Elon Musk Bilang Twitter Bikin Marah dan Instagram Bikin Depresi, Apa Kata Riset?

18 Jan 2023 18:01 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi penggunaan media sosial/ Antara

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

CEO Twitter, Elon Musk, bilang Instagram membuat orang depresi, sedangkan Twitter membuat orang marah.

“Instagram membuat orang depresi & Twitter membuat orang marah. Mana yang lebih baik?” cuit Elon melalui akunnya @elonmusk.

Menariknya, cuitan Elon bukan tak berdasar. Beragam riset telah menunjukkan dampak  media sosial terhadap mood dan perilaku pengguna. Adakah bukti bahwa Instagram bikin depresi dan Twitter bikin marah?

Instagram, Kecemasan, dan Depresi

Royal Society for Public Health (RSPH) dan Young Health Movement (YMH) melaporkan Instagram sebagai platform sosial media terburuk bagi kesehatan mental anak muda.

Walaupun memberikan ruang anak muda untuk berekspresi, riset tersebut menyimpulkan bahwa sosial media diasosiasikan dengan tingkat kecemasan tinggi dan juga depresi.

Sebanyak 91% orang berumur 16-24 tahun menggunakan internet untuk sosial media. Sedangkan, terdapat kenaikan sebanyak 70% pada angka gangguan kecemasan dan depresi dalam 25 tahun terakhir.

Survei tersebut dilakukan pada tahun 2017 kepada 1.500 pemuda berumur 14-24 tahun di Inggris dan mengamati lima platform sosial media: Youtube, Snapchat, Twitter, Instagram, dan Facebook.

Hasilnya, Instagram adalah platform yang memiliki efek terburuk bagi kesehatan mental anak muda. Diikuti dengan Snapchat, Facebook, Twitter dan Youtube.

Urutan ini ditentukan oleh seberapa baik atau buruknya dampak penggunaan platform tersebut pada perasaan anak muda.

Antara lain kecemasan, depresi, kesepian, persepsi body image dan FOMO. Selain itu ada pula indikator untuk mengukur pengaruh pada kualitas tidur, identitas diri, ekspresi diri, dan bullying.

Penggunaan sosial media membuat anak muda merasa lebih buruk dari sebelumnya. Pasalnya, sosial media memperkeruh gangguan mental dan juga pikiran negatif yang kerap dimiliki oleh anak muda.

Misalnya, melihat kegiatan teman yang sering berlibur kerap menimbulkan perasaan FOMO (Fear of Missing Out). Selain itu, terus menerus melihat figur yang dianggap ideal memicu perbandingan diri dan memunculkan isu body image.

Twitter Sarana Amplifikasi Amarah

Walaupun Twitter menempati urutan kedua terbawah dalam dampak negatif sosial media menurut studi RSPH dan YMH, penggunaan Twitter disebut-sebut dapat mengamplifikasi kemarahan pengguna.

Sebuah studi atas 12.7 juta tweets dari 7.331 akun menyimpulkan bahwa penggunaan Twitter dapat menciptakan siklus amarah yang dipicu oleh insentif like, share, dan retweet dalam tiap cuitan amarah.

Studi ini  dilakukan oleh peneliti William Brady dan Molly Crockett dari Departemen Psikologi University of Yale pada Agustus 2021.

Brady dan Crockett menyimpulkan bahwa desain platform media sosial seperti Twitter menghadiahkan luapan ekspresi kemarahan dalam cuitan pengguna. Pasalnya, konten yang biasa disertai dengan kata, konotasi, atau emoji marah kerap mendapat engagement yang lebih tinggi dibanding cuitan biasa. 

Dengan ini, pengguna menerima apresiasi dan validasi atas kemarahan mereka dalam bentuk like, retweets, dan shares.

Hadiah berupa engagement atas emosi mereka inilah yang berperan sebagai insentif bagi pengguna yang secara tidak langsung mendorong pengguna untuk mencuitkan kemarahan mereka.

Hasil observasi tersebut pun menunjukkan bahwa pengguna yang mendapat likes, retweets dan shares dalam unggahan amarahnya akan lagi menciutkan tweet amarah selanjutnya.

“Ini adalah bukti pertama bahwa orang lama-kelaman akan belajar untuk mengekspresikan kemarahan karena mereka ‘dihadiahkan’ oleh design sosial media (like dan share)” kata William, dikutip YaleNews (13/8/2021).

Lantas, Twitter menjadi platform amplifikasi kemarahan. Sebab desain platform tersebut seakan melatih pengguna untuk semakin banyak meluapkan amarah mereka.

Amplifikasi amarah dalam Twitter dikaitkan dengan peran sosial media dalam menciptakan polarisasi politik. Sebab, ditemukan pula bahwa apresiasi amarah menjadi mekanisme radikalisasi kelompok pengguna yang sebelumnya cukup moderat.

“Mengingat bahwa kemarahan moral memiliki peran penting dalam perubahan sosial dan politik, kita patut mengingat bahwa desain platform sosial media yang dibentuk oleh perusahaan teknologi dapat berdampak pada kesuksesan ataupun kegagalan gerakan sosial” sebut Crockett.

William dan Crockett belum menyimpulkan jelas apakah amplifikasi kemarahan berdampak baik atau buruk bagi masyarakat.

Yang jelas, Crockett menyatakan bahwa siklus kemarahan pengguna menjadi sangat menguntungkan bagi bisnis social media. Sebab, dorongan engagement dari konten amarah secara signifikan menaikkan aktivitas para pengguna.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER