Daftar Konsekuesi yang Diterima Taliban karena Terus Batasi Hak-Hak Perempuan

23 Juni 2023 15:06 WIB

Narasi TV

Perempuan Afghanistan dilarang rezim Taliban memperoleh pendidikan/ Reuters

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

 
Rezim Taliban terus membatasi hak-hak perempuan di Afghanistan dalam bekerja dan mengakses pendidikan. Mereka berdalih isu ini sebagai urusan dalam negeri yang tak boleh dicampuri.
 
PBB dan sejumlah badan organisasi internasional mengecam sikap Taliban dengan memberikan sejumlah konsekuensi, apa saja?
 

Tak Mendapat Pengakuan Komunitas Internasional


Taliban melarang perempuan Afghanistan untuk bekerja dengan organisasi internasional, termasuk PBB, sejak April lalu.
 
Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Afghanistan Roza Otunbayeva mengatakan komunitas internasional tidak mungkin mengakui Taliban selama hak-hak perempuan belum dipulihkan
 
Otunbayeva mengingatkan Taliban bahwa pembatasan terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan telah menghambat pengakuan internasional atas peran mereka sebagai Pemerintah Afghanistan.
 
"Kami telah menyampaikan kepada mereka bahwa selama keputusan ini ada, hampir tidak mungkin pemerintah mereka akan diakui oleh anggota komunitas internasional," tutur Otunbayeva di hadapan Dewan Keamanan PBB, seperti dikutip Antara via Anadolu, Rabu (21/6).
 
PBB mengaku tak mendapat penjelasan dari Taliban mengenai keputusan ini.
 
"Kami tidak diberi penjelasan oleh otoritas de facto terkait larangan ini dan tidak ada jaminan bahwa itu akan dicabut," ujar Otunbayeva.
 
Otunbayeva menegaskan bahwa staf perempuan PBB di Afghanistan tidak akan digantikan oleh laki-laki, serta menuntut Taliban mencabut larangan tersebut agar PBB bisa melanjutkan pekerjaannya membantu rakyat Afghanistan.
 
''Rezim Taliban tetap picik dan otokratis. Komposisi pemerintahan de facto seluruhnya laki-laki, dan hampir seluruhnya berasal dari Pashtun Taliban dan basis politik pedesaan,'' ujar dia.
 

Dikecam Dewan Keamanan PBB

 
Pada 27 April 2023 lalu Dewan Keamanan PBB  mengeluarkan kecaman atas larangan bagi perempuan Afghanistan bekerja di PBB dan organisasi masyarakat sipil internasional. Kecaman ini tercantum dalam sebuah resolusi yang disahkan pada Kamis (27/4) dengan suara bulat.
 
Resolusi disusun oleh Uni Emirat Arab dan Jepang yang merupakan para anggota tidak tetap Dewan dan didukung lebih dari 90 negara.
 
Resolusi itu mencantumkan keprihatinan mendalam atas "rasa hormat yang semakin terkikis'' terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi perempuan dan anak perempuan di Afghanistan oleh Taliban.
 
Resolusi menyebutkan keputusan Taliban baru-baru ini untuk melarang perempuan bekerja bagi PBB di Afghanistan, akan berdampak buruk bagi operasi PBB di negara itu, termasuk menyangkut pengiriman bantuan darurat serta layanan bagi pihak-pihak yang paling rentan.
 
Resolusi itu menyerukan partisipasi penuh, setara, berarti ,dan aman dari perempuan dan anak perempuan Afghanistan.
 

Mengurangi Anggaran Bantuan

 
PBB dan badan-badan kemanusiaan telah merevisi anggaran untuk rencana bantuan ke Afghanistan pada 2023 menjadi 3.2 miliar dolar AS, atau sekitar Rp48 triliun dari semula Rp69 triliun di awal tahun ini, demikian diumumkan kantor kemanusiaan PBB pada Senin.
 
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan bahwa konteks operasi yang berubah setelah pembatasan administrasi Taliban pada pekerja wanita di sektor bantuan kemanusiaan telah berkontribusi pada rencana  besaran bantuan.
 
Otoritas Taliban telah mengeluarkan beberapa perintah yang melarang pegawai wanita di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Afghanistan dan karyawan PBB untuk bekerja.

Sebelumnya beberapa lembaga bantuan telah memperingatkan bahwa larangan tersebut akan menghambat pengiriman bantuan di negara yang konservatif secara agama itu.
 
"Akhir-akhir ini muncul larangan bekerja untuk perempuan Afghanistan di LSM dan PBB. Hal ini telah menambah lapisan kompleksitas pada lingkungan perlindungan yang sudah sangat menantang, dan semakin membatasi kapasitas operasional mitra," demikian pernyataan PBB.

PBB juga mengungkapkan bahwa tragedi di Afghanistan telah menjadi salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan lebih dari dua pertiga populasi membutuhkan bantuan kemanusiaan.
 
Beberapa pejabat kemanusiaan dan diplomat telah memperingatkan potensi berkurangnya pendanaan untuk negara yang dilanda perang itu karena pembatasan Taliban terhadap pekerja perempuan.
 
Selain pendanaan untuk Afghanistan, para negara donatur kini juga memprioritaskan keadaan ekonomi mereka di tengah krisis global. Hingga saat ini nilai anggaran yang direvisi oleh negara donatur masih belum dapat dipastikan.

Permohonan bantuan kemanusiaan global seringkali tidak memenuhi jumlah total yang diminta. Pada tahun 2022, nilai bantuan tanggap kemanusiaan dianggarkan sekitar Rp66 triliun dan hanya terealisasi sekitar Rp48 triliun. Padahal, PBB mengatakan jumlah orang yang membutuhkan bantuan telah bertambah sejak tahun lalu.
 
Badan pembangunan PBB pada bulan April memperkirakan ekonomi Afghanistan akan berkontraksi dan mengalami kenaikan inflasi jika nilai bantuan mereka turun sebesar 30 persen.
 
Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada 15 Agustus 2021, dan kemudian didera gangguan bantuan keuangan internasional hingga membuat negara yang hancur itu berada dalam krisis ekonomi, kemanusiaan, dan hak asasi.
 
Penguasa Taliban telah melancarkan serangan berkelanjutan terhadap hak asasi manusia meskipun komitmen mereka adalah melindungi hak asasi manusia dan perempuan.

Hak-hak para perempuan dan anak perempuan telah terampas, termasuk hak mendapatkan pendidikan. Kalangan itu juga menghilang dari kehidupan publik di bawah pemerintahan Taliban.
 
Ribuan perempuan sejak saat itu kehilangan pekerjaan atau dipaksa mengundurkan diri dari institusi pemerintah maupun sektor swasta.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR