Jejak Berdarah Mikhail Gorbachev Saat Memimpin Uni Soviet

3 Sep 2022 18:09 WIB

thumbnail-article

Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan bertemu di Jenewa, Swiss 19 November 1985/ Reuters

Penulis: Kelana Wisnu

Editor: Akbar Wijaya

Eropa dan Amerika Serikat mengenang Mikhail Gorbachev sebagai negarawan yang berperan besar mengakhiri Perang Dingin, tapi kematiannya justru ditanggapi dingin oleh Kremlin. 


Pemimpin besar terakhir Uni Soviet Mikhail Gorbachev menghebuskan napas terakhirnya  pada Selasa (30/8) malam di Rumah Sakit Klinik Pusat, Moskow karena sakit yang lama ia derita. 

Presiden Amerika Serikat Joe Biden tanpa ragu menyebut Gorbachev sebagai "seorang pria dengan visi yang luar biasa”.

Begitu pula dengan mantan Kanselir Jerman Angela Markel yang mengenang Gorbachev sebagai sosok yang berjasa terhadap penyatuan Jerman Timur dan Jerman Barat pada 1989 tanpa pertumpahan darah.

“Saya masih bisa merasakan ketakutan dan begitu pula dengan orang-orang yang tinggal di Jerman timur pada 1989. Kami berpikir apakah tank-tank akan berguling lagi seperti pada 1953 ketika kami berteriak ‘kami ini pribumi’ dan kemudian teriakan kami menjadi ‘kita ini satu bangsa’. Tidak seperti pada 1953, tank-tank itu tidak berguling, tidak pula melepaskan tembakan,” ujar Markel.

Saat itu, memang tidak ada tindakan militer yang dikerahkan di Jerman Timur lantaran Gorbachev menjalin hubungan persahabatan dan diplomatik dengan mantan kanselir Jerman Helmut Kohl. Atas sikapnya terhadap Jerman timur, Kohl merasa berhutang budi pada Gorbachev. 

Saat sanjung puji dari Amerika Serikat dan Eropa membanjir ke Gorbachev, Kremlin justru menanggapi kematiannya secara dingin.  Presiden Rusia Vladimir Putin baru mengucapkan rasa belasungkawa 15 jam setelah Gorbachev meninggal.

Putin memang sempat memberikan penghormatan terakhir untuk Gorbachev dengan meletakkan mawar merah di samping peti matinya di Rumah Sakit Klinis Pusat Moskow, Kamis (1/9), namun ia dipastikan tidak akan menghadiri pemakaman Gorbachev.

Jenazah Gorbachev akan disemayamkan di The Hall of Columns of the House of Unions, di depan Kremlin.

Di tempat ini pula para pemimpin besar Uni Soviet seperti Vladimir Lenin, Joseph Stalin, dan Leonid Breznev pernah disemayamkan.

Namun upacara pemakaman Gorbachev hanya akan digelar secara militer, bukan kenegaraan.

Lantas apa yang membuat Kremlin terkesan dingin terhadap sosok yang dianggap berjasa mencegah terjadinya perang nuklir di era Perang Dingin ini?

Citra Gorbachev yang begitu populis di mata elite maupun rakyat Amerika Serikat dan Eropa kebanyakan tak sebanding dengan kesan yang membekas di hati penduduk Rusia dan negara-negara Eropa Timur bekas Uni Soviet.

Citra tersebut tak semata dipicu fakta bahwa Gorbachev merupakan sosok yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap keruntuhan Uni Soviet, melainkan juga karena catatan kekerasan yang pernah ia tinggalkan sebagai pemimpin.

Kendati ia tidak menggunakan pendekatan militer saat Jerman Timur ingin bergabung dengan Jerman Barat, namun tidak demikian halnya ketika ia merespons sejumlah demonstrasi di negara-negara yang pernah menjadi bagian Uni Soviet.

Surat-Surat Rahasia Kremlin 

Sejarawan Rusia Pavel Stroilov menyalin sekitar 50.000 dokumen rahasia Kremlin yang diambil dari arsip Yayasan Gorbachev.

Dokumen-dokumen tersebut mengungkapkan serangkain kontradiksi dari pernyataannya, dan juga berbagai kesepakatan dengan kelompok garis keras di partai dan militer. Ini berbeda dengan pandangan tentang perestroika dan glasnost yang selalu ditonjol-tonjolkan Barat sebagai warisan gemilang Gorbachev.

Dari dokumen-dokumen tersebut tampak bahwa kepemimpinan Gorbachev gagal membuat birokrasi menjadi lebih efisien. Ekonomi di Uni Soviet kacau balau sejak 1988.

Pada detik-detik akhir masa jabatannya, gelombang pemisahan diri republik-republik Soviet non-Rusia membuat Gorbachev menjadi presiden tanpa negara. Hanya Rusia yang tersisa sebagai republik inti, tapi ia sama sekali tidak punya kendali.

Turbulensi politik ini adalah dampak dari kebijakan “perestroika” (restrukturisasi) dan “glasnost” (keterbukaan) yang secara retorika baik namun praktiknya justru mendorong kaum nasionalis mendesak kemerdekaan di republik-republik Baltik, Latvia, Lithuania, Estonia, dan wilayah lain. 

Dengan pahit Putin mengenang peristiwa runtuhnya Uni Soviet sebagai bencana geopolitik paling hebat pada abad ke-20. 

Dokumen tersebut juga mengungkapkan alasan Gorbachev tidak menggunakan kekuatan militer ke Jerman Timur adalah karena saat itu Uni Soviet tengah di titik nadir dan melobi bantuan ekonomi dari Jerman.

Gorbachev juga disebut melobi Amerika Serikat untuk menggenjot kembali ekonomi yang melemah akibat anjloknya harga minyak dan penurunan pendapatan negara. 

Surat-surat dalam dokumen itu juga menjelaskan bahwa tidak ada bedanya Gorbachev dengan negarawan Uni Soviet lain yang telah pensiun. Ia hanya memperindah citranya sebagai reformis yang jujur. 

Jejak Berdarah Gorbachev 

Sejarah dan kesaksian atas pencapaian Gorbachev seolah menggambarkan bahwa tidak ada pemaksaan dan pertumpahan darah menjelang keruntuhan Uni Soviet.

Padahal, aksi respons keras pasukan Soviet terhadap kelompok prodemokrasi menyebabkan 20 orang tewas di Georgia, 143 di Azerbaijan, dan 14 di Lithuania. Serangkaian kerusuhan juga terjadi di Nagorno-Karabakh, Transnistria dan Asia Tengah.

Gorbachev cuci tangan atas semua aksi militer ini dan tidak pernah memberikan sanksi tegas atas tindakan militer Soviet terhadap kelompok prodemokrasi di Georgia, Azerbaijan, dan Lithuania ketika negara-negara Eropa Timur tersebut antara tahun 1989 hingga 1991, memberontak pemerintahan pusat di Moskow dan mencoba menegakkan kedaulatannya masing-masing. 

Banyak juga yang melupakan kejadian di Ibu Kota Georgia, Tbilisi, pada 8-19 April 1989. Waktu itu, tentara Rusia membubarkan aksi demonstran dengan kekerasan dan gas beracun.

Gorbachev  mengatakan bahwa peristiwa yang menewaskan 20 orang itu adalah "misteri besar". Tidak jelas siapa yang memberikan perintah penggunaan kekerasan militer. 

Dalam pertemuan politbiro pada 4 Oktober 1989, Gorbachev menunjukkan sikap bahwa dia siap “memunggungi” reformasinya sendiri dan tidak menolak tindakan kekerasan jika dibutuhkan. 

Moskow mencoba menghentikan gerakan kemerdekaan di Baltik pada detik-detik terakhir. Pada Januari 1991, Gorbachev tampak setuju dengan rencana untuk memproklamasikan bahwa pemerintahan Presiden Lithuania di bawah kendali Moskow.

Akibatnya, pasukan khusus Soviet dan keamanan negara bergerak merebut dan menyerbu stasiun televisi negara di Vilnius dengan tank. Tindakan militer ini menewaskan 13 orang. 

"Kami hanya akan campur tangan jika ada pertumpahan darah atau jika ada kerusuhan yang tidak hanya mengancam konstitusi kami, tetapi juga kehidupan manusia. Saya sekarang berada di bawah tekanan yang luar biasa untuk memperkenalkan kontrol presiden di Lithuania. Saya masih menahan diri, dan hanya dalam kasus ancaman yang sangat serius saya akan mengambil tindakan tegas," ujar Gorbachev dalam percakapan telepon dengan Presiden Amerika saat itu George Bush, dua hari sebelum kejadian. 

Respons terhadap demonstrasi damai dengan kekerasan militer menjelang keruntuhan Uni Soviet membekas dalam ingatan salah satu penyintas. 

“Dalam pikiran saya, dia adalah orang yang terlibat dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang menurut saya merupakan bagian penting di sini. Kejahatan ini tidak hanya terjadi di Lithuania: mutilasi terhadap orang-orang menggunakan tentara juga terjadi di Sakartvel pada 1989, di ibu kota Azerbaijan, Baku pada 1990, di Lituania pada 1991,” ujar R. Povilaitis, salah satu korban dalam kasus 13 Januari kepada BNS.

Harga yang Harus Dibayar

Pada 1 Desember 1991, Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya. Hanya dalam sepekan, Persemakmuran Negara Merdeka dibentuk oleh Rusia, Ukraina, dan Belarusia, diikuti delapan republik non-Slavia. 

Natal 25 Desember 1991 mencatat kegagalan cita-cita reformasi Gorbachev. Ia mengundurkan diri sebagai presiden dan Uni Soviet pun tamat.

Laporan UNICEF mencatat kemiskinan dengan konsekuensi serius bagi pembangunan sosial meningkat tajam. Hampir 18 juta anak-anak hidup dalam kemiskinan di seluruh wilayah (hidup dengan $2.5 dollar per hari). Tingkat kekurangan gizi pada anak-anak begitu tinggi di beberapa wilayah dan tingkat kematian berlebih tercatat pada periode 1990-1999. 

Kematian Gorbachev pada akhirnya menimbulkan perdebatan publik mengenai perannya dalam sejarah. Dia mencoba memperbaiki Uni Soviet, tapi malah membawanya pada kehancuran. 

Sejarawan Alexander Titov menulis bahwa sikap Putin hari ini juga turut dibentuk dari kesalahan yang dirasakan oleh Gorbachev, bahwa reformasi dan liberalisasi dapat membawa negara pada kehancuran.

Seorang ekonom liberal teman Gorbachev, Ruslan Grinberg mengatakan kepada outlet berita Zvezda setelah mengunjunginya di rumah sakit: “Dia memberi kita semua kebebasan–tapi kita tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan itu.”

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER