Dugaan Rekayasa Penanganan Kasus Kecelakaan di Cianjur, Kok yang Begini Masih Terulang di Kepolisian?

9 Mar 2023 18:03 WIB

thumbnail-article

Tersangka sopir sedan mewah merek Audi type A6, Sugeng Gautama, dihadirkan penyidik dalam rekonstruksi ulang kasus tabrak lari yang menyebabkan mahasiswi Cianjur meninggal dunia di Jalan Raya Bandung-Cianjur, Selasa (21/2/2023).(ANTARA/Ahmad Fikri). (Ahmad Fikri)

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Kasus tabrak lari oleh iring-iringan patwal polisi yang menewaskan mahasiswa Cianjur, Selvi Amalia Nuraeni, diduga direkayasa. Hal ini berdasarkan hasil investigasi tim Buka Mata Narasi.

Direktur Institute of Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan dugaan rekayasa ini menambah daftar keterlibatan polisi dalam kasus menghalangi dan mempengaruhi proses hukum atau obstruction of justice.

Khairul mengatakan penanganan kasus kecelakaan yang menewaskan Selvi menunjukkan obstruction of justice memang rawan dilakukan kepolisian. Seperti dalam kasus Ferdy Sambo maupun kasus-kasus lain yang tak tersorot publik.

“Dalam banyak kasus, bukan hanya Sambo, tapi juga dalam kasus kecil sering dipraktikkan," kata Khairul kepada Narasi, Rabu (8/3/2023).

Kerentanan polisik melakukan obstruction of justice menurut Khairul disebabkan kewenangan besar yang tidak dibarengi integritas.

“Mereka punya kapasitas, keahlian, tapi tidak punya integritas. Dia bisa mengungkap, apa susahnya untuk mengaburkan,” ujarnya.

Khairul mengakui "bad cop" atau yang kerap disebut sebagai oknum memang ada di institusi kepolisian di semua negara, namun menurutnya hal ini bukan pembenaran untuk tidak berbenah.

Khairul melihat komitmen pembenahan baru dilakukan Polri ketika mereka menghadapi kasus yang mendapat sorotan publik.

“Baru dilakukan penanganan, pengungkapan, penyidikan ketika viral dan jadi perhatian publik. Ini sendirinya juga bentuk obstruction of justice yang lain,” kata Khairul.

Hal senada disampaikan peneliti di The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari.

Menurut Tita, kasus-kasus obstruction of justice yang melibatkan personel kepolisian baru diproses ketika menyita perhatian publik, bukan berangkat dari rasa tanggung jawab.

“Itu kan bukan tanggung jawab dari publik, harusnya dari polisi sendiri dan pembuat kebijakan, pemerintah dan DPR, ” kata Tita kepada Narasi, Rabu (8/3/2023).

Menurut Tita salah satu problem besar dalam sistem akuntabilitas Polri adalah kewenangan yang terlampau besar namun minim pengawasan.

Misalnya dalam KUHP Polri bisa melakukan penyidikan mulai dari menangkap atau melakukan upaya paksa, memeriksa, hingga menetapkan tersangka tanpa adanya pengawasan dari institusi eksternal.

Kewenangan tak berbatas inilah yang dinilai menjadi celah hukum terjadinya obstruction of justice dan rekayasa kasus yang sulit untuk disidik ataupun pertanggung jawabkan.

Tak hanya itu, Tita menyebut celah tersebut seakan juga memfasilitasi praktik-praktik korupsi, suap, dan pemerasan yang marak ditemukan dalam proses penyelidikan kasus narkoba.

“Kewenangan yang besar itu enggak ada kontrol. Nggak ada pengawasannya karena otoritas yang punya kewenangan untuk melakukan tindakan upaya paksa itu hanya di polisi. Jadi muncul lah praktik obstruction of justice, rekayasa kasus, karena semua penguasaan barang bukti, semua proses penyelidikan dan penyidikan hanya di satu institusi,” lanjutnya.

Polisi diduga melakukan obstruction of justice dan menutup-nutupi fakta kejadian dalam tragedi tabrak tabrak lari yang menewaskan Selvi Amalia Nuraeni.

Dalam laporan berbasis scientific crime investigation yang dilakukan tim Buka Mata Narasi melalui analisa CCTV dan wawancara langsung dengan para saksi kunci mengungkap beragam kejanggalan yang tak diungkap polisi.

Apa saja kejanggalannya? Tonton videonya.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER