Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan informasi terbaru terkait kondisi cuaca di Indonesia. Menurut ahli klimatologi dari BRIN, Erma Yulihastin, fenomena kemarau basah diprediksi akan berlangsung hingga September 2025. Hal ini menunjukkan bahwa musim kemarau mengalami perubahan pola yang signifikan ketika seharusnya Indonesia memasuki periode kemarau, tetapi hujan masih terus turun.
“Sebenarnya sudah ada indikasi perubahan pola musim kemarau. Dari data yang kami miliki menunjukkan sampai September akan konsisten hujan dan seharusnya bulan kemarau cuma Juni dan Juli," jelas Erma kepada awak media, Kamis (19/6/2025).
Penyebab Dinamika Perubahan Cuaca
Faktor utama yang mendominasi dinamika perubahan cuaca ini adalah perkembangan cyclonic vortex, yakni pusaran udara ketika terjadunya perbedaan tekanan udara yang signifikan.
Perubahan pola cuaca ini disebabkan oleh perkembangan fisik atmosfer yang mempengaruhi pola cuaca di Indonesia, yakni pemanasan suhu permukaan laut di Samudra Hindia, terutama di wilayah tropis dekat Ekuator. Hal ini menyebabkan peningkatan penguapan yang intensif yang pada gilirannya memicu pembentukan awan dan hujan.
Jadi kondisi menghangatnya suhu permukaan laut ini yang menimbulkan penguapan yang intensif dan memicu pembentukan awan dan hujan, sehingga memproduksi angin menuju ke wilayah Jawa padahal seharusnya kalau musim kemarau anginnya ke arah timur. Jadi ada badai di atas laut,” terang Erma.
Dinamika cuaca di Indonesia juga semakin kompleks akibat badai yang terjadi di atas laut. Erma menekankan bahwa kondisi di laut, yang mencakup 2/3 wilayah Indonesia, mempengaruhi kondisi cuaca secara signifikan. Badai di atas laut dapat mengubah arah angin yang seharusnya bergerak ke arah timur saat musim kemarau.
“Ini memang sedang terjadi masalah di laut dan 2/3 wilayah kita adalah laut jadi sangat bergantung dengan kondisi laut. Artinya dua faktor ini adalah faktor regional yang membangkitkan kondisi seperti ini,” jelasnya.
Dampak Perubahan Cuaca terhadap Beberapa Wilayah
Dengan adanya prediksi kemarau basah ini, wilayah Jabodetabek menghadapi potensi meningkatnya risiko bencana alam, khususnya banjir. Erma mengingatkan bahwa wilayah ini sangat rentan terhadap perubahan cuaca yang cepat dan ekstrem. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang tepat.
Risiko bencana alam yang meningkat dapat mengganggu kehidupan masyarakat dan aktivitas ekonomi. Pemerintah perlu melakukan perencanaan yang baik untuk mengantisipasi kondisi cuaca yang tidak menentu ini. Kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana juga sangat diperlukan agar dampak yang ditimbulkan bisa diminimalkan.
Pemerintah diharapkan segera menyusun kebijakan yang responsif terhadap perubahan iklim. Kebijakan tersebut harus mencakup langkah-langkah untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air, pemantauan cuaca yang lebih akurat, dan program-program edukasi untuk meningkatkan kesadaran publik tentang perubahan iklim dan dampaknya.
“Makanya saya bilang ke pemerintah kalau sedang ada masalah di musim kita dan harus ada kebijakan yang tepat agar bencana yang terjadi bisa diatasi oleh pemerintah,” imbuh Erma.