10 Oktober 2022 20:10 WIB
Penulis: Jay Akbar
Editor: Ramadhan Yahya
Mabes Polri membantah gas air mata yang ditembakkan personel kepolisian di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) malam, menjadi penyebab meninggalnya ratusan suporter Arema.
Berdasarkan keterangan para dokter RSUD Sakit Saiful Anwar Malang, Polri mengklaim ratusan orang di Kanjuruhan meninggal lantaran kekurangan oksigen saat berdesakan di sejumlah pintu keluar yang dikunci.
“Dari penjelasan para ahli dokter spesialis yang menangani para korban, baik yang meninggal dunia maupun para korban yang luka, dari dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan juga spesialis penyakit mata tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata, tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi berdesakan-desakan, kemudian terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo dalam konferensi pers kepada wartawan, Senin (10/10/2022).
Dalam peristiwa Kanjuruhan, personel Polri menggunakan tiga jenis gas air mata yang bersifat ringan, sedang, dan berat.
Dedi mengatakan gas-gas air mata tersebut, berdasarkan keterangan ahli toksikologi Universitas Udayana I Made Agus Gelgel Wirasuta, tidak mengakibatkan kematian meskipun dihirup dengan intensitas tinggi.
“Karena saya bukan expert, saya hanya bisa mengutip para pakar. Gas air mata dalam tingkatan tertinggi pun tidak akan mematikan,” ujar Dedi.
Dedi mengatakan dampak paling parah gas air mata hanyalah menyebabkan iritasi pada mata dan pernapasan. Kondisi ini menurutnya mirip ketika mata terasa perih karena terkena air sabun.
“Dokter spesialis mata menyebutkan ketika terkena gas air mata, mata khusususnya memang terjadi iritasi. Sama seperti kita terkena air sabun terjadi perih tapi dalam beberapa waktu bisa langsung sembuh tidak mengakibatkan kerusakan fatal,” kata Dedi.
Dedi juga mengakui sejumlah gas air mata yang digunakan personel Polri di Stadion Kanjuruhan ada yang kedaluwarsa. Namun, menurut Dedi, hal ini tidak berarti zat kimia yang terkandung di dalamnya menjadi lebih berbahaya.
Dedi menerangkan berdasarkan informasi ahli persenjataan dan kimia Universitas Indonesia Mas Ayu Elita Hafizah, gas air mata yang kedaluwarsa justru membuat bahan-bahan kimia yang terkandung di dalamnya menjadi tidak efektif.
“Rekan-rekan harus mampu membedakan ini kimia beda dengan makanan. Kalau makanan ketika dia kedaluwarsa maka di situ ada jamur, ada bakteri yang bisa mengganggu kesehatan."
"Kebalikannya dengan zat kimia atau gas air mata ketika dia expired, justru kadar kimianya itu berkurang. Sama dengan efektivitas gas air matanya ini ketika dia ditembakkan dia tidak bisa lebih efektif lagi,” ujar Dedi.
Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengemukakan bahwa paparan gas air mata dalam konsentrasi tinggi bisa berisiko memicu kematian.
"Risiko kematian bisa terjadi bila menghirup dalam konsentrasi tinggi," kata Agus Dwi dikutip Antara.
Ia mengatakan efek gas air mata pada saluran napas menyebabkan iritasi pada saluran hidung, tenggorokan, hingga saluran napas bawah.
Efek yang terjadi, kata Dwi, gejala dari hidung berair, rasa terbakar di hidung dan tenggorokan, batuk, dahak, nyeri dada, hingga sesak napas.
Sementara itu, Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan bahwa paparan gas air mata dalam ruang tertutup dan berdosis tinggi, berisiko memicu dampak kronik berkepanjangan pada penderita.
"Walaupun dampak utama gas air mata adalah dampak akut yang segera timbul, ternyata pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan," kata Tjandra Yoga Aditama dikutip Antara, Minggu (2/10/2022).
Ia mengatakan gas air mata mengandung beberapa bahan kimia berupa chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA), dan dibenzoxazepine (CR).
Zat-zat kimia tersebut dapat menimbulkan dampak pada kulit, mata, dan paru, serta saluran napas.
"Gejala akutnya di paru dan saluran napas dapat berupa dada berat, batuk, tenggorokan seperti tercekik, batuk, hingga sesak pada saluran napas,” katanya.
"Pada keadaan tertentu, dapat terjadi gawat napas atau respiratory distress."
Dampak gas air mata di paru, kata Tjandra, bisa memicu kasus pernapasan akut hingga gagal napas, khususnya pada penderita penyakit asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Tjandra, yang juga Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini mengatakan selain di saluran napas, gejala lain adalah rasa terbakar di mata, mulut dan hidung.
"Lalu dapat juga berupa pandangan kabur dan kesulitan menelan. Juga dapat terjadi semacam luka bakar kimiawi dan reaksi alergi," ujarnya.
KOMENTAR
Latest Comment