24 Agustus 2023 19:08 WIB
Penulis: Elok Nuri
Editor: Rizal Amril
Menjelang pernikahan, salah satu hal yang tidak luput adalah tentang mahar, lantas berapa nominal mahar yang baik menurut Islam?
Melansir NU Online, mahar, shodaqoh, atau mas kawin merupakan harta yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan untuk melangsungkan pernikahan.
Menurut penjelasan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i, mahar dijelaskan sebagai berikut.
الصداق هو المال الذي وجب على الزوج دفعه لزوجته بسبب عقد النكاح.
Artinya: “Maskawin ialah harta yang wajib diserahkan oleh suami kepada istri dengan sebab akad nikah.”
Sementara, dalam kitab al-Fiqh al-Manjhaji, penyerahan mahar berhukum wajib dilakukan sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
الصداق واجب على الزوج بمجرد تمام عقد الزواج، سواء سمي في العقد بمقدار معين من المال: كألف ليرة سورية مثلاُ، أو لم يسمِّ، حتى لو اتفق على نفيه، أو عدم تسميته، فالاتفاق باطل، والمهر لازم.
Artinya: “Mas kawin hukumnya wajib bagi suami dengan sebab telah sempurnanya akad nikah, dengan kadar harta yang telah ditentukan, seperti 1000 lira Syria, atau tidak disebutkan, bahkan jika kedua belah pihak sepakat untuk meniadakannya, atau tidak menyebutkannya, maka kesepakatan tersebut batal, dan maskawin tetap wajib.”
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan mengenai jumlah maksimal nominal dalam mahar, namun di satu sisi mereka memiliki pandangan yang berbeda mengenai jumlah minimal mahar.
Pertama, menurut Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsur, dan Fuqaha` Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal jumlah mahar.
Bagi mereka sesuatu yang dapat dijual belikan dan memiliki nilai bisa dijadikan mahar.
Pendapat tersebut selaras dengan pendapat seorang ulama dari kalangan mazhab Syafii bernama Ibnu Wahab berikut:
وَأَمَّا قَدْرُهُ فَإِنَّهُمْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِأَكْثَرِهِ حَدٌّ وَاخْتَلَفُوا فِي أَقَلِّهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَفُقَهَاءُ الْمَدِينَةِ مِنَ التَّابِعِينَ لَيْسَ لِأَقَلِّهِ حَدٌّ وَكُلُّ مَا جَازَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا وَقِيمَةً لِشَيْءٍ جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا وَبِهِ قَالَ ابْنُ وَهْبٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ
Artinya: “Adapun mengenai besaran mahar maka para ulama telah sepakat bahwa tidak batasan berapa jumlah maksimal mahar. (namun) mereka berbeda pendapat mengenai batas minimalnya. Menurut imam Syafii, Abu Tsaur, dan para fuqaha` Madinah dari kalangan tabi’in tidak batasan minimal mahar, dan setiap sesuatu yang bisa diperjual-belikan atau bernilai maka boleh dijadikan sebagai mahar. Pandangan ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahb salah seorang ulama dari kalangan madzhab maliki.” (lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Mesir-Musthafa Babi al-Halabi, cet ke-4, 1395 H/1975, juz, 2, h. 18).
Pendapat kedua, yang diutarakan Imam Abu Hanifah, menentukan batas minimal nominal mahar yaitu adalah 100 dirham.
Pendapat ketiga, Imam Malik menjelaskan bahwa mahar memiliki minimal nominal yakni seperempat dinar atau perak seberat tiga dirham timbangan atau yang senilai dengan perak seberat tiga dirham timbangan (kail), atau bisa yang senilai dengan salah satu dari keduanya.
KOMENTAR
Latest Comment