Parenting VOC Viral di Medsos, Apakah Dapat Membuat Anak Lebih Mandiri?

26 Mar 2025 06:02 WIB

thumbnail-article

Sumber: Freepik .

Penulis: Rusti Dian

Editor: Rusti Dian

Apakah Anda pernah mendengar istilah parenting VOC? Istilah tersebut merupakan singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie, perusahaan dagang Belanda yang beroperasi selama masa penjajahan di Indonesia. Lalu, apa hubungannya dengan parenting dalam keluarga?

Istilah parenting VOC diperkenalkan oleh seorang konten kreator bernama Jenni Lim atau Mamak Malvin.

Istilah ini diambil untuk menggambarkan pendekatan pengasuhan yang keras dan tegas, mirip dengan caranya ketika mengendalikan sumber daya dan masyarakat di era kolonial.

Pola asuh yang dilakukan dalam parenting VOC biasanya ditandai dengan kedisiplinan yang ketat.

Orang tua dalam kelompok ini cenderung menerapkan aturan yang tidak dapat dinegosiasikan, berharap anak-anak mematuhi tanpa banyak pertanyaan. Mereka diharapkan mematuhi setiap perintah dengan sepenuh hati.

Penerapan kedisiplinan merupakan salah satu pilar utama dalam parenting VOC. Orang tua seringkali menggunakan sanksi atau hukuman sebagai konsekuensi atas pelanggaran aturan.

Pendekatan ini memberikan sedikit ruang untuk diskusi atau penjelasan, sehingga anak-anak tidak merasa memiliki hak untuk bertanya atau mengekspresikan pendapat mereka. Alhasil, kepatuhan dianggap sebagai tanda cinta dan menghormati otoritas orang tua.

Pro dan Kontra Parenting VOC

Banyak pendukung pola asuh VOC berpendapat bahwa pendekatan ini efektif dalam membentuk anak-anak menjadi individu yang disiplin dan bertanggung jawab.

Mereka melihatnya sebagai upaya untuk membekali anak-anak dengan karakter yang kuat agar mampu menghadapi tantangan di masa depan.

Beberapa orang tua bahkan melaporkan anak-anak mereka menjadi lebih mandiri dan mampu melakukan banyak hal sendiri berkat penerapan aturan yang ketat.

Namun, tidak sedikit kritik yang muncul berdampak negatif pada perkembangan emosional anak. Psikolog anak menunjukkan bahwa pola asuh yang otoriter dapat menyebabkan kerentanan emosional, di mana anak merasa kurang didukung dalam proses perkembangan mereka.

Banyak analis yang mencatat bahwa ketidakmampuan mengekspresikan diri dan bernegosiasi dapat mengganggu perkembangan kemampuan sosial anak.

Parenting VOC sering dibandingkan dengan gaya pengasuhan lain seperti gentle parenting atau authoritative parenting. Sementara gentle parenting berfokus pada empati dan pengertian, parenting VOC cenderung fokus pada kontrol dan disiplin.

Keduanya memiliki tujuan yang berbeda dan perdebatan mengenai efektivitasnya masih berlangsung di kalangan para orang tua.

Dampak Parenting VOC terhadap Anak

Dampak dari parenting VOC dapat sangat beragam, tergantung pada anak dan konteks lingkungan mereka.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam pola asuh ini cenderung kurang memiliki rasa percaya diri dan masalah dalam mengambil keputusan.

Keterampilan berpikir kritis mereka mungkin terhambat karena terbiasa mengikuti perintah daripada berpikir secara mandiri.

Pola asuh yang otoriter juga dapat memengaruhi hubungan sosial anak dengan teman-teman sebayanya. Anak-anak yang mengalami parenting VOC mungkin merasa canggung dalam berinteraksi secara sosial.

Ketidakmampuan untuk mengekspresikan diri atau beradaptasi dengan situasi sosial dapat mengakibatkan kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain.

Selain itu, risiko masalah emosional jangka panjang dari parenting VOC merupakan hal yang perlu dicermati. Penelitian mengindikasikan bahwa anak-anak di bawah pengasuhan otoriter memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecemasan, depresi, dan masalah perilaku di kemudian hari.

Rasa takut yang berawal dari penerapan disiplin yang keras sering mengganggu perkembangan identitas diri anak saat mereka tumbuh dewasa.

Menciptakan Kemandirian Melalui Parenting

Salah satu argumen terbesar untuk mendukung parenting VOC adalah kemampuannya dalam menciptakan anak yang mandiri. Namun, para ahli psikologi berpendapat bahwa kemandirian yang dikembangkan dalam konteks ini seringkali bersifat artifisial.

Anak-anak mungkin hanya belajar untuk menghindari hukuman dengan patuh, bukan karena mereka benar-benar memahami nilai dari kemandirian tersebut.

Kelebihan dari pendekatan ini mungkin terletak pada kemampuan untuk mendisiplinkan dan menciptakan rutinitas yang jelas. Namun, kekurangan utama adalah kurangnya ruang bagi anak untuk bereksplorasi dan belajar dari kesalahan.

Kemandirian sejati tidak hanya tentang mampu melakukan tugas secara mandiri, tetapi juga tentang belajar dari pengalaman dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

Sebagai alternatif, pendekatan yang lebih humanis dan responsif dapat diterapkan. Pendekatan ini menghadirkan komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak, memberikan anak kesempatan untuk bertanya, berpendapat, dan memecahkan masalah mereka sendiri.

Dengan melibatkan anak-anak dalam proses pengambilan keputusan, mereka akan cenderung merasa lebih dihargai dan berdaya. Pada akhirnya, pendekatan tersebut mampu mendukung perkembangan kemandirian mereka secara lebih sehat.

Jadi, dalam pengasuhan anak sangat penting bagi orang tua untuk memahami bahwa setiap pola asuh memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Sebuah pendekatan yang selektif dan adaptif yang mempertimbangkan kebutuhan unik anak akan lebih efektif daripada sekadar menerapkan satu metode yang kaku.

 

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER