Menolak Homogenisasi Mode Sebuah Catatan Kritis tentang Stigma 'Outfit Anak Kabupaten’

5 Jun 2024 12:06 WIB

thumbnail-article

George Shervashidze / Pexels

Penulis: Maria Goreti Ana Kaka

Editor: Indra Dwi Sugiyanto

"Outfit anak kabupaten" telah menjadi frasa yang populer dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini seringkali digunakan sebagai cemoohan terhadap gaya berbusana seseorang yang dianggap "kurang urban" atau "kurang trendi". Fenomena ini mencerminkan stigma yang tidak hanya tidak adil, tetapi juga berbahaya terhadap kebebasan individu dalam mengekspresikan diri melalui busana.

Istilah ini, jika dilihat dari perspektif yang lebih kritis, tidak layak disebut sebagai candaan. Candaan yang baik biasanya tidak merendahkan orang lain. Sementara istilah "outfit anak kabupaten" secara inheren mengandung unsur penghinaan dan degradasi. Mengapa busana seseorang harus menjadi bahan tertawaan? Apa yang membuat pakaian yang dikenakan oleh seseorang dari daerah dianggap inferior dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota besar?

Diskriminasi Terselubung dalam Candaan 'Outfit Anak Kabupaten

Stigma "outfit anak kabupaten" secara implisit memuat diskriminasi berdasarkan latar belakang geografis dan ekonomi. Orang-orang yang menggunakan istilah ini sering kali berasal dari kalangan urban yang memiliki akses lebih besar terhadap mode dan gaya hidup yang dianggap lebih "modern." Hal ini menciptakan jurang yang lebih dalam antara masyarakat urban dan rural, seolah-olah gaya berpakaian menjadi parameter valid untuk menilai seseorang. Pada dasarnya, ini adalah bentuk bias kelas sosial yang memperkuat stereotip negatif terhadap individu dari daerah kabupaten.

Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih pakaian yang nyaman dan sesuai dengan kepribadiannya. Menghakimi seseorang berdasarkan pilihan busana adalah bentuk diskriminasi dan merendahkan keberagaman budaya maupun gaya. Stigma ini menciptakan jarak sosial yang sangat lebar antara kota dan desa, antara mereka yang tinggal di pusat-pusat urban dan mereka yang berada di daerah.

Lebih jauh lagi, stigma "outfit anak kabupaten" mencerminkan bias kelas sosial yang sangat kental. Pakaian acap kali menjadi simbol status sosial. Stigma ini menunjukkan bahwa ada hierarki yang tak terlihat, seolah mereka yang berasal dari kabupaten berada di tingkat yang lebih rendah. Hal ini sangat tidak adil. Tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap mode dan tren terkini. Ekonomi, geografis, dan budaya semuanya berperan dalam mempengaruhi pilihan pakaian seseorang. Kota besar dengan segala gemerlapnya tidak seharusnya menjadi tolok ukur utama dalam menilai gaya dan kualitas hidup seseorang. Mode dan gaya busana adalah hal yang sangat subjektif dan personal. Mengkotak-kotakkan orang berdasarkan busana yang dikenakannya adalah bentuk penindasan kultural yang perlu dihentikan.

Busana Sebagai Hak Asasi dan Ekspresi Diri, Bukan Penanda Status Sosial

Penting untuk diingat bahwa busana adalah bentuk ekspresi diri yang sangat pribadi. Setiap orang berhak untuk merasa nyaman dan percaya diri dengan apa yang mereka kenakan, tanpa takut dihakimi atau dicemooh. Mengkritik atau mengolok-olok pilihan busana seseorang berarti mengabaikan individualitas dan kreativitas mereka. Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang fundamental, termasuk dalam hal berbusana. Tidak ada satu orang pun yang berhak membuat orang lain merasa tidak berharga hanya karena pilihan busana mereka.

Di banyak daerah, pilihan busana sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan, iklim, dan tradisi lokal. Apa yang mungkin terlihat tidak trendi bagi seseorang dari kota besar, mungkin justru memiliki nilai dan makna tersendiri bagi orang dari daerah tersebut. Mengabaikan konteks ini berarti mengabaikan kekayaan dan keragaman budaya yang ada.

Untuk melawan dan menghapus stigma "outfit anak kabupaten", perlu ada perubahan sikap secara kolektif. Kita harus mulai melihat pakaian sebagai bentuk ekspresi pribadi dan bukan sebagai penanda status sosial atau geografis. Menghargai perbedaan dan keberagaman adalah langkah pertama menuju masyarakat yang lebih inklusif dan menghormati hak-hak individu. Dalam konteks yang lebih luas, penting juga untuk mendorong industri fashion untuk lebih inklusif dan menghormati berbagai gaya dan tradisi lokal. Industri ini memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik, dan dengan mempromosikan keberagaman. 

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk tidak turut serta dalam menyebarkan stigma ini. Setiap kali kita tertawa atau membuat komentar negatif tentang busana seseorang, kita memperkuat bias dan diskriminasi yang terus dinormalisasi sebagai candaan. Sebaliknya, mari terus belajar untuk menjadi lebih empati dan memahami alasan di balik pilihan busana seseorang.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER