Pak Jokowi, Semua Orang Butuh Sehat Tapi Gak Semuanya Butuh Rumah: Alasan Kenapa Tapera Gak Penting-Penting Amat

30 Mei 2024 14:05 WIB

Narasi TV

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama)

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bilang ontran-ontran alias pro kontra soal potongan gaji pekerja untuk program Tabungan Perumah Rakyat hal yang biasa-biasa saja. Soalnya, kata dia, dulu waktu program Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS digulirkan juga muncul pro dan kontra. Namun, dia yakin setelah berjalan, masyarakat akan merasakan manfaat Tapera seperti halnya JKN.

“Seperti dulu BPJS, di luar yang PBI, yang gratis 96 juta kan juga ramai. Tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya. Hal-hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra,” kata Jokowi dikutip Antara, Senin (27/5/2024).

Masalahnya, Jokowi mungkin lupa atau gak sadar bahwa gak semua orang butuh rumah, sebagaimanai semua orang jelas butuh kesehatan. Kesehatan adalah kebutuhan dasar yang nggak bisa ditawar. Sakit bisa datang kapan saja, dan biaya perawatan medis itu mahal.

Makanya, program jaminan kesehatan diterima karena manfaatnya langsung terasa. Kalau sakit, bisa langsung berobat tanpa harus mikirin biaya yang besar. Semua orang, dari semua kalangan, pasti butuh akses ke layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.

Nah, makanya nih ada sejumlah alasan mengapa program Tapera perlu dikritik. Baca sampai selesai ya dan jangan lupa di share juga.

  1. Karier dan Gaya Hidup Fleksibel:

    • Banyak anak muda sekarang lebih milih gaya hidup yang fleksibel. Mereka sering pindah-pindah kota bahkan negara buat ngejar karier yang lebih oke. Punya rumah bisa bikin mereka jadi kurang fleksibel dan malah jadi beban finansial.
  2. Biaya dan Tanggung Jawab Tambahan:

    • Punya rumah bukan cuma soal bayar cicilan atau harga rumah aja, tapi juga biaya perawatan, pajak, dan asuransi, belum termasuk iuran rutin warga seperti keamanan dan kebersihan. Buat beberapa orang, tanggung jawab ini terlalu besar dibandingkan manfaatnya, apalagi kalau mereka belum pengen menetap lama di satu tempat.
  3. Sewa Lebih Praktis:

    • Di kota besar, harga rumah selangit. Banyak orang lebih milih nyewa apartemen yang deket sama kantor dan fasilitas umum. Nyewa juga bikin gampang pindah kalau ada perubahan dalam pekerjaan atau kehidupan pribadi.
  4. Investasi Alternatif:

    • Ada juga yang lebih milih investasi di saham, obligasi, atau bisnis kecil yang dianggap lebih menguntungkan daripada properti. Selain itu, investasi ini juga lebih likuid alias gampang dicairin daripada rumah.
  5. Keuangan yang Belum Stabil:

    • Nggak semua pekerja punya keuangan yang stabil buat nambah cicilan rumah. Mereka mungkin punya prioritas lain kayak pendidikan anak, kesehatan, atau utang yang lebih mendesak.
  6. Kebijakan yang Nggak Fleksibel:

    • Kebijakan yang maksa semua pekerja buat nabung buat perumahan tanpa liat kebutuhan masing-masing orang itu nggak adil. Tiap pekerja punya situasi dan tujuan hidup yang beda-beda, jadi kebijakan yang saklek gini nggak selalu efektif.
  7. Rumah Murah di Pinggiran:

    • Nah ini yang paling penting buat pekerja. Rumah murah sekarang kebanyakan jauh dari pusat kota karena harga tanah di pusat kota atau bisnis mahal banget. Punya rumah di pinggiran kota jadi nggak efisien buat banyak orang karena macet, biaya transportasi, dan waktu yang habis di jalan. Ini bisa nurunin kualitas hidup dan produktivitas, makanya banyak yang lebih milih nyewa tempat tinggal deket kantor.

Kenapa Tapera Perlu Dikritik?

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, ragu program Tapera bakal bantu orang punya rumah. Contoh gampangnya, kalau UMP sekitar Rp3,5 juta per bulan, potongan 3% berarti pekerja cuma nabung Rp105.000 per bulan.

Menurut Ristadi, angka ini kayak sia-sia banget dibanding harga rumah Rp250 juta. Soalnya, pekerja harus nabung selama 166 tahun! Bahkan kalau iurannya naik jadi Rp200.000 per bulan, tetap butuh 83 tahun buat ngumpulin duitnya.

Tanpa subsidi pemerintah, mimpi punya rumah bakal jadi sekedar mimpi. Kalau pemerintah kasih subsidi 75%, mungkin lebih cepet. Misalnya, pekerja nabung Rp50 juta, sisa Rp175 juta ditanggung pemerintah.

“Kalau murni dari tabungan Tapera, kira-kira realible tidak?” kata Ristadi.

Kenapa Kebijakan Tapera Harus Dikritik?

Potongan Gaji yang Berat: Kebijakan Tapera ini maksa potong 3% dari gaji pekerja buat Tabungan Perumahan Rakyat. Ini jelas nambah beban buat pekerja berpenghasilan rendah. Potongan ini terdiri dari 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pemberi kerja. Pekerja mandiri atau freelancer malah harus nanggung sendiri.

Dampak Finansial Langsung: Praktisnya, pekerja dengan gaji Rp3,5 juta bakal kehilangan Rp105.000 tiap bulan buat Tapera. Buat yang gajinya pas-pasan, potongan ini lumayan signifikan dan bisa ngefek ke kemampuan mereka buat penuhi kebutuhan sehari-hari.

Manfaat yang Dipertanyakan: Pemerintah bilang Tapera bakal bantu pekerja punya rumah. Tapi, banyak yang skeptis. Seberapa cepat manfaatnya bisa dirasain? Berapa banyak pekerja yang beneran bisa beli rumah dengan bantuan ini, mengingat harga rumah terus naik?

Pengelolaan Dana Publik yang Buruk: Pengalaman nunjukin kalau pengelolaan dana publik buat tujuan sosial sering kali gak efektif. Banyak proyek serupa, kayak BPJS Kesehatan, mengalami defisit dan butuh suntikan dana dari APBN. Proyek infrastruktur BUMN juga sering kali mangkrak dan nambah beban fiskal negara. Ini bikin ragu BP Tapera bisa kelola dana ini dengan transparan dan efisien.

Ketidakadilan Pembagian Beban: Beban terbesar dari kebijakan ini ditanggung oleh pekerja, sementara kontribusi dari pemberi kerja relatif kecil. Ini bikin pertanyaan soal keadilan dalam pembagian beban finansial antara pekerja dan pemberi kerja.

Konteks Ekonomi yang Sulit: Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, dengan inflasi dan biaya hidup yang naik, nambah potongan gaji baru jelas gak bijak. Pekerja udah hadapi berbagai potongan buat BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan pajak penghasilan. Tapera cuma nambah beban baru.

Intinya, kebijakan Tapera harus dipertimbangin lagi biar lebih fleksibel dan sesuai kebutuhan masing-masing orang, biar bener-bener bermanfaat tanpa nambahin beban buat yang nggak butuh atau nggak pengen punya rumah.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR