Demokrat Tanya Apa Salah SBY ke Jokowi Sehingga KSP Moeldoko Dibiarkan Ingin Membegal Partai

6 Jun 2023 08:06 WIB

thumbnail-article

Presiden Joko Widodo (kiri) saat menerima Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) sebagai Chairman Global Green Growth Institute di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (8/12). (ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo)

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

Partai Demokrat mempertanyakan apa salah Presiden Republik Indonesia ke-6 dan ke-7 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehingga Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko terus dibiarkan berupaya mengambil alih partai.

“Apa sih salahnya Pak SBY ke Pak Jokowi? Mengapa orang ini (Moeldoko) terus ada di Istana? Tegurlah upaya dia ambil alih Demokrat,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra kepada Narasi, Senin (5/6/2023).

Herzaky mengingatkan manuver politik yang dilakukan Moeldoko untuk mengambilalih Partai Demokrat tak bisa disebut sebagai dualisme kepemimpinan.

Pasalnya, terang Herzaky, Moeldoko tidak pernah dilantik menjadi anggota Partai Demokrat dan tidak memiliki struktur kepengurusan di level pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota.

"Ini bukan dualisme. Kalau dualisme di mana kantor pengurusnya dia, siapa pengurusnya, apa kegiatannya?," ujar Herzaky.

Jasa-Jasa Politik SBY ke Jokowi

Alih-alih mengganggu Pemerintahan Jokowi, Herzaky mengingatkan SBY sebagai presiden sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat justru banyak membantu Jokowi. Ia menjabarkan beberapa di antaranya:

Pertama, kata Herzaky, ketika Jokowi telah resmi dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (pilpres) 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), SBY yang masih menjabat sebagai presiden memberikan kesempatan kepada Jokowi dan tim transisinya untuk melakukan audiensi di Istana Negara dan menyambangi lima kementerian.

Hal ini menurut Herzaky dilakukan SBY agar Jokowi bisa menjalankan pemerintahan secara efektif begitu nanti dilantik secara definitif sebagai presiden.

“Sebelum Pak Jokowi dilantik, dia dan tim transisinya sudah kumpul ke istana, Pak SBY ingin agar transisinya mulus. Berbeda dengan Pak SBY yang baru bisa masuk ke istana pada hari beliau dilantik,” ujar Herzaky.

Presiden Jokowi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke-8 menggantikan SBY pada 20 Oktober 2014. Ia dan tim transisinya menemui SBY di Istana Negara pada akhir Agustus 2014. Jokowi mengakui pertemuan dengan SBY dilakukan agar rincian program pemerintahan yang telah disusun oleh timnya bisa masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

Selain itu tim transisi Jokowi juga diberi kesempatan untuk menyambangi lima kementerian, yakni: Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Hal tersebut menurut Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah agar program-program unggulannya selama kampanye seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) bisa disesuaikan dengan program kementerian yang masih berjalan.

Kedua, kata Herzaky, SBY sebagai presiden menyatakan diri bersikap netral di Pilpres 2014. Padahal, imbuh Herzaky, Hatta Rajasa yang ketika itu menjadi calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto merupakan besan dari SBY.

“Pada saat 2014 besannya itu (Hatta Rajasa) wakil Prabowo, tapi saat deklarasi dia kirim wakilnya gak mau cawe-cawe,” ujar Herzaky.

Menurut Herzaky, seandainya SBY mau, ia bisa saja memberikan dukungan terbuka kepada Prabowo-Hatta. Namun hal itu urung dilakukan lantaran khawatir dukungannya sebagai presiden dapat mempengaruhi unsur-unsur kekuasaan di bawah presiden.

Ketiga, menjelang pelantikan Jokowi sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang membatalkan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD.

Cerita ini bermula ketika Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo-Hatta yang menguasai mayoritas kursi di DPR RI merevisi UU Pilkada dengan mengubah aturan tentang pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dari langsung oleh rakyat menjadi ke DPRD.

Dalam keputusan yang diambil lewat sidang paripurna DPR RI pada 26 September 2014 itu, Fraksi Partai Demokrat memilih walkout. Konsekuensi dari mengubah pemililihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung adalah terjadinya potensi ketidaharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah lantaran para elite KMP ketika itu juga memperpanjang kerjasama hingga ke level DPRD provinsi dan kabupaten kota.

Namun pada Kamis 2 Oktober 2014 SBY mengeluarkan Perppu UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah yang pada pokoknya menghapus tugas dan wewenang DPRD memilih kepala daerah.

“Pak SBY mengembalikan pilkada dari langsung ke tidak langsung. Itu buat siapa? Buat Pak Jokowi,” ujar Herzaky.

Tak Ingin Diganggu

Herzaky mengatakan Partai Demokrat tidak meminta Presiden Jokowi membalas jasa-jasa politik yang pernah dilakukan SBY. Ia hanya ingin presiden memperlakukan Partai Demokrat sebagai partai yang sah dan berdaulat.

“Jangan [biarkan Demokrat] diganggu-ganggu [KSP] karena itu akan merusak martabat presiden. Kami ingin Pak Jokowi bisa softlanding di akhir kekuasaan,” ujar Herzaky.

KSP Moeldoko saat ini tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan pengadilan tingkat 1 dan tingkat 2 terkait kepengurusan DPP Partai Demokrat.

Dilansir dari laman kepaniteraan MA, permohonan PK Moeldoko masuk pada Senin, 15 Mei 2023 dan teregister dengan nomor perkara: 128 PK/TUN/2023. Namun belum ada majelis hakim yang ditunjuk untuk mengadili perkara tersebut.

Presiden Jokowi belum sekalipun memberikan pernyataan terbuka terkait manuver Moeldoko yang ingin mengambil alih Partai Demokrat kendati ia merupakan salah satu pembantu utama presiden.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER