan.

Public shaming juga lebih subur tumbuh di masyarakat yang mengusung shame culture. Istilah ini mulai populer di Barat setelah Amerika Serikat terjun perang di PD I, dan menyadari ada kultur berbeda yang tak bisa mereka pahami di negara-negara Timur seperti Jepang. Dibanding guilt culture—ditentukan dari suara hati nurani apakah yang kita lakukan itu salah atau benar—shame culture menempatkan moralitas sebagai tuntutan eksternal: apa yang orang ekspektasikan dari kita. Perilaku kita banyak ditentukan dari bayangan akan seperti apa kita terlihat dari mata orang lain.

Guilt culture dan shame culture juga menciptakan perbedaan tajam antara sinner dan sin—pendosa dan dosa. Dalam guilt culture, perilakunya bisa salah, tapi integritas agennya sebagai seorang manusia masih utuh. Itu kenapa kesalahan masih bisa dipulihkan dnegan rasa bersalah, ganti rugi, atau solusi yang membuat perilaku itu tak akan bisa diulangi lagi. Sementara shame culture tidak menyediakan maaf. Kita diarahkan untuk menutupi kesalahan itu. Karena sekali ketahuan, itu dianggap melekat selamanya pada diri kita.

Budi Pekerti menawarkan gambaran masyarakat yang mengusung shame culture. Keputusan-keputusan para karakter banyak berangkat dari bagaimana mereka berurusan dengan ekspektasi orang lain. Mulai dari keputusan Bu Prani membuat video klarifikasi—atas saran Tita—hingga usulan-usulan Muklas yang nyaris selalu bertumpu pada ‘’apa kata netizen’’

Adegan ikonik itu, ketika orang-orang menodongkan smartphone-nya seakan-akan itu pistol, mengilustrasikan kesadaran mereka bahwa shaming memang aturan main yang ada. Sepintas, ini seperti adegan-adegan western, koboi-koboi liar saling curiga dan menggertak, tanpa hukum. Atau jika ada, hukum itu dibangun di atas shame culture yang tidak berbelas kasih.

Padahal, lain dengan kasus Cephu di awal tulisan ini—di mana kelompoknya mampu menciptakan rekonsiliasi—jarang sekali kemarahan online benar-benar mengatasi pelanggaran moral atau berupaya memperbaikinya. Tak jarang juga hukumannya tak sesuai dengan kesalahannya.

Kemarahan kolektif mungkin efektif di komunitas berskala kecil, di mana kolektif memang mengenal pelaku secara pribadi, dan mampu bekerja sama mengembalikan pelaku ke jalur yang benar. Sementara di media sosial, ketika kita dipisahkan oleh layar dan hanya bisa berkomunikasi melalui potongan teks yang sangat kecil, kemarahan amat mungkin salah sasaran. Pelaku biasanya sangat jauh dari kelompok massa yang marah, sehingga hanya sedikit atau bahkan tidak ada biaya yang harus ditanggung oleh kelompok massa atas konsekuensi-konsekuensi yang muncul.

Dalam Budi Pekerti, konsekuensi ditunjukan hanya mengganjar Bu Prani dan keluarganya. Tidak ada gambaran konsekuensi bagi netizen. Jangankan konsekuensi, netizen yang merundung tidak dipersonalisasi sama sekali. Mereka hanya kerumunan yang tidak berwajah. Bu Prani (dan keluarga) melawan dunia. Ini seperti film horor yang menghadirkan karakter kekuatan supranatural tidak berupa, atau disaster movie dengan karakter utama yang diterpa bencana alam.

Dan bukankah kita mulai terbiasa menyebut teman atau kenalan yang dirundung netizen dengan ‘’kena musibah’’? Sebagaimana musibah, ia bisa mengamuk ke siapa saja. Bedanya, manusia sendiri yang menciptakannya, bergotong royong.

Soni Triantoro

Produser Eksekutif Narasi

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR