AMHTN-SI: MK Harus Bisa Menilai Perkara Open Legal Policy Secara Tepat

7 Agustus 2023 13:08 WIB

Narasi TV

Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Sumber: Antara.

Penulis: Moh. Afaf El Kurniawan

Editor: Margareth Ratih. F

Perkara batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam register kepaniteraan MK, terdapat tiga gugatan dalam satu pengujian perkara yang sama, yaitu perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Nomor 55/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan MK sebelumnya, dijelaskan bahwa batas minimal umur pencalonan presiden dan wakil presiden adalah bagian dari kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang (open legal policy).

Kendati demikian sejumlah pihak dari akademisi dan praktisi ketatanegaraan meminta hal yang serupa, yakni MK harus konsisten dengan putusan-putusan yang sudah lalu.

Di sisi lain Fahrur Rozi, Koordinator Pengurus Kajian dan Analisis Kebijakan Publik Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara (AMHTN-SI) meminta MK tidak hanya konsisten dengan putusannya, tapi juga bisa menilai perkara open legal policy itu secara tepat dalam konteks perkara yang diujikan.

Pasalnya, tiga gugatan tadi mendalihkan tuntutan (petitum) yang berbeda antara satu dengan yang lain.

"Ini tidak hanya menyangkut soal MK konsisten atau tidak, tapi terkait bagaiman penggunaan open legal policy itu secara tepat dan benar," katanya dalam keterangan tertulis pada Kamis (3/8/2023).

Perlu menerapkan open legal policy

Dalam perkara 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam petitumnya meminta MK untuk mengubah batas minimum pencalonan 40 tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 169 huruf (q) UU Nomor 7 Tahun 2017 menjadi 35 tahun.

Sedangkan petitum perkara 51/PUU-XXI/2023 dan perkara 55/PUU-XXI/2023 meminta tambahan frasa pada pasal yang dimaksud dengan "...atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah".

Menurut Rozi, dalam perkara yang pertama, MK memang perlu menerapkan adanya open legal policy karena batas minimum usia pencalonan bukanlah urusan konstitusionalitas, melainkan kehendak politik (political will) dengan melihat kebutuhan masyarakat saat ini.

Berbeda dengan perkara pengujian yang kedua, kata Rozi, MK perlu memberikan putusan konstitusionalitas dari perkara yang diajukan.

Pasalnya, petitum dalam perkara yang kedua ini menambahkan frasa opsional dari syarat batas minimal umur. Artinya, batas minimum umur tersebut sewaktu-waktu dapat batal dengan kepunyaan pengalaman pemerintahan di daerah.

Hal ini bukan lagi soal pilihan politik, melainkan perkara konstitusional terkait relasi klausul antara usia pencalonan dan pengalaman jabatan.

Apakah bisa batas minimal usia pencalonan dikonversi dengan pengalaman memerintah di daerah? Apakah kualifikasi pengalaman tersebut hanya melingkupi Kepala/Wakil Kepala Daerah saja?

Adakah kemungkinan ketidakkonsistenan dalam perundang-undangan jika pada satu kualifikasi persyaratan terdapat ketentuan yang bersifat opsional?

"Dengan hal tersebut (pula), MK dapat memberikan constitutional preview terhadap pembahasan open legal policy kebijakan minimal usia pencalonan nanti di DPR," jelas Rozi.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR