17 Juli 2023 18:07 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Rizal Amril
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023 menuai banyak kontroversi dan sederet masalah, mulai dari menumpang Kartu Keluarga (KK), pungli, hingga jual beli kursi.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai masalah pada PPDB 2023 menunjukkan bahwa standar pendidikan di Indonesia masih belum merata.
Menurut P2G, Kemendikbudristek perlu meninjau ulang dan mengevaluasi total kebijakan sistem PPDB ini. Pasalnya, kebijakan sistem ini dinilai sudah melenceng dari tujuannya.
P2G mencatat sejumlah permasalahan yang terjadi selama PPDB 2017-2023. Berikut penjelasan permasalahannya:
Pindah alamat KK ini dilakukan dengan cara menitipkan nama calon siswa ke KK warga sekitar sekolah yang dinilai favorit atau unggulan. Peristiwa ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan Kota Bogor.
Dalam Pasal 17 ayat (2) Permendikbudristek No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB disebutkan bahwa alamat calon siswa merujuk pada KK yang terbit minimal 1 tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB. Jika penggunaan alamat KK baru kurang dari 1 tahun, maka ini adalah ilegal.
"Itu sekaligus menunjukkan fakta bahwa kualitas sekolah di Indonesia belum merata sehingga orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap lebih unggul," kata Koordinator Nasional P2G Satriawan Salim, dikutip dari Antara.
Masalah PPDB 2023 lainnya yang dihimpun P2G adalah adanya daerah yang kelebihan calon peserta didik.
Jumlah peserta didik di beberapa daerah, terutama di perkotaan, tidak sebanding dengan jumlah sekolah yang dapat menampungnya.
Satriawan menyebutkan hal tersebut terjadi, misalnya, PPDB jenjang SMP/MTs di DKI Jakarta. Calon peserta didik jenjang SMP/MTs di DKI Jakarta mencapai 149.530 siswa namun daya tampung bahkan tak sampai setengah, hanya 71.489 siswa.
Menurut Satriawan, hal ini menyebabkan para calon peserta didik yang tidak tertampung harus memilih sekolah swasta sebagai pilihan terakhir karena tidak lolos tahapan PPDB.
Akan tetapi, calon peserta didik yang membengkak tidak terjadi di semua tempat. Di beberapa daerah, sekolah justru kekurangan siswa yang mendaftar.
P2G mencatat, kasus tersebut terjadi pada 21 SMP negeri di Batang dan 12 SMP negeri di Jepara.
Hal tersebut diduga karena terlalu banyaknya sekolah negeri yang berdekatan satu sama lain sehingga terdapat terlalu banyak sekolah dalam satu zona.
Melihat hal tersebut, P2G menilai perlu adanya evaluasi pemerataan fasilitas pendidikan. "Pemda hendaknya menggabungkan sekolah negeri," kata Satriawan.
Jual beli kursi, pungli, dan siswa titipan juga masih dijumpai di beberapa daerah. Menurut P2G, modus yang dilakukan adalah dengan menitipkan siswa atas nama pejabat tertentu ke sekolah.
Kepala sekolah dan guru yang tidak memiliki power enggan untuk menolak permintaan tersebut.
Selain itu, ada pula modus “main mata dan saling kunci”. Bahkan, oknum ormas pun menjual jasa memasukkan siswa ke sekolah dengan tarif tertentu.
Dalam pengamatan P2G, praktik lancung tersebut ditemukan di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung, dan Depok.
Sistem zonasi pada PPDB sebenarnya dirancang untuk meningkatkan pemerataan pendidikan bagi seluruh kalangan.
Namun P2G menemukan terdapat calon peserta didik jalur afirmasi (tidak mampu) dan dalam satu zonasi tidak tertampung.
Dalam pengamatan P2G, hal tersebut membuat prioritas pemerintah akan pendidikan anak miskin dan pemerataan pendidikan perlu dipertanyakan.
"Bagi P2G sistem PPDB oleh pemerintah wajib memprioritaskan anak miskin dan satu zona untuk diterima di sekolah negeri," katanya.
Padahal, hakikat sistem PPDB adalah berpihak pada siswa miskin dan dapat bersekolah di dekat rumahnya. Hal ini agar biaya ongkosnya lebih ringan, serta keamanannya terjaga.
Satriawan menilai pemerintah perlu melakukan evalusasi sistem PPDB secara menyeluruh.
"P2G menilai tujuan utama PPDB mulai melenceng dari relnya," katanya.
Masalah yang ditemukan oleh P2G dalam PPDB 2023 justru memperlihatkan ketidaksesuaian tujuan pemerataan pendidikan dengan apa yang terjadi di lapangan.
Hal serupa juga disampaikan oleh konsultan Kemendikbudristek Weilin Han. Menurutnya, pemda perlu meningkatkan pemetaan geografis zonasi pada PPDB.
Melalui pemetaan tersebut, dinas terkait diharapkan dapat mengukur jumlah siswa dan kapasitas sekolah agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan siswa.
Sementara itu, sebelumnya Kemendikbudristek mengakui bahwa terdapat kelemahan pelaksanaan PPDB berupa kurangnya sosialisasi dan pengawasan di daerah.
"Berdasarkan evaluasi, ditemukan fakta bahwa dalam proses PPDB masih lemah sosialisasi dan pengawasan di tingkat daerah," ujar Inspektur Jenderal Kemendikbudristik Chatarina Muliana Girsang, dikutip dari Antara.
Menurutnya, pengawasan dan sosialisasi masih perlu ditingkatkan secara masif oleh pemda.
KOMENTAR
Latest Comment