2 Agustus 2023 15:08 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Margareth Ratih. F
Lembaga non-pemerintahan Greenpeace Indonesia baru saja merilis visualisasi data tentang program food estate yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Rilis tersebut dituliskan dalam website-nya pada Selasa (1/8/2023).
Visualisasi data berjudul ‘Kuak Katak di Musim Kemarau’ ini merupakan sebuah kritik terhadap program food estate yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Program tersebut sebagai respon dari lembaga pangan dunia FAO terkait potensi gangguan produksi dan distribusi pangan akibat Pandemi Covid-19.
Greenpeace sendiri diketahui menolak proyek food estate yang dicanangkan oleh pemerintah.
Tahun 2022 lalu, Greenpeace bersama LBH Palangkaraya, Save Our Borneo, dan WALHI Kalimantan Tengah menggelar aksi pengibaran bendera bertuliskan ‘Food Estate Feeding Climate Crisis’ di lahan food estate Kementerian Pertahanan di Gunung Mas Kalimantan Tengah.
Aksi tersebut dilakukan di lahan bekas hutan yang sedianya akan ditanami singkong. Namun, penanaman dinilai gagal dan justru turut berperan melepas emisi karbon yang menyebabkan krisis iklim.
Tulisan yang terdapat dalam bendera tersebut juga menjadi sebuah laporan yang diterbitkan oleh Greenpeace Indonesia terkait dengan dampak dari proyek food estate. Dalam laporan tersebut, Greenpeace menilai bahwa food estate dilakukan tanpa partisipasi publik yang layak dan mengancam tanah serta mata pencaharian rakyat.
Selain itu, Greenpeace juga menilai food estate adalah kebijakan yang terburu-buru dan merampas hak dan tanah rakyat dan tidak menghargai masyarakat adat yang menjadi garis depan pelestarian alam di Indonesia.
Ancaman perubahan iklim
Dalam rilis visualisasi data terbarunya, Greenpeace menitikberatkan dampak food estate terhadap perubahan iklim.
Visualisasi data tersebut dibuka dengan testimoni dari seorang warga Pulang Pisau yang menceritakan suara katak sebagai pertanda musim hujan. Pengetahuan lokal ini didapat dari kedua orang tuanya yang menjadi salah satu tokoh adat di desanya.
Kini, katak pun bersuara pada musim kemarau yang membuat petani sepertinya kebingungan untuk menentukan waktu tanam yang biasanya bersamaan dengan musim hujan.
Visualisasi data tersebut menyebut dampak perubahan iklim yang mengancam pertanian dan perikanan di Indonesia. Data BPS Tahun 2019 menyebut penurunan produksi padi sebesar 7% untuk mendukung klaim dampak perubahan iklim.
Data tersebut kemudian dilanjutkan dengan keputusan pemerintah untuk menjalankan program food estate sebagai respon dari peringatan FAO terkait dampak pandemi terhadap produksi dan distribusi pangan.
Janggal dan tidak belajar dari sejarah
Visualisasi data tersebut kembali mengkritik pemerintah yang seakan tidak belajar dari kesalahan rezim sebelumnya yang menjalankan program serupa dengan food estate.
Program yang dimaksud adalah program cetak sejuta hektar sawah di lahan gambut Kalimantan pada masa presiden Soeharto tahun 1996. Program tersebut dinilai gagal dan menyebabkan kebakaran lahan pada El Nino 1997-1998.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mencanangkan program serupa di Merauke. Program “Merauke Integrated Food and Energy Estate” berujung pada konsesi lahan sawit dan perampasan tanah adat.
Selain itu, Presiden SBY juga mencanangkan program lumbung pangan di Bulungan dan Ketapang di Pulau Kalimantan yang juga berujung kegagalan.
Visualisasi data ini juga menyoroti kejanggalan-kejanggalan dalam proyek food estate dimana dua menteri yang in-charge justru berasal dari kementerian yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanian dan pangan.
Dua sosok itu adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan. Keduanya diduga mendapat keuntungan dan menggerakkan angkatan bersenjata untuk membuka lahan untuk food estate.
Visualisasi data tersebut ditutup dengan ancaman food estate terhadap kearifan dan pengetahuan lokal. Proyek lumbung pangan berpotensi menghilangkan pengetahuan dan kearifan lokal yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya.
Greenpeace juga menggarisbawahi fakta bahwa program ekspansi lumbung pangan selalu berakhir dengan kegagalan dan tidak meningkatkan ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat.
Greenpeace menilai bahwa langkah yang seharusnya dilakukan adalah dengan mendukung program Agroforestry. Praktik tersebut sudah dilakukan oleh masyarakat adat dengan kearifan lokalnya dan mampu menghasilkan ketahanan pangan tanpa harus merusak lingkungan.
KOMENTAR
Latest Comment