Pro Kontra Presiden dan Menteri Boleh Berkampanye: Taat Aturan atau Etika?

26 Januari 2024 17:01 WIB

Narasi TV

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) dan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kanan) menjawab pertanyaan wartawan usai kegiatan serah terima alutsista pesawat dari pemerintah untuk TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). Menhan Prabowo Subianto menyerahkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebanyak lima unit pesawat C-130 J-30 Super Hercules, dan delapan unit helikopter H225M untuk TNI AU, empat helikopter A5 550 Fennec untuk TNI AD, serta delapan unit helikopter Panther AS565 MBE untuk TNI AL. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/Spt

Penulis: Diah Ayu

Editor: Akbar Wijaya

Pernyataan terbuka Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa menteri dan presiden boleh berpihak bahkan berkampanye untuk peserta Pemilu 2024 asal tidak menggunakan fasilitas negara menuai pro dan kontra.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai apa yang disampaikan Jokowi tidak menabrak pasal yang berlaku.

“Secara ketentuan UU ya memang kesannya presiden tidak menabrak ketentuan pasal 281 UU Pemilu,” ujarnya kepada Narasi, Kamis (26/1/2024).

Feri menambahkan kebebasan berkampanye dan memihak ini berlaku jika presiden melakukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Namun, kebebasan ini tidak berlaku bagi pejabat negara yang jenjang karirnya tidak dipilih rakyat dan didukung partai politik, seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus bersikap netral.

“Undang-undang memang tidak fair,” akunya.

Namun, Feri menegaskan masalah utama dari sikap Jokowi bukan pada normatif peraturan perundang-undangan, tetapi pada etika dan moral.

“Yang pertama itu karena presiden (Jokowi) akan mendukung anaknya (Gibran),” kata Feri.

Ia menyampaikan bahwa Jokowi telah merusak sistem kepartaian Indonesia, karena seharusnya presiden mendukung calon yang diajukan oleh partai pengusungnya. Jokowi, yang merupakan bagian dari PDI Perjuangan seharusnya mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden, bukan calon dari partai lain.

“Ini kerusakan etika berpolitik, berpartai, dan menjalankan wewenang. Sampai saat ini presiden tidak menjalankan nilai-nilai moral bahkan memberikan contoh etika dalam menjalankan praktek bernegara,” tegas Feri Amsari, Dosen Universitas Andalas.

Pembelajaran Demokrasi

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan apa yang disampaikan Jokowi merupakan upaya memberikan pembelajaran terhadap demokrasi yakni dengan mengikuti undang-undang.

"Jadi, konteks Presiden kemarin adalah dalam memberikan pembelajaran berdemokrasi. Ikuti undang-undangnya," kata Moeldoko.

Moeldoko mengatakan presiden memiliki hak untuk berpolitik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Hal ini karena presiden merupakan figur yang memiliki jabatan politik, maka hak-hak politik melekat padanya.

"Presiden sebagai figur yang memiliki jabatan politik, tentu hak-hak politiknya juga melekat dan ini diatur dalam Undang-Undang Pemilu," jelas Moeldoko, Jumat (26/1/2024)

Lebih lanjut, Moeldoko menjelaskan bahwa hak untuk turut serta dalam kampanye tidak hanya dimiliki oleh presiden, tetapi juga oleh wakil presiden, seluruh menteri, dan pejabat publik lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu yang membahas kampanye Pemilu oleh presiden dan pejabat negara lainnya.

Pasal 299 dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak untuk melaksanakan kampanye.

Selanjutnya, pada poin kedua, disebutkan bahwa pejabat negara lainnya, baik yang berstatus sebagai anggota partai politik maupun yang tidak, juga berhak melaksanakan kampanye.

Pejabat negara lainnya tersebut dapat melaksanakan kampanye jika mereka terdaftar sebagai calon presiden atau wakil presiden, anggota tim kampanye, atau pelaksana kampanye yang telah didaftarkan ke KPU.

"Sangat jelas disebut di sana bahwa presiden dan wakil presiden, para menteri dan seluruh pejabat publik memiliki hak untuk melakukan kampanye. Secara undang-undang seperti itu," tambah Moeldoko.

"Indonesia ini adalah negara hukum, negara demokrasi, sehingga acuannya adalah hukum. Jadi jangan kemana-mana, standarnya adalah hukum. Jangan diukur dengan standar perasaan, tidak ketemu. Rasanya tidak cocok, tidak begitu," tutup Moeldoko.

Bagian dari Konsekuensi

Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1, mengutarakan kesiapannya menghadapi kemungkinan Presiden Joko Widodo memihak pada salah satu paslon dalam Pemilu 2024.

"Kita siap hadapi saja. Itu bagian dari konsekuensi. Tapi kami percaya kok selalu ada hikmahnya," kata Anies ditemui wartawan setelah sowan ke Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.

Anies menekankan bahwa masyarakat mampu menilai pernyataan Jokowi.

"Menurut saya masyarakat bisa mencerna dan nanti menakar menimbang pandangan tersebut karena sebelumnya yang kami dengar adalah netral, mengayomi semua, memfasilitasi semua," ucap Anies.

Anies menambahkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dengan aturan yang jelas dan setiap tindakan harus berlandaskan pada aturan hukum tersebut.

"Semua yang menjalankan kewenangan merujuk pada aturan hukum bukan, merujuk pada selera, bukan merujuk pada kepentingan yang mungkin menempel pada dirinya mungkin menempel pada kelompoknya," jelas Anies.

"Bernegara itu mengikuti aturan hukum. Jadi kita serahkan pada aturan hukum. Aturan hukumnya bagaimana," tambahnya.

Anies juga menegaskan bahwa penilaian atas pernyataan Jokowi sebaiknya diserahkan kepada pakar hukum.

"Negara ini negara hukum, pakai aturan hukum, kalau aturan hukumnya bilang tidak boleh ya berarti ya tidak boleh. Kalau aturan hukumnya bilang boleh ya berarti boleh. Kita lihat aturan hukumnya," ucapnya.

Ia juga menyampaikan pengalamannya dalam menghadapi berbagai hambatan saat menggelar acara.

"Kami sering ngalami dilarang di sini, di sini, dilarang di sini akhirnya kami dapat tempat yang tidak diduga sebelumnya. Eh malah digratiskan," pungkas Anies.

Ajukan Cuti ke Diri Sendiri

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, memberikan penjelasan mengenai prosedur yang harus diikuti oleh Presiden RI Joko Widodo jika ia memutuskan untuk ikut dalam kampanye selama pemilihan umum (Pemilu) 2024. Menurut Hasyim, Presiden Jokowi perlu mengajukan cuti kepada dirinya sendiri untuk dapat berpartisipasi dalam kampanye.

“Dia mengajukan cuti (kepada dirinya sendiri), iya kan presiden cuma satu,” ungkap Hasyim saat menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, pada hari Kamis.

Hasyim juga menjelaskan bahwa hak politik presiden untuk terlibat dalam kampanye diatur dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan Pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, presiden wajib mengambil cuti selama masa kampanye.

Selama masa cuti ini, presiden dilarang menggunakan fasilitas negara, kecuali fasilitas pengamanan yang disediakan oleh pasukan pengamanan presiden (paspampres).

Selain itu, Hasyim menyampaikan bahwa selama cuti kampanye, presiden tidak mendapatkan gaji dan tunjangan. Aturan serupa juga berlaku bagi para menteri yang terlibat dalam kampanye.

“Menteri yang akan berkampanye mengajukan surat izin kepada presiden, dan kemudian presiden memberikan surat izin. Dan, setiap surat yang dibuat para menteri yang akan kampanye, surat izin yang diterbitkan presiden itu, KPU selalu mendapatkan tembusan,” terang Hasyim.

Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil berpendapat bahwa idealnya para peserta pilpres mengundurkan diri dari jabatan mereka untuk fokus pada kontestasi, meskipun peraturan saat ini tidak mewajibkan pengunduran diri.

“Seharusnya (pengunduran diri) dilakukan Pak Mahfud dan Pak Prabowo sebagai menteri, juga Gibran sebagai Walikota,” ucap Fadli.

Fadli juga menyoroti ketidakadilan dalam kontestasi Pemilu karena keterlibatan pejabat publik yang menjadi pendukung salah satu pasangan calon (paslon). Menurutnya, terdapat manipulasi informasi kepada pemilih yang berkaitan dengan kebijakan pejabat yang menguntungkan peserta tertentu.

“Contohnya bansos, katanya akan stop kalau bukan anak Jokowi yang menang. Dan yang membagikan menteri perdagangan. Ini hal-hal yang semestinya tidak terjadi kalau pejabat paham batasan perilaku dan tindakan yang semestinya mereka jaga,” jelas Fadli.

Fadli menunjukkan kekhawatiran terhadap kondisi demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan potensi ketidaknetralan aparat, intimidasi, dan tekanan.

"Kerja demokrasi, penyelenggara dan pengawas Pemilu bergantung pada aturan. Kalau memang aturan benar-benar dijalankan dan hukum benar-benar tegak, maka indeks demokrasi serta kualitas pemilu akan menjadi baik," ucapnya.

Ia menyayangkan lemahnya penegakan hukum meskipun sudah ada aturan yang mengatur sikap tidak netral pejabat negara. “Belum ada pejabat negara yang diduga melakukan pelanggaran yang diproses Bawaslu, tapi saya sudah melihat ada pelanggaran yang dilakukan,” sebut Fadli.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR