Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam

28 Dec 2023 20:12 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi perayaan tahun baru. (Sumber: Pexels/Designecologist)

Penulis: Elok Nuri

Editor: Rizal Amril

Momen pergantian tahun seringkali menjadi momen bersejarah yang dirayakan banyak orang di berbagai belahan dunia, namun jika dilihat dari konteks agama, bagaimana hukum hukum merayakan tahun baru menurut islam?

Perayaan tahun baru yang jatuh pada tanggal 1 Januari di Indonesia merujuk pada kalender Gregorian.

Menurut Alpizar dalam bukunya berjudul Agama-Agama Dunia (Kajian Terhadap Sejarah Agama) (2008), tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Raja Romawi.

Penghitungan kalender tersebut kemudian mengalami perubahan pada abad ke-7 setelah mengadopsi kebiasaan orang Mesir kuno menghitung tanggal dengan mengamati revolusi matahari.

Kalender ini kemudian ditetapkan lagi oleh Paus Gregorius XII pada tahun 1582. Proses penetapannya dilakukan oleh bangsa Eropa Barat pada tahun 1752.

Dalam perayaannya momen tahun baru seringkali dimaknai sebagai penyambutan awal baru dengan harapan baru. 

Biasanya tahun baru dirayakan dengan bermacam cara, mulai dari berkumpul bersama keluarga, menikmati hiburan musik, sampai pesta kembang api.

Hukum merayakan tahun baru

Dalam ajaran Islam, ikut merayakan perayaan tahun baru seringkali diperdebatkan. Hal tersebut dikarenakan sebagian ulama menganggap perayaan tahun baru Masehi sebagai salah satu perayaan agama lain.

Pendapat yang melarang merayakan tahun baru masehi didasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan an-Nasa’i dalam kitab sunah-nya yang berbunyi:

لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

Artinya: “Dari Anas, ia berkata: ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan (Nairuz dan Mihrajan). Tanya Rasul shallallahu’alaihi wa sallam:” Ada apa dengan dua hari itu?” mereka menjawab:” Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman Jahiliyah.” Sabda Rasul shallallahu’alaihi wa salam: ”Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih biak, yaitu hari Adha dan hari Fitri.”

Dari hadit di atas jelas bahwasannya, berdasarkan nabi saw., Allah Swt. telah menghapuskan hari raya Nairus dan Mahrajan dan menggantikannya dengan hari raya Iduladha dan Idulfitri.

Hari raya Nairuz adalah hari pertama dalam awal tahun, dan itu adalah dianggap sebagai awal tahun matahari. 

Hari raya Nairuz dalam perhitungan bangsa Arab sama dengan hari pertama Muharram berdasarkan bulan Hijriyah. 

Sedangkan hari Mahrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari berada di awal musim semi.

Dan dalam keterangan lain juga disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman dalam surat al-Furqan ayat 72 yaitu:

وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Dari ayat di atas, Allah Swt. telah melarang kaum muslim menghadiri perayaan orang-orang musyrikin. 

Dua dalil di atas menjelaskan bahwa umat muslim telah diberi hari raya dan karenanya bergembira di hari raya Islam, alih-alih hari raya umat agama lain.

Akan tetapi, ada beberapa ulama yang memperbolehkan untuk merayakan tahun baru dengan catatan momen tersebut diisi dengan hal-hal kebaikan dan bebas dari maksiat.

Seperti yang dilansir dari laman NU Online, Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir Syeikh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M) menjelaskan hal tersebut dalam kompilasi fatwa ulama Al-Azhar sebagai berikut:

وَقَيْصَرُ رُوْسِيَا "الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ" كَلَّفَ الصَّائِغَ "كَارِلْ فَابْرَج" بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ

Artinya: “Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas ‘Karl Fabraj’ guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan ‘Sham Ennesim’ (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan. Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim? Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak.” [Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang hukum merayakan tahun baru Masehi.

Sebagian ulama melarang umat muslim ikut merayakan perayaan tahun baru Masehi karena tidak dianggap sebagai hari raya umat Islam.

Namun, beberapa ulama memperbolehkan ikut merayakan ulang tahun Masehi, asalkan kegiatan di dalamnya tidak termasuk maksiat dan hal-hal yang dilarang oleh agama.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER