Audiensi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan: Ancam Laporkan Bawaslu Terkait Pasal 8 PKPU 10/2023

9 Mei 2023 13:05 WIB

Narasi TV

Anggota Bawaslu Totok Hariyono dan Lolly Suhenty melakukan audiensi dengan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan di Gedung Bawaslu, Senin, (7/5/2023). Sumber: bawaslu.go.id.

Penulis: Rusti Dian

Editor: Margareth Ratih. F

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan audiensi bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Senin, 10 Mei 2023. Audiensi ini membahas tentang penolakan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 10 Tahun 2023 Pasal 8 yang dinilai melanggar UUD 1945 dan Undang-Undang Pemilihan Umum.

Dari hasil audiensi tersebut, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyampaikan pernyataan sikap mereka menolak PKPU No. 10 Tahun 2023 Pasal 8, di antaranya:

  • Menolak Pasal 8 Ayat (2) PKPU No. 10 Tahun 2023 karena melanggar UUD 1945 dan UU Pemilu, serta mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD.
  • Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2x24 jam.
  • Apabila dalam waktu 2x24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi kepada KPU, maka Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melakukan upaya hukum untuk menuntut pemulihan hak perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024.

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melaporkan PKPU No. 10 Tahun 2023 tersebut ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan berasal dari beberapa organisasi seperti PPRI, Maju Perempuan Indonesia, KPPI, Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, JALA PRT, Puskapol UI, Prodi Kajian Gender UI, International NGO in Indonesia Development (INFID), dan masih banyak lagi.

Alasan penolakan PKPU 10/2023

Pasal 8 PKPU No. 10 Tahun 2023 dinilai melanggar konstitusi lantaran mengurangi keterwakilan perempuan di legislatif. Padahal, negara sudah memberikan jaminan partisipasi politik bagi perempuan dalam UUD 1945 dan UU Pemilu.

Dengan dikeluarkannya PKPU tersebut, kuota perempuan di parlemen pun semakin berkurang, tidak lagi 30 persen seperti di awal perjuangan. Di tengah situasi partai politik yang masih menganggap syarat keterwakilan perempuan adalah ‘beban’, KPU justru ‘tidak berpihak’ pada perempuan.

Perlu diketahui bahwa Pasal 8 PKPU 10/2023 memberlakukan pembulatan ke bawah jika perhitungan 30% keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Padahal sebelumnya pembulatan desimal masih berlaku ke atas. Berikut bunyi pasal bermasalah tersebut:

“Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:

  • kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau
  • 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.

Jika di dapil yang memberlakukan 8 caleg, maka 30%-nya adalah 2,4. Berdasar pasal di atas, maka hanya ada 2 perempuan yang bisa memenuhi kuota minimal. Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25% yang berarti belum memenuhi ambang batas minimal keterwakilan perempuan. Hal ini akan sangat berdampak pada 38 dari 84 daerah pemilihan.

Melanggar hak politik perempuan

Sejak diwajibkannya keterwakilan perempuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, persentase keterwakilan caleg perempuan terus meningkat. Pada Pemilu 2019, angka keterwakilan perempuan mencapai 40%.

Meski demikian, keterwakilan perempuan di DPR RI belum mencapai 30%. Pada Pemilu 2019, angka keterwakilan tersebut hanya menyentuh angka 20,52% saja. Padahal, keberadaan perempuan di parlemen sangat baik untuk membuat kebijakan berperspektif gender.

Aturan mengenai hak politik warga negara sudah diatur dalam UUD 1945 dan UU Pemilu. Pada Pasal 28D ayat (3) disebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 juga disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Artinya, perempuan juga berhak mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tanpa ada batasan. Sayangnya kultur Indonesia yang masih patriarki ini menjadi halangan bagi perempuan untuk berkarier di bidang politik, terutama di parlemen.

Menurut politisi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, partai politik yang menyatakan dukungannya pada 30% keterwakilan perempuan ini tidak benar-benar menerapkannya. Alasannya karena mereka kesulitan mencari caleg perempuan. Namun, hal tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemberlakuan hitungan pembulatan desimal ke bawah.

Setelah audiensi dilakukan, Bawaslu akan segera mengadakan pertemuan tripartit dengan KPU dan DKPP untuk mendorong agar aspirasi dari Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan bisa dilihat, dipertimbangkan, dan direvisi.

“Kenapa tripartit? Karena tentu saja proses (pencalonan) yang sudah berjalan tidak boleh terganggu. Kedua, harus ada solusi cepat yang tidak mengamputasi dan membatasi keterlibatan perempuan dalam politik,” pungkas anggota Bawaslu, Lolly Suhenty dalam Konferensi Pers di Gedung KPU, Jakarta. 

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR