Metode Ijtihad dalam Islam: Penjelasan dan Jenis-jenisnya

31 Jan 2024 08:01 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi seorang mujtahid tengah berijtihad dengan memeriksa hukum syara' dalam Al-Quran. (Sumber: Pexels/Alena Darmel)

Penulis: Elok Nuri

Editor: Rizal Amril

Kata ijtihad sudah cukup familiar bagi kaum muslim, terutama para muslim yang sedang memperdalam ilmu fiqih.

Dalam kaitannya dengan ilmu fiqih, ijtihad seringkali dijadikan metode dalam menentukan hukum syariah atas suatu hal.

Terdapat beberapa metode dalam ijtihad yang sering dilakukan untuk memutuskan hukum sesuatu dalam pandangan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.

Pengertian Ijtihad

Melansir NU Online, ijtihad berasal dari kata Ja-ha-da, yang bermakna “mencurahkan segala kemampuan” atau “menanggung beban kesulitan”. Sementara secara bahasa, ijtihad adalah “mengeluarkan tenaga atau kemampuan”.

Dalam kaitannya dengan ilmu fiqih, ijtihad adalah mengeluarkan segala tenaga dan kemampuan untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw.

Sementara ijtihad menurut ushul fiqih adalah pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.

Fiqih sendiri adalah hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan nazhariy.

Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa (ahli ijtihad) disebut dengan mujtahid.

Syarat-syarat mujtahid

Tidak sembarang orang yang dapat melakukan ijtihad dengan benar. Dalam Islam, seseorang dapat disebut sebagai mujtahid jika memenuhi syarat sebagai berikut:

  • Menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan balaghah-nya.
  • Menguasai dan memahami Al-Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan menarik suatu hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain.
  • Menguasai hadis Rasulullah saw., baik dari segi riwayat hadis untuk dapat membedakan antara hadis yang sahih dan yang dhaif.
  • Mengetahui adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum ( العادة محكمه ) selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah

Ijtihad pada zaman Nabi saw. tidak diperlukan, sebab apabila sahabat mempunyai persoalan, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi langsung menjawab.

Metode ijtihad

Dikutip dari jurnal “Metode Ijtihad T.M Hasbi Ash-Shiddieqy Sebagai Produk Pemikiran Hukum Islam” (2017) karangan Muhammad Hasbi, metode ijtihad digunakan dalam kerangka untuk:

1. Ijma'

Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid di suatu masa setelah Rasulullah saw. wafat. 

Ijma’ berkaitan dengan pemutusan hukum syara atas suatu hal yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis.

2. Qiyas

Qiyas disini adalah hukum dari suatu peristiwa yang diterapkan dengan cara membandingkan dengan hukum peristiwa lainnya dan telah ditetapkan sesuai nash.

Contohnya, wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri disebabkan karena perbuatan mencuri yang dilakukan. Akan tetapi, hukuman potong tangan sendiri pada hakikatnya merupakan kehendak Allah, bukan semata-mata karena perbuatan mencuri itu sendiri.

3. Istihsan

Istihsan adalah berpindahnya mujtahid dari satu ketentuan hukum ke hukum lainnya karena terdapat dalil yang menuntutnya.

Contohnya adalah murabahah sebagai salah satu bentuk kerja sama yang dikelolah oleh perbankan syariah.

Sesuai dengan ketentuan kaidah umum, akad murabahah ini tidak dibolehkan karena objek murabahah adalah sesuatu yang belum ada dan imbalan bagi pengelolaan modal pun masih bersifat spekulatif. 

Akan tetapi, syara’ kemudian memperbolehkannya karena dalil untuk menghindari riba dan demi kepentingan orang banyak.

4. Maslahah mursalah

Maslahah mursalah adalah hukum yang didasarkan pada kemaslahatan yang lebih besar dibandingkan kemudaratannya meskipun tidak ada dalil atau aturan dalam Al-Qur’an maupun hadis yang menganjurkan maupun melarangnya.

Contohnya membuat akta nikah atau akta lahir. Pada masa Nabi saw, akta nikah dan akta kelahiran tidak menjadi dokumen yang wajib diberikan oleh negara.

Dalam Al-Qur’an dan hadis, akta nikah dan akta lahir juga tidak disebutkan dan dijelaskan. Namun meskipun demikian, keberadaan akta kelahiran dan akta nikah mendatangkan kemaslahatan, baik bagi pengelola negara maupun rakyat di negara.

5. ‘Urf

Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa' (Guru Besar Ilmu Fiqih Islam Universitas 'Amman, Yordania), 'urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari 'urf.

Contohnya kebiasaan masyarakat mengambil barang dan membayar uang tanpa ada akad secara jelas di pasar swalayan.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER