22 Maret 2023 17:03 WIB
Penulis: Nuha Khairunnisa
Editor: Rizal Amril
Tiada hari tanpa kehadiran tren baru di TikTok. Baru-baru ini, para kreator konten memunculkan istilah baru yang segera menjadi tren: “lucky girl syndrome”.
Lucky girl syndrome dipercaya dapat membuat orang-orang yang mempercayainya akan mendapatkan kemujuran hidup yang besar.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “lucky girl syndrome” dan mengapa keberadaannya perlu diwaspadai?
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa istilah ini, meskipun menggunakan kata”syndrome”, bukan sebuah istilah medis dan saintifik.
Sejauh ini, belum ada penelitian saintifik yang menjelaskan secara spesifik mengenai lucky girl syndrome.
Seperti namanya, lucky girl syndrome mengacu pada keyakinan yang dianut oleh seseorang bahwa ia adalah orang paling beruntung di dunia.
Dengan meyakinkan diri bahwa ia adalah orang paling beruntung, maka ia yakin kesehariannya akan dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa penuh keberuntungan.
Prinsip lucky girl syndrome sebenarnya serupa dengan law of attraction, salah satu pemikiran gerakan keagamaan bernama New Thought yang berkembang di Amerika pada awal abad ke-19.
Pada dasarnya, konsep ini merupakan kepercayaan atas kekuatan pikiran dan afirmasi positif. Praktik ini biasa digunakan oleh mereka yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu.
“Lucky girl syndrome” memiliki aturan main yang kurang lebih sama. Mereka yang menganutnya percaya bahwa semesta selalu berpihak padanya karena ia yakin bahwa dirinya adalah seseorang yang paling beruntung.
Keyakinan inilah yang pada akhirnya akan menarik hal-hal baik dalam hidupnya.
Meski bukan hal yang ilmiah, banyak orang yang mengamini dan membagikan pengalamannya sebagai bukti bahwa pemikiran positif benar-benar membantu mereka menjadi orang yang lebih beruntung.
Sebagai sebuah permainan pikiran, tren “lucky girl syndrome” yang melibatkan afirmasi-afirmasi positif dapat membantu seseorang membangun kepercayaan diri.
Keyakinan bahwa “semua akan berjalan sesuai rencana” dapat meningkatkan optimisme seseorang dan membantu dalam penyelesaian masalah.
Namun, tren ini juga banyak dikritik karena dapat memberi pengaruh buruk pada kesehatan mental.
Psikiater klinis Claire Plumbly dalam wawancaranya untuk Evening Standard menjelaskan bahwa tren ini berpotensi menjadi toxic positivity dan victim blaming.
Ketika terjadi kegagalan, seseorang rentan menyalahkan diri sendiri karena membiarkan pemikiran negatif merusak rencana-rencananya.
Padahal, tentunya ada faktor lain di luar diri individu yang turut mempengaruhi output yang ia peroleh.
Berkaitan dengan faktor-faktor eksternal ini, “lucky girl syndrome” dan praktik-praktik sejenis dianggap mengesampingkan keberadaan faktor ekonomi, bias gender, dan permasalahan struktural lain yang sering kali turut menghambat perempuan dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Melansir The Cut, Penyelesaian yang ditawarkan oleh “manifestasi” bersifat semu, sebab solusi untuk permasalahan individu terkadang justru digunakan untuk menyelesaikan permasalahan sistemik.
Penganut “lucky girl syndrome” juga cenderung menganggap kesuksesan sebagai hasil dari energi positif alih-alih kerja keras yang dilakukan.
Akibatnya, mereka lebih fokus bermimpi dan tidak benar-benar berusaha meraih hal-hal yang mereka impikan.
“Lucky girl syndrome” dikritik karena terlalu mementingkan tujuan dibandingkan proses. Manifestasi bukanlah hal yang buruk, selama praktiknya dibarengi dengan usaha yang setimpal.
Kalau kamu ingin menjadi pribadi dengan pemikiran positif, cobalah untuk tidak membatasi diri pada tujuan-tujuan material dan praktis seperti kekayaan atau kekuasaan.
Kamu bisa mulai menjadikan kasih saya, dukungan, dan kebaikan sebagai salah satu tujuan bermanifestasi.
Dengan berfokus pada peningkatan kualitas diri, kamu mungkin akan menemukan bentuk kepuasan yang jauh lebih bermakna.
KOMENTAR
Latest Comment