Penulis: Rusti Dian
Editor: Margareth Ratih. F
Mahkamah Konstitusi (MK) tolak gugatan UU Cipta Kerja dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan pada Senin (2/10/2023) di Gedung MK RI, Jakarta. Penolakan ini berarti UU Cipta Kerja tetap berlaku karena memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
MK secara resmi menolak lima perkara yang menggugat UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,”ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
MK menimbang pembentukan undang-undang tersebut secara formil tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Artinya, UU Cipta Kerja tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Meski begitu, empat dari sembilan Hakim Konstitusi memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan tersebut. Hakim ini diantaranya adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
Dinilai tidak beralasan
Hakim menilai permohonan kelima perkara ini tidak beralasan menurut hukum. Seperti laporan Antara, Perkara Nomor 54, 41, 46, dan 50 menyoal uji formil UU Cipta Kerja, sementara Perkara Nomor 40 mengajukan uji formil dan materi.
Perkara tersebut pada dasarnya mempermasalahkan proses pembuatan UU Cipta Kerja yang dinilai cacat formil, tidak sesuai ketentuan pembentukan peraturan perundangan, serta minim partisipasi publik yang bermakna.
“Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,”ucap Anwar dalam pembacaan putusan.
MK berdalih dapat memahami alasan “kegentingan mendesak” yang menjadi dasar pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Oleh karena kegentingan ini, maka proses persetujuan di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna. Hakim juga menyebut persetujuan DPR berarti representasi dari masyarakat..
Buruh: Hakim MK tidak patuh konstitusi
Mengutip dari Konde, aktivis buruh Jumisih mengomentari soal putusan sidang Mahkamah Konstitusi. Ia menyebut pertimbangan “tidak beralasan menurut hukum” seharusnya diarahkan kepada hakim di MK.
“Menurut aku, justru hakim MK-lah yang tidak patuh terhadap konstitusi,”ujar Jumisih pada Senin (2/10/2023) dikutip dari Konde.
Jumisih menjelaskan dalam konstitusi, hakim seharusnya melindungi buruh. Mereka bagian dari masyarakat yang memiliki hak asasi manusia, hak hidup, serta hak atas pekerjaan dan penghidupan layak. Apabila hakim patuh terhadap hukum, seharusnya mereka menilai UU Cipta Kerja melanggar hukum konstitusi dan asas partisipasi.
Pihak yang paling dirugikan dari UU Cipta Kerja ini adalah buruh perempuan. Mereka akan kesulitan mendapat hak cuti haid, keguguran, melahirkan, serta akses terhadap ruang laktasi. Belum lagi soal ketidakpastian hubungan kerja yang bisa diputus kapan saja.
“Hak cuti haid, hak cuti keguguran, hak cuti melahirkan, ruang laktasi itu akan sulit didapat karena status hubungannya (dengan perusahaan) enggak pasti,”ujar Jumisih.
Poin yang ditolak buruh
Presiden Partai Buruh sekaligus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan ada sembilan poin yang ditolak buruh dari UU Cipta Kerja, di antaranya:
KOMENTAR
Latest Comment