15 Desember 2022 02:44
Presiden Joko Widodo secara resmi membuka acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang dilakukan melalui konferensi video dari Istana Negara, Jakarta, pada Kamis (26/8/2021). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/Rusman/aa (Handout Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman)
Penulis: Rahma Arifa
Editor: Akbar Wijaya
Presiden Jokowi teken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilu atau Perppu Pemilu, Senin 12 Desember 2022.
Beleid ini memuat sejumlah perubahan dalam UU Pemilu 2017 yang akan diterapkan pada Pemilu 2024 lalu. Mulai dari:
Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mempertanyakan landasan Jokowi mengeluarkan Perppu Pemilu. Menurutnya, meski presiden berhak mengeluarkan Perppu namun UUD telah mengatur sejumlah prasarayatnya.
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan presiden berhak menetapkan Perppu sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang."
Parameter adanya “kegentingan yang memaksa” dalam penetapan Perppu tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Yakni:
Titi menilai tidak ada unsur "kegentingan yang memaksa" presiden untuk mengeluarkan Perppu. Sebab, Perppu Pemilu juga sempat dibahas bersama antara pemerintah DPR, KPU, Bawaslu.
“Kemendesakan Perppu Pemilu akhirnya terbantahkan karena pembahasannya dilakukan dengan KPU, Bawaslu, DKPP, berkali-kali, yang notabene itu adalah proses pembahasan normal atau praktik Undang-undang," kata Titi kepada Narasi, Rabu (14/12/2022).
"Jadi situasi genting yang memaksa itu seolah-olah tidak tergambarkan"
Alih-alih presiden mengeluarkan Perppu, Titi berpandangan mestinya perubahan peraturan untuk Pemilu 2024 dilakukan melalui pembahasan pemerintah dan DPR seperti halnya mekanisme merevisi undang-undang.
Sehingga partisipasi masyarakat di dalam pembahasan tersebut menjadi lebih terakomodir.
“Akhirnya Perppu ini terbit, melalui proses yang padahal mirip dengan undang-undang biasa, tetapi tanpa adanya partisipasi masyarakat,” ujarnya.
Titi menegaskan penerbitan Perppu memberi celah bagi DPR dan pemerintah meninggalkan partisipasi masyarakat. Sehingga, pemerintah dapat menggunakan dalih-dalih Perppu untuk menutup ruang diskusi dan partisipasi masyarakat.
“Perppu itu menjadi celah, tidak ada partisipasi masyarakat karena mendesak,” ujarnya.
Titi mengatakan praktik penerbitan Perppu seperti Perppu Pemilu No. 1 Tahun 2022 ini tidak boleh terulang kembali. Pemerintah harus menempuh mekanisme pembentukan undang-undang kecuali benar-benar dalam keadaan mendesak.
“Menurut saya, tradisi penerbitan Perppu seperti ini tidak boleh dilanjutkan. Kalau revisi undang-undang itu, partisipasi masyarakat wajib dilakukan secara bermakna. Mengikat. Tapi kalau Perppu mereka bisa berdalih dibalik kepentingan yang memaksa dan kegentingan, sehingga meninggalkan partisipasi masyarakat,” katanya.
Titi mengatakan jika keberadaan daerah otonomi baru di tahan Papua sebagai aspek yang dinilai mendesak untuk dikeluarkannya Perppu, maka mestinya Perppu tidak perlu mengubah aspek substantif penyelenggaraan seperti penentuan nomor urut.
Untuk diketahui, poin ketiga Pasal 179 UU Pemilu 2017 menetapkan bahwa nomor urut partai peserta harus dilakukan melalui undian dalam sidang pleno KPU terbuka. Namun Perppu Pemilu memberikan opsi kepada partai di DPR yang lolos verifikasi peserta Pemilu 2024 untuk tetap menggunakan nomor pada Pemilu 2019 atau mengikuti undian di KPU.
“Dari substansinya, Perppu ini kemendesakannya adalah untuk DOB itu. Tetapi justru malah muncul pasal tentang nomor urut yang sebenarnya tidak memiliki kemendesakan apa pun,” ujar Titi.
Titi mengingatkan pada 2009 pemerintah pernah mengeluarkan Perppu tentang distribusi perlengkapan pemungutan suara karena memang situasi di lapangan tidak mampu dipenuhi seusai kerangka waktu distribusi logistik yang ada di undang-undang pemilu.
Menurutnya poin tentang penetapan nomor urut peserta Pemilu seharusnya tidak masuk syarat genting dan mendesak seperti pada situasi pada 2009.
“Apalagi dia hanya memberikan insentif kepada partai-partai yang sudah memiliki kursi di DPR. Kan seharusnya ada perdebatan yang cukup baik dengan publik untuk menilai apakah hal itu sebenarnya dibenarkan atau tidak."
Latest Comment
Belum ada komentar
Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya