27 September 2023 15:09 WIB
Penulis: Advertorial
Editor: Advertorial
Ketika bisnis makanan laut kian menjamur di daratan, stok ikan di laut semakin menipis. Keadaan ini menciptakan situasi tak menentu bagi industri perikanan. Pendapatan dari kapal-kapal penangkapan ikan perairan jauh (DWF) juga makin seret. Total nilai pendapatan dari armada DWF Taiwan yang menangkap ikan tuna turun hampir 1 Miliar dolar antara tahun 2012 dan 2018.
Stok ikan yang menipis bikin kapal-kapal berlayar lebih jauh, ongkos bahan bakar jadi melonjak, durasi menangkap ikan juga meningkat berjam-jam. Ketika melabuh, ikan ditawar dengan harga yang lebih murah karena permintaan meningkat.
Situasi ini mendorong pemilik kapal dan pebisnis ikan laut jauh untuk memangkas upah buruh kapal. Cara lainnya adalah dengan mencari ABK murah untuk dieksploitasi.
Environmental Justice Foundation melakukan wawancara terhadap 193 ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal Tiongkok, Taiwan dan Korea Selatan dalam periode 2019 sampai 2020. Dari total ABK yang diwawancara, 153 mengalami kerja paksa, dan 68 ABK bahkan ditengarai mengalami perdagangan manusia.
Situasi ini terjadi bukan hanya karena kelicikan para pengusaha kapal dan pebisnis perikanan, tetapi juga karena lemahnya perlindungan hukum bagi anak buah kapal Indonesia yang bekerja di kapal asing.
"Saya lemparkan ikan umpan ke pintu dan saya tendang pintu sekuat tenaga agar mereka membukakan kunci. Pintu masih terkunci selama 15 menit. Saya merasa sangat kaku dan sulit bernapas," ujar Yanto (nama samaran) kala menceritakan pengalamannya dikunci dalam lemari pendingin penyimpanan umpan oleh kaptennya sendiri.
Setelah beberapa saat kapten kapal kemudian membuka pintu lemari pendingin. "Kapten kapal berkata kepada awak kapal lainnya: 'Jika dia meninggal, katakan saja bahwa dia meninggal karena kecelakaan dan nanti kita akan melemparkan tubuhnya ke laut'".
Menurut pengakuan Yanto, kapten kapal tidak memberikan alasan atas penyekapan itu.
Yanto hanya bekerja selama empat bulan, selama itu pula ia mengalami sejumlah kekerasan. Selain dikunci dalam lemari, ia juga beberapa kali dipukul menggunakan sandal hingga disetrum menggunakan setruman ikan.
Kekerasan di atas kapal tidak hanya terjadi pada Yanto. Pada 2020, publik juga sempat digemparkan kabar kematian empat ABK Indonesia di atas kapal Long Xing 629. Kasus itu berujung pada pemulangan 157 ABK yang bekerja di kapal milik perusahaan DOF co. Ltd.
Salah satu mantan ABK kapal Long Xing 629 mengaku, kekerasan di atas kapal lazim dilakukan terutama dari ABK senior kepada ABK junior. Selain kekerasan fisik dan verbal, ABK juga kerap diperlakukan tidak layak. Misalnya, diwajibkan tidur di luar ruang dalam cuaca ekstrem.
Dengan kondisi rawan kekerasan seperti itu, ABK Indonesia juga tidak diberikan upah layak. Untuk Yanto misalnya, selama empat bulan bekerja ia hanya dibayar $430 dollar Amerika Serikat, kisaran enam juta enam ratus ribu rupiah (Rp 6,619,000 kurs USD ke IDR pada 20 September 2023).
Dalam kasus ekstrem, beberapa ABK bahkan mendapati gaji mereka tidak dikirim ke keluarga di daratan.
“Mereka masih berhutang kepada saya 50 juta rupiah,” jelas salah satu ABK Indonesia yang bekerja di atas kapal Tiongkok.
Kerugian yang dialami ABK Indonesia dimulai bahkan sejak tahap perekrutan. agen perekrutan biasa membebani biaya perekrutan, sertifikat medis, biaya akomodasi, dan uang jaminan kepada para ABK. Segala biaya tersebut dipotong tiap bulan dari gaji ABK.
Sudah dipotong, pula tidak ada jaminan yang memastikan gaji dikirim secara penuh dan tepat waktu.
“Gaji seharusnya ditransfer setiap tiga bulan, tetapi mereka tidak pernah melakukannya,” jelas salah satu mantan ABK Indonesia yang bekerja di atas kapal Tiongkok.
Pahitnya, pemotongan gaji tersebut juga sudah tertera sejak kontrak. Salah satu temuan EJF dalam investigasi ini adalah surat-surat kontrak yang mensyaratkan ABK untuk siap dipekerjakan dalam kondisi-kondisi tidak layak.
“Tidak, saya tidak [membaca kontrak saya]. Kami tidak sempat membacanya, karena mereka memberi kontrak saya sesaat sebelum keberangkatan," ujar salah satu ABK Indonesia yang dikirim oleh PT CM untuk bekerja di kapal Tiongkok.
EJF juga menemukan salah satu agen perekrut yang tetap mengirimkan ABK untuk bekerja di kapal asing meski ABK tersebut gagal dalam menjalani tes kesehatan dan terindikasi memiliki penyakit serius.
Menurut laporan EJF, kondisi perbudakan ini difasilitasi oleh rantai pasokan tenaga kerja yang rumit dan tidak teratur. Rantai pasokan kerja melibatkan lima tahap,
ABK Indonesia yang bekerja di luar negeri juga tidak mendapat perlindungan yang layak secara hukum. Perlindungan hukum sebenarnya sudah dijamin dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengkategorikan pelaut perikanan sebagai pekerja migran Indonesia.
Namun, peraturan pelaksana untuk menerapkan perlindungannya baru diberlakukan pada 2022 tepatnya di dalam Peraturan Pemerintah No.22/2022. Peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih terhadap anak buah kapal.
Lemahnya penegakan hukum atas peraturan ini membiarkan eksploitasi dan perbudakan pada ABK migran Indonesia saat bekerja di kapal laut jauh. Lemahnya penerapan hukum ini juga membiarkan laporan-laporan dari ABK Indonesia tidak diteruskan dalam bentuk sanksi maupun hukuman bagi agen perekrutan di Indonesia yang terlibat dalam pengelabuan dan eksploitasi ABK di kapal asing. Agen perekrutan yang disinyalir terlibat telah beroperasi selama lima tahun. Ini jadi indikasi bahwa laporan dari ABK terkait pelanggaran yang selama ini masuk hanya ditanggapi sebagian dari keseluruhan sektor.
Melalui laporan investigasi ini, EJF menuntut reformasi substantif terhadap industri perekrutan awak kapal perikanan Indonesia. Reformasi yang menyorot kehadiran agen-agen perekrutan ilegal yang terus muncul tanpa pengawasan, dan menindak pelaku dan fasilitator dari eksploitasi ABK agar dapat dibawa ke pengadilan.
KOMENTAR
Latest Comment