14 Februari 2023 05:22
Ilustrasi influencer tengah membuat konten deinfluencing trend. (Sumber: Freepik/DCStudio)
Penulis: Rusti Dian
Editor: Rizal Amril
Belakangan ini, istilah deinfluencing trend ramai dibicarakan di media sosial TikTok. Melalui tren satu ini, banyak influencer mengajak netizen untuk tidak membeli suatu produk, alih-alih menyarankannya seperti biasa.
Seiring makin berkembangnya peran media sosial dalam kehidupan manusia, peran influencer juga ikut meningkat.
Kini, banyaknya influencer yang bisa kita temui di media sosial mampu untuk menciptakan suatu tren atau mengubah opini publik mengenai sesuatu.
Oleh karenanya, hal yang lazim kini melihat sebuah brand menggandeng influencer sebagai rekanan bisnis demi meningkatkan penjualan produk mereka.
Akan tetapi, de-influencing trend yang marak dibicarakan belakangan ini justru berkebalikan dengan hal itu.
De-influencing trend merupakan cara atau tindakan meyakinkan orang atau publik untuk tidak membeli sesuatu.
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memerangi konsumerisme. Awalnya, istilah de-influencing trend ini muncul di TikTok.
Dilansir dari Today.com, Kahlea Nicole Wade, seorang brand collaboration coach dan content creator mengatakan bahwa de-influencing trend merupakan tren yang menarik.
Di satu sisi, influencer memberi tahu orang lain agar tidak membeli suatu produk, namun di sisi lain itu menunjukkan kurangnya kredibilitas influencer dalam tren-tren sebelumnya.
Namun, alih-alih mendapat hujatan, de-influencing trend justru dipuji karena mendorong seseorang untuk berpikir sebelum membeli suatu produk yang sedang viral.
Publik diajak untuk berpikir bahwa tidak semua tren harus diikuti, terlebih yang berkaitan dengan lifestyle.
Dalam bisnis kiwari, brand saling berlomba mencari influencer yang menurut mereka memiliki pengikut cukup banyak dan dikenal oleh publik.
Brand tersebut berharap agar influencer mampu mempromosikan produk mereka sehingga minat beli konsumen dapat meningkat.
Dilansir dari Today.com, 95 persen merk dagang kini berlomba menggandeng influencer media sosial untuk mempromosikan produk mereka.
Hal tersebut menunjukkan perubahan model marketing merk dagang sesuai laju pertumbuhan media sosial hari ini.
Efektivitas influencer dalam pemasaran terutama terlihat dalam pola konsumsi Generasi Z.
Marketing Dive menyebutkan bahwa 44 persen Gen Z membeli sesuatu berdasarkan rekomendasi dari influencer, sedangkan secara general signifikansi influencer dalam pola konsumsi hanya mencapai 26 persen.
Artinya, disadari atau tidak, influencer kini memiliki peran yang besar untuk menciptakan atau mendukung suatu tren, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan industri.
Tugas influencer sebenarnya memberikan review yang dapat dipercaya oleh pengikutnya melalui sebuah konten.
Ia akan menampilkan konten dengan cara dan ciri khasnya tersendiri dan sebisa mungkin tidak menghilangkan karakter asli dari sang influencer.
Dengan demikian, influencer ini dapat melakukan pendekatan kepada audiens untuk mempromosikan sesuatu, baik disadari maupun tidak.
Apabila influencer memberikan review buruk kepada suatu brand, maka pengikutnya pun bisa jadi terpengaruh influencer dan mengurungkan niat untuk membeli produk dari brand tersebut.
Hal inilah yang bisa menurunkan penjualan suatu brand. Yang lebih buruk lagi, brand tersebut bisa diboikot oleh publik.
De-influencing bukan semata-mata mengajak seseorang untuk tidak mengikuti tren tertentu.
Justru di sini publik diajak untuk berpikir tren mana yang akan mereka ikuti maupun tidak.
Poin utama de-influencing sebenarnya mengajak publik agar tidak terus-terusan hidup dalam budaya konsumerisme.
Konsep de-influencing mengajarkan kepada publik untuk membeli barang yang benar-benar dibutuhkan atau diinginkan, namun publik tidak boleh merasa terdorong untuk mengonsumsinya secara berlebihan hanya karena promosi dari influencer.
Berikut beberapa cara yang bisa kamu terapkan sebelum mengikuti tren:
Latest Comment
23 hari yang lalu
Apakah tren ini sudah terjadi juga di sini?
suka
Balas Komentar