OPINI: Taktik Jokowi Menyiapkan Pengganti

10 Nov 2022 19:11 WIB

thumbnail-article

Prabowo Subianto, Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Megawati Soekarnoputri/ Narasi

Penulis: Jay Akbar/ Jurnalis Narasi

Editor: Ramadhan Yahya

Dukungan Jokowi yang berulang dan terang-terangan untuk Prabowo menggarisbawahi posisinya sebagai politikus yang lebih dari sekadar petugas partai.

 

Menang dua kali dalam pemilihan wali kota di Kota Solo, kemudian memenangkan pemilihan gubernur di Provinsi DKI Jakarta, dan menjadi presiden selama dua periode, membuat Jokowi percaya diri untuk ikut aktif menentukan Pemilihan Presiden 2024.

Jokowi adalah politikus cerdas. Ia tidak hanya pandai memprediksi akibat dari tindakannya ke depan, tetapi bahkan mampu mengubah konsekuensi tersebut menjadi peluang yang menguntungkannya, termasuk ketika ia mengatakan bahwa Pilpres 2024 "jatahnya Pak Prabowo".

Sebagai anggota partai penguasa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jokowi tentu memahami kata-katanya berpotensi diperdebatkan karena penentuan calon presiden merupakan hak prerogatif Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P.

Pemberian dukungan terbuka kepada calon presiden dari partai lain tidak hanya dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran kader terhadap kewenangan ketua umum tetapi juga merupakan pukulan terhadap kebijakan strategis partai ke depan.

Namun, sebagai sosok yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar dalam politik Indonesia, Jokowi tahu bahwa perbedaan sikapnya dengan Megawati (seperti yang sudah-sudah) tidak akan berakhir dengan sanksi PDI-P.

Sebagai kepala pemerintahan dengan segala macam kewenangan yang melekat kepadanya, Jokowi menyadari dukungannya terhadap Prabowo akan membuat masyarakat mempertanyakan komitmen dan integritasnya dalam menjaga demokrasi.

Namun, sebagaimana ia membiarkan putra dan menantunya mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan kemudian tak berkeberatan saudara iparnya terus menjabat sebagai ketua MK, ia akan mengabaikan kritik terkait demokrasi yang dilontarkan kepadanya.

Memberi Tekanan Psikologis pada Megawati

Jokowi yang beberapa hari terakhir menyampaikan kepada sejumlah partai koalisi di pemerintahannya agar pengumuman capres dan cawapres tidak boleh terlalu lama, menghadapi kenyataan bahwa Megawati baru akan mengumumkan capres PDI-P pada Juni 2023.

Padahal, mendapatkan kepastian dalam waktu dekat siapa sosok yang akan disetujui sebagai capres oleh Megawati penting bagi Jokowi untuk merancang strategi kemenangan yang lebih kuat.

Paling tidak, dia tidak akan terlalu jauh tertinggal dari pesaingnya, yakni Anies Baswedan dan Partai Nasdem, yang sudah sibuk keliling tanah air menggalang dukungan dari berbagai segmen.

Dukungan kepada Prabowo mengandung pesan: jika Teuku Umar tak kunjung ambil keputusan, maka saya siap pergi mengambil keputusan duluan. 

Bukan Sekadar Petugas Partai

Dukungan Jokowi yang berulang dan terang-terangan untuk Prabowo menggarisbawahi posisinya sebagai politikus yang lebih dari sekadar petugas partai.

Jokowi ingin menyampaikan pesan kepada Megawati bahwa sebagai presiden dia juga bisa menentukan banyak hal terkait peta politik Pemilihan Presiden 2024.

Dari sini, ia ingin dibaca publik sebagai sosok yang, meski menjadi kader PDI-P, tapi tidak harus selalu berada di bawah bayang-bayang Megawati.

Upaya Jokowi untuk memposisikan dirinya sebagai kingmaker yang menyamai atau bahkan melampaui Megawati tampaknya cukup berhasil ketika beberapa tokoh parpol secara terang-terangan ingin menunggu persetujuannya terkait penetapan koalisi dan calon presiden.

Bahkan Projo salah satu ormas relawan Jokowi yang sebelumnya selalu menyuarakan pencapresan Ganjar, langsung putar haluan siap mendukung Prabowo.

Prabowo Pengganti Ganjar Pranowo

Di antara dua capres PDI-P, yakni Puan Maharani dan Ganjar Pranowo, sikap Jokowi cenderung mendukung Ganjar.

Sinyal dukungan Jokowi kepada Ganjar disampaikan secara terbuka saat memberikan sambutan pada Rakernas Projo, Mei 2022, di Jawa Tengah.

Saat itu, Jokowi berpesan kepada para pendukungnya di Projo untuk tidak terburu-buru dalam memilih capres, “walaupun yang kita dukung mungkin ada di sini,” ujarnya.

Saat Jokowi membuat pernyataan itu, Ganjar Pranowo berada di lokasi.

Tanda lain dukungan Jokowi terhadap Ganjar terlihat saat dirinya berulang kali mengajak Ganjar naik mobil bersama. Kejadian ini menunjukkan bahwa Jokowi lebih nyaman dengan Ganjar.

Persoalannya, Megawati belum menanggapi sinyal dukungan Jokowi untuk Ganjar.

Jika Megawati tidak menyetujui Ganjar menjadi capres, maka nama Prabowo adalah alternatif yang paling masuk akal untuk didukung Jokowi.  Bukan semata Prabowo punya elektabilitas tinggi, tapi juga karena Gerindra merupakan partai peraih suara terbesar kedua di Pilpres 2019 lalu dengan raihan 17.594.839 suara.

Publik tahu, hubungan Jokowi-Prabowo sudah terjalin sejak mantan Danjen Kopassus itu memboyong Jokowi dari Solo ke ibu kota.

Bekas luka politik Prabowo dari kekalahan melawan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 tidak lagi menjadi penghalang sejak Gerindra diberikan dua posisi menteri di kabinet Jokowi.

Jadi, jika Megawati tidak menyetujui Ganjar sebagai calon presiden, kemungkinan besar Jokowi akan menarik Prabowo dan Gerindra untuk bergabung dalam koalisi Partai Golkar, PAN, dan PPP (KIB).

Koalisi KIB memiliki banyak pengikut dan memberi Prabowo peluang lebih besar untuk menang setelah kalah tiga kali dalam pemilihan presiden. Toh, kesepakatan Gerindra-PKB dalam Koalisi Indonesia Raya belum masuk ke pembicaraan capres-cawapres.

Mengamankan Putaran Kedua

Berdasarkan penjajakan koalisi yang diperlihatkan secara terbuka mau pun tertutup, juga mempertimbangkan angka ambang batas pencalonan presiden, saat ini setidaknya terdapat empat sumbu politik:

Pertama, poros Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang merupakan aliansi Gerindra dan PKB dengan kemungkinan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar.

Kedua, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibentuk oleh aliansi Golkar, PPP, PAN dengan calon presiden Ganjar Pranowo dan calon wakil presiden Airlangga Hartarto atau Erick Thohir.

Ketiga, poros yang mengusung Anies Baswedan yang digagas Nasdem dan kemungkinan akan diikuti Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.

Keempat, poros PDI-P yang dapat mengusung capres dan cawapres tanpa harus membangun koalisi karena telah memenuhi syarat presidential threshold.

Penting untuk dicatat bahwa poros PDI-P sangat ditentukan oleh siapa yang akan disetujui Megawati menjadi calon presiden. Jika Ganjar dipromosikan, PDI-P akan bergabung dengan poros KIB. Sehingga pilpres hanya menghasilkan tiga poros.

Namun, jika Megawati mencalonkan putrinya Puan Maharani sebagai calon presiden, kemungkinan besar partai ini akan maju dalam pemilihan presiden tanpa koalisi. Seperti yang terjadi pada Pilkada Jawa Barat 2018.

Mengingat elektabilitas capres yang akan diusung, seperti Prabowo, Anies, dan Ganjar, saling kejar mengejar dalam sejumlah survei, maka hampir pasti Pilpres akan berlangsung dua putaran.

Sebab, nyaris mustahil salah satu dari mereka meraih lebih dari 50 persen suara di putaran pertama dan keluar menjadi pemenang sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Dengan merangkul Prabowo sedini mungkin, Jokowi yang kini berhasil menjadi penentu koalisi KIB juga akan memiliki kekuatan tambahan untuk merumuskan strategi memenangkan calonnya di putaran kedua pemilihan presiden. Entah itu Prabowo atau Ganjar Pranowo.

Sampai sini, menjadi jelas bahwa menafsirkan dukungan terbuka Jokowi untuk Prabowo sebagai seloroh politik belaka agaknya adalah sikap gegabah dalam membaca kelihaian politiknya sebagai The New(bie) Kingmakers.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER