8 Mei 2023 18:05 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Rizal Amril
Peraturan KPU yang baru berpotensi kurangi keterwakilan perempuan di legislatif pada tahun 2024.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat. Aturan tersebut dinilai tidak sejalan dengan semangat perempuan untuk meningkatkan keterwakilannya di parlemen.
Peraturan yang dimaksud adalah dalam Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Legislatif DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten dan Kota.
Pasal tersebut mengatur tentang pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah perempuan di daerah pemilihan.
Berikut bunyi Pasal 8 Ayat (2) PKPU No. 10 Tahun 2023:
“Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:
Implikasi aturan tersebut membuat 30 persen keterwakilan perempuan di beberapa dapil menjadi kurang.
Misalnya jika di dapil yang memberlakukan 8 caleg, maka 30 persen dari jumlah itu adalah 2,4. Jika merujuk pada Pasal 8 Ayat (2) PKPU No. 10 Tahun 2023, maka hanya ada 2 perempuan untuk memenuhi kuota minimal.
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen yang artinya belum memenuhi minimal keterwakilan perempuan yaitu 30 persen.
PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ini menunjukkan bahwa KPU alami kemunduran dalam perjuangannya memenuhi keterwakilan perempuan di parlemen.
Kini, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) meminta KPU untuk mengoreksi aturan tersebut.
Terlebih Bawaslu memiliki wewenang untuk uji materi terhadap peraturan KPU yang bertentangan dengan undang-undang.
“Ada tiga jalan. Pertama, uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Kedua, memproses dugaan pelanggaran pemilu oleh KPU. Ketiga, secara persuasif meminta KPU mengoreksi peraturan itu,” ujar pegiat pemilu sekaligus mantan Komisioner Bawaslu Wahidah Suaib, dilansir dari Antara.
Setidaknya ada 38 dapil yang terdampak aturan tersebut. Secara matematis, dapil dengan jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11 akan mengurangi kuota keterwakilan perempuan yang kini sudah tidak mencapai 30 persen lagi.
Angka keterwakilan perempuan di legislatif terus alami peningkatan, walaupun sempat turun pada Pemilu 2014.
Namun, pada Pemilu 2019, angka keterwakilan tersebut mencapai 20,52 persen. Angka ini tetap belum mencapai kuota 30 persen.
Keterwakilan perempuan seharusnya tidak hanya sebagai syarat formal suatu partai bisa bergabung dalam pemilu.
Partai politik berperan penting dalam meningkatkan kualitas politisi perempuan. Parpol harus memastikan bahwa perempuan dalam pusaran politik ini adalah sebagai perumus keputusan, bukan hanya sebagai penggenap syarat 30 persen saja.
Budaya patriarki yang mengakar ini membuat perempuan kesulitan untuk bergabung dalam politik. Stigma yang ada seolah memupuskan harapan politisi perempuan berkarier dalam parlemen.
Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah mengatakan bahwa dukungan perempuan cenderung berkurang menjelang pemilu.
“Tetap ada persepsi dalam masyarakat bahwa tempat perempuan bukan di dunia politik karena dinilai penuh kekerasan dan ‘jorok’, serta kerap menghadapkan perempuan dengan pekerjaan tradisional,” jelas Luluk, dilansir dari VOAIndonesia.
Dengan adanya aturan terbaru PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tersebut, apakah optimisme keterwakilan perempuan di legislatif mencapai 30 persen pada Pemilu 2024 masih bisa tercapai?
KOMENTAR
Latest Comment