28 Juli 2023 19:07 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Margareth Ratih. F
Objektifikasi perempuan dalam sosial media masih marak terjadi, khususnya di lingkungan kampus. Akun-akun ‘kampus cantik’ nyatanya masih eksis. Padahal, fenomena ini adalah bentuk pelanggaran privasi sekaligus komersialisasi konten.
Alih-alih bangga, para pemilik konten justru merasa risih lantaran akun-akun ini mengunggah foto tanpa persetujuan yang bersangkutan. Selain itu, akun ‘kampus cantik’ juga mengobjektifikasi perempuan yang dianggap cantik menurut standar yang berlaku secara umum.
Berbagai kritik sudah dilayangkan, tetapi akun-akun tersebut hanya mengubah privasinya menjadi bukan untuk publik lagi. Bahkan akun ‘kampus cantik’ ini masih memiliki pengikut yang cukup banyak.
Praktik male gaze untuk mendisiplinkan tubuh perempuan
Male gaze adalah cara pandang yang memberdayakan laki-laki dan mengobjektifikasi perempuan. Dalam konsep ini, perempuan diposisikan secara visual sebagai “objek” dari hasrat laki-laki heteroseksual.
Istilah tersebut diperkenalkan oleh Laura Mulvey pada tahun 1975. Ia berpendapat bahwa male gaze menggambarkan tatapan yang mewakili kelompok heteroseksual dan maskulin. Dalam hal ini, perempuan dicirikan “untuk dilihat” karena dianggap sebagai tontonan. Sedangkan laki-laki sebagai pihak “yang melihat”.
Konsep male gaze membuat perempuan tidak lagi dilihat dari kualitas dirinya secara utuh, melainkan direduksi hanya dari tubuhnya. Perempuan seolah hanya dianggap sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual laki-laki.
Akun “kampus cantik” seolah mendukung konsep male gaze melalui unggahannya. Akun ini akan mengunggah konten perempuan yang sesuai dengan standar kecantikan pada umumnya. Bahkan akun ini juga meminggirkan prestasi atau kemampuan akademik yang dimiliki oleh para perempuan tersebut.
Belum lagi ketika melihat kolom komentarnya. Rata-rata, mereka membicarakan tentang fisik perempuan. Misalnya adalah mengomentari bentuk tubuhnya, sex appeal, penampilan, hingga bentuk dan ukuran payudara.
Mirisnya lagi ketika mengetahui bahwa dalam kolom komentar tersebut tidak hanya laki-laki, melainkan juga sesama perempuan. Mereka ikut andil mengomentari perempuan lain dengan “meminjam” mata laki-laki.
Bentuk seksualisasi pada perempuan
Akun kampus cantik ini adalah manifestasi wacana maskulinitas. Jika diumpamakan, perempuan ini layaknya objek dalam etalase atau katalog. Mereka memajang wajah dan tubuh perempuan untuk menjadi pusat perhatian di media sosial.
Akun kampus cantik ini juga menggunakan standar kecantikan yang normatif. Umumnya, perempuan yang dipilih adalah berkulit putih, tinggi, dan langsing. Hal ini tentu sama dengan standar yang berlaku di masyarakat.
Foto-foto tersebut tak hanya untuk dikomentari. Fitur-fitur lain seperti mencari, mengunduh, membandingkan, dan memberi love atau rating ini juga menjadi bentuk eksploitasi tubuh perempuan. Bahkan tak jarang dari mereka yang menjadikan foto-foto tersebut sebagai fantasi seksualnya.
Keberadaannya dinormalisasi
Tidak bisa dipungkiri ada pihak yang justru tidak mempermasalahkan akun kampus cantik. Mereka malah merasa bangga bisa masuk ke akun tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah pujian.
Yang perlu diingat adalah akun kampus cantik tidak hanya melestarikan bentuk kekerasan pada perempuan. Lebih dari itu, mereka juga turut melanggengkan seksis dan misoginis yang menjadi produk dari patriarki.
Pihak kampus yang tidak menindak tegas akun-akun ini juga dinilai mewajarkan adanya kekerasan seksual dan objektifikasi pada perempuan. Padahal, tak sedikit dari akun tersebut yang secara terang-terangan menggunakan logo universitas.
Kampus yang seharusnya memberi ruang pada kemampuan akademis justru malah menyuburkan praktik objektifikasi pada perempuan. Hal tersebut seolah membangun persepsi bahwa apapun pencapaian perempuan secara akademik, ia hanya akan menjadi objek seksual dan pemuas laki-laki.
KOMENTAR
Latest Comment