Jokowi Teken Perppu Pemilu, Pengamat Sorot Kegentingan yang Memaksa dan Absennya Partisipasi Publik

15 Dec 2022 14:12 WIB

thumbnail-article

Presiden Joko Widodo secara resmi membuka acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang dilakukan melalui konferensi video dari Istana Negara, Jakarta, pada Kamis (26/8/2021). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/Rusman/aa (Handout Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman)

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Presiden Jokowi teken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilu atau Perppu Pemilu, Senin 12 Desember 2022.

Beleid ini memuat sejumlah perubahan dalam UU Pemilu 2017 yang akan diterapkan pada Pemilu 2024 lalu. Mulai dari:

  • Pembentukan KPU dan Bawaslu Provinsi di Daerah Otonomi Baru di Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya.
  • Jumlah anggota DPR bertambah dari 575 menjadi 580.
  • Jumlah anggota DPD bertambah dari 34 menjadi 38. Setiap provinsi akan diwakili oleh empat orang anggota DPD yang berarti akan ada 152 anggota DPD dari hasil Pemilu 2024.
  • Parpol yang memiliki kursi di DPR RI dan dinyatakan lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024 bisa menggunakan nomor urut saat Pemilu 2019 atau mengikuti undian yang diselenggarakan KPU.
  • Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Presiden di Ibu Kota Negara (IKN) tetap berpedoman pada UU Pemilu 2017.

Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mempertanyakan landasan Jokowi mengeluarkan Perppu Pemilu. Menurutnya, meski presiden berhak mengeluarkan Perppu namun UUD telah mengatur sejumlah prasarayatnya.

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan presiden berhak menetapkan Perppu sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang."

Parameter adanya “kegentingan yang memaksa” dalam penetapan Perppu tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Yakni: 

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  1. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  1. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Titi menilai tidak ada unsur "kegentingan yang memaksa" presiden untuk mengeluarkan Perppu. Sebab, Perppu Pemilu juga sempat dibahas bersama antara pemerintah DPR, KPU, Bawaslu.

“Kemendesakan Perppu Pemilu akhirnya terbantahkan karena pembahasannya dilakukan dengan KPU, Bawaslu, DKPP, berkali-kali, yang notabene itu adalah proses pembahasan normal atau praktik Undang-undang," kata Titi kepada Narasi, Rabu (14/12/2022).

"Jadi situasi genting yang memaksa itu seolah-olah tidak tergambarkan"

Perppu Abaikan Partisipasi Publik

Alih-alih presiden mengeluarkan Perppu, Titi berpandangan mestinya perubahan peraturan untuk Pemilu 2024 dilakukan melalui pembahasan pemerintah dan DPR seperti halnya mekanisme merevisi undang-undang.

Sehingga partisipasi masyarakat di dalam pembahasan tersebut menjadi lebih terakomodir.

“Akhirnya Perppu ini terbit, melalui proses yang padahal mirip dengan undang-undang biasa, tetapi tanpa adanya partisipasi masyarakat,” ujarnya.

Titi menegaskan penerbitan Perppu memberi celah bagi DPR dan pemerintah meninggalkan partisipasi masyarakat. Sehingga, pemerintah dapat menggunakan dalih-dalih Perppu untuk menutup ruang diskusi dan partisipasi masyarakat.

“Perppu itu menjadi celah, tidak ada partisipasi masyarakat karena mendesak,” ujarnya.

Titi mengatakan praktik penerbitan Perppu seperti Perppu Pemilu No. 1 Tahun 2022 ini tidak boleh terulang kembali. Pemerintah harus menempuh mekanisme pembentukan undang-undang kecuali benar-benar dalam keadaan mendesak.

“Menurut saya, tradisi penerbitan Perppu seperti ini tidak boleh dilanjutkan. Kalau revisi undang-undang itu, partisipasi masyarakat wajib dilakukan secara bermakna. Mengikat. Tapi kalau Perppu mereka bisa berdalih dibalik kepentingan yang memaksa dan kegentingan, sehingga meninggalkan partisipasi masyarakat,” katanya.

Aturan Nomor Urut Bukan Kegentingan yang Memaksa

Titi mengatakan jika keberadaan daerah otonomi baru di tahan Papua sebagai aspek yang dinilai mendesak untuk dikeluarkannya Perppu, maka mestinya Perppu tidak perlu mengubah aspek substantif penyelenggaraan seperti penentuan nomor urut.

Untuk diketahui, poin ketiga Pasal 179 UU Pemilu 2017 menetapkan bahwa nomor urut partai peserta harus dilakukan melalui undian dalam sidang pleno KPU terbuka. Namun Perppu Pemilu memberikan opsi kepada partai di DPR yang lolos verifikasi peserta Pemilu 2024 untuk tetap menggunakan nomor pada Pemilu 2019 atau mengikuti undian di KPU.

“Dari substansinya, Perppu ini kemendesakannya adalah untuk DOB itu. Tetapi justru malah muncul pasal tentang nomor urut yang sebenarnya tidak memiliki kemendesakan apa pun,” ujar Titi.

Titi mengingatkan pada 2009 pemerintah pernah mengeluarkan Perppu tentang distribusi perlengkapan pemungutan suara karena memang situasi di lapangan tidak mampu dipenuhi seusai kerangka waktu distribusi logistik yang ada di undang-undang pemilu.

Menurutnya poin tentang penetapan nomor urut peserta Pemilu seharusnya tidak masuk syarat genting dan mendesak seperti pada situasi pada 2009.

“Apalagi dia hanya memberikan insentif kepada partai-partai yang sudah memiliki kursi di DPR. Kan seharusnya ada perdebatan yang cukup baik dengan publik untuk menilai apakah hal itu sebenarnya dibenarkan atau tidak."

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER