26 Maret 2023 16:03 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Rizal Amril
Pernahkah kamu menemui kasus yang seolah menganggap perempuan adalah “dalang” dibalik peristiwa tersebut? Anggapan ini dinamakan blame the woman syndrom atau sindrom menyalahkan perempuan.
Sindrom blame the woman adalah pelabelan negatif kepada perempuan. Masyarakat menganggap bahwa perempuan adalah pihak yang bertanggung jawab atas kasus kekerasan atau kekejian yang terjadi.
Sindrom blame the woman juga berkaitan dengan stereotipe masyarakat tentang perempuan yang licik dan provokatif. Ini tentu bertentangan dengan pakem di masyarakat yang menganggap perempuan harus selalu bersikap baik.
“Itu mitos lama bahwa perempuan itu bertanggung jawab. Perempuan itu provokatif, itu sebabnya dia diperkosa. Perempuan itu angkuh, itu sebabnya dia dilecehkan,” jelas Ellisa Benedek Psikiater Forensik Universitas Michigan Amerika, dilansir dari Washington Post.
Menurut Michelle Charness JD, mantan asisten jaksa di Middlesex County Massachusetts, blame the woman semakin diperkuat dengan tafsiran teologis yang menganggap bahwa Adam dibuang ke bumi karena memakan apel terlarang atau buah khuldi setelah digoda oleh Hawa.
Dengan menyalahkan perempuan, maka cerita rakyat akan tetap eksis, terlebih bagi masyarakat patriarkis yang menuntut banyak tentang perempuan agar tetap sesuai standar yang ada.
Contoh sindrom blame the woman bisa kita temui pada kasus AG dan Mario Dandy yang sempat ramai beberapa waktu lalu. Narasi yang beredar di publik adalah AG dalang dibalik kasus kekerasan tersebut.
Namun, yang luput dari pembahasan adalah jarak usia AG dan Mario Dandy. AG masih dikategorikan sebagai anak, sedangkan Mario Dandy sudah di usia dewasa. Artinya, AG berada pada posisi yang rentan mengalami manipulasi dan intimidasi dalam sebuah hubungan.
Ketika masyarakat menganggap perempuan sebagai dalang di balik terjadinya kasus kejahatan, mereka tidak melihat posisi relasi kuasa di sana.
Narasi “perempuan licik” tentu akan mudah membentuk opini publik agar menyalahkan perempuan.
Perlu usaha yang cukup ekstra untuk membuat mindset blame the woman pupus. Hal tersebut dikarenakan mindset ini wujud lain dari ketidakadilan gender yang membenci perempuan alias misoginis.
Pandangan bahwa laki-laki lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada perempuan masih berkembang di masyarakat patriarkis. Tak heran jika sindrom blame the woman masih eksis hingga sekarang.
Cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi sindrom blame the woman adalah dengan terus menanamkan perspektif gender dalam pikiran sejak dini.
Beri pandangan bahwa pekerjaan domestik di rumah tidak hanya dikerjakan oleh perempuan, melainkan juga laki-laki.
Selain itu, kita juga bisa mengembangkan critical thinking dalam menanggapi suatu masalah. Dengan demikian, kita bisa terhindar dari sindrom blame the woman karena melihat masalah dari kacamata yang berbeda-beda.
KOMENTAR
Latest Comment