Luhut Tidak Mau Lagi Lihat OTT, ICW Minta Jokowi Menegur: Apa Urusannya Pemerintah Campuri Penegakkan Hukum

18 Jan 2023 22:01 WIB

thumbnail-article

Luhut B. Pandjaitan/ Antara

Penulis:

Editor: Akbar Wijaya

Menteri Koordinator bidang Investasi dan Kemaritiman (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan lagi-lagi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Operasi Tangkap Tangan (OTT) koruptor. 

“Kita lakukan digitalisasi, kita akan mengurangi korupsi dan kita tidak mau melihat ada OTT ke depan. Kenapa? Negara yang bermartabat tentu punya ekosistem yang baik,” kata Luhut dalam diskusi Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda Tahun 2023 di Sentul (17/1/2023).

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo untuk menegur Menko Marves Luhut atas pernyataannya. Pasalnya, ini bukan pertama kali Luhut menyampaikan ketidaksukaannya atas OTT KPK di depan publik.

“Ini sudah kedua kali saudara Luhut menyatakan hal yang sama. Narasinya akan selalu sama, digitalisasi. ICW mendorong presiden untuk menegur saudara Luhut atas pernyataan yang bersangkutan” kata Peneliti ICW Dicky Anandya kepada Narasi, Rabu (18/1/2023).

Dicky mengingatkan Luhut merupakan menteri di pemerintahan Jokowi, sehingga tidak seharusnya eksekutif mencampuri urusan penindakan hukum yang objektif dan imparsial.

Pemerintah sebagai eksekutif harus menjaga independensi lembaga KPK, kejaksaan dan kepolisian dalam upaya penegakkan hukum. Sebab komentar terhadap penindakan OTT hanya mencerminkan sikap pemerintah yang alergi terhadap pemberantasan korupsi.

“Kalau bahasa kasarnya, apa urusannya pemerintah mencampuri urusan kinerja aparat penegak hukum?” katanya.

ICW juga mempertanyakan dalih digitalisasi yang kerap dilontarkan Luhut untuk menolak OTT. Pasalnya, digitalisasi bukan solusi dari pemberantasan korupsi yang seharusnya mencakup tiga prinsip utama: penindakan, pencegahan dan pendidikan.

Digitalisasi tidak otomatis menghapuskan praktik korupsi. Walau dapat mengidentifikasi potensi penyalahgunaan anggaran. Digitalisasi hanya bergerak dalam ranah pencegahan, bukan penindakan pelaku korupsi.

Upaya digitalisasi juga bukan pertama kalinya dilakukan dalam sistem pelacakan anggaran.  Dicky mencontohkan, sektor barang dan jasa pemerintah telah menggunakan Layanan Secara Elektronik (LSE) dalam sejak tahun 2010.

Namun sistem digital ini tetap saja tidak menjamin pemberantasan korupsi yang terjadi dalam sektor tersebut. Hal terlihat dari data KPK 2004 sampai 2022, sektor barang dan jasa yang notabene sudah memakai mekanisme digitalisasi namun masih menjadi sektor rawan terjadinya korupsi.

Dicky juga menegaskan bahwa pencegahan melalui digitalisasi bukan alasan untuk menghapus OTT yang bergerak dalam ranah penindakan praktik korupsi yang sudah terjadi.

“Tapi kita lihat ternyata efektivitasnya kalau berdasarkan data ICW dari tahun 2016 sampai 2021, ternyata 51% dari 2.669 kasus korupsi itu masih dalam pengadaan barang dan jasa,” paparnya.

Dicky juga mempersoalkan pernyataan Luhut yang kerap membandingkan OTT di KPK dan pemberantasan korupsi di negara maju. Menurutnya,  perbandingan ini tidak apple to apple jika melihat situasi dan kondisi korupsi di Indonesia.

"Apalagi kalau kita merujuk ke Indeks Persepsi Korupsi 2021, Indonesia masih menempati urutan rawan atau peringkat tingkat merah. Berbeda dengan negara-negara yang Luhut bandingkan. Tidak relevan jika dibandingkan dengan negara-negara lain," katanya.

Sebelumnya, Luhut sempat menyatakan bahwa OTT yang dilakukan KPK membuat buruk citra negara di mata dunia. Hal ini disampaikannya pada Desember 2022 silam pada acara pelunculan Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024.

“Kita nggak usah bicara tinggi-tinggilah. OTT-OTT ini kan enggak bagus sebenarnya. Buat negeri ini jelek banget. Tapi kalau kita digital life, siapa yang mau melawan kita” kata Luhut (20/12/2022).

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER