Problem Laten di Balik Penyanderaan WNA Selandia Baru Pilot Susi Air

16 Feb 2023 19:02 WIB

thumbnail-article

Satgas Penegakan Hukum Damai Cartenz lakukan olah TKP di lokasi pembakaran pesawat Susi Air di Paro, Kabupaten Nduga. (ANTARA/HO-Humas Satgas Damai Cartenz)

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) masih menyandera pilot pesawat Susi Air asal Selandia Baru Kapten Philip Mark Mehrtens.

TPNPB-OPM juga membakar pesawat Susi Air yang diterbangkan Philip dari Mimika ke Nduga, Selasa (7/2/2023). Dalam sebuah video yang dirilis TPNPB-OPM Kapten Philips dijadikan jaminan politik dalam proses negosiasi kemerdekaan Papua.

Peneliti Senior di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Djati Perkasa mengatakan penyanderaan Philips menggambarkan persoalan laten dalam penyelesaian konflik di Papua.

Ia mengatakan penyanderaan rupakan cermin kelalaian aparat pemerintah dalam strategi pengamanan Papua. Sebab, menyandera warga negara asing merupakan modus operandi yang biasa dilakukan TPNPB-OPM.

“Jadi saya melihat ini kesalahan besar dari aspek strategi keamanan di Papua” ujar Vidhyandika Perkasa kepada Narasi, Rabu (15/2/2023).

Modus OPM Tarik Perhatian

Menyandera warga negara asing, kata Vidhyandika, menjadi taktik TPNPB-OPM untuk menarik perhatian dunia internasional.

Contohnya adalah peristiwa Mapenduma tahun 1995-1996 saat TPNPB-OPM menyandera tujuh warga negara asing dari total 26 sandera.

Vidhyandika berpandangan aparat keamanan seharusnya sudah memperhitungkan risiko ancaman kasus serupa lantaran pilot asing beroperasi di wilayah Papua sudah lama terjadi.

"Menurut saya mereka terlalu meremehkan sepak terjang mereka [TPNPB-OPM]. Padahal sudah jelas dari strategi mereka semakin maju, semakin canggih dengan strateginya," katanya.

Aparat Sibuk Amankan Aset Sumber Daya Alam

Bagi Vidhyandika penyanderaan Kapten Philip mencerminkan  pemerintah hanya fokus mengamankan aset-aset sumber daya alam di Papua, namun abai terhadap keamanan masyarakat sipil dan fasilitas publik.

Ia mengatakan dalam strategi keamanan di Papua, khususnya dalam upaya perlindungan masyarakat sipil.

“Mereka mungkin cenderung lebih fokus pada pengamanan aset-aset negara, seperti Freeport. Tapi aset seperti manusia, masyarakat sipil, maupun infrastruktur sekolah, kesehatan, itu tidak dianggap aset sehingga penjagaannya lemah,” ujarnya.

Vidhyandika mengatakan jumlah korban sipil terus meningkat dalam konflik antara pemerintah dan TPNPB-OPM di Papua. Warga sipil benar-benar menjadi target aktif konflik, bukan sekedar collateral damage atau korban kerusakan tambahan.

Hal ini tercata dalam riset CSIS bertajuk “Kompleksitas Perlindungan Warga Sipil dalam Konflik Separatis dan Agama di Indonesia”.

“Kekerasan itu cenderung meningkat. Meskipun konflik menurun, jumlah korban itu meningkat. CSIS mengolah data itu. Tahun 2022 sendiri ada sekitar 400 orang meninggal karena konflik kekerasan,” sebutnya.

Meningkatnya korban sipil dalam konflik di Papua dipicu kedua pihak. Vidhyandika menyebut aparat cenderung mudah menghakimi Orang Asli Papua (OAP) sebagai bagian dari gerakan separatis. Stigma tersebut yang kemudian menjadi dasar dikorbankannya orang Papua tanpa prosedur investigasi yang jelas.

“Misalnya, orang-orang berambut panjang dianggap oleh aparat keamanan identik dengan OPM. Jadi stigmatisasinya sudah sangat melekat. Banyak sekali kasus-kasus kematian Orang Papua yang sama sekali tidak terlibat dengan OPM,” jelasnya.

Di sisi lain, OPM mencurigai masyarakat non-OAP sebagai mata-mata pemerintah. Imbasnya, fasilitas umum seperti sekolah, gedung kesehatan atapun pembanguan infrastuktur seperti jembatan transpapua turut dirusak dalam aksi-aksi OPM.

“(Korbannya) orang non-Papua ataupun orang Papua itu sendiri. Mereka merusak fasilitas umum, sekolah, kesehatan, mereka juga menghalangi pembangunan transpapua, jadi magnitude itu jadi semakin dalam,” jelasnya.

Dilema Rangkul Pihak Ketiga

Vidhyandika mengatakan pendekatan persuasif melalui tokoh masyarakat perlu di kedepankan pemerintah dalam upaya membebaskan sandera.

Ia menjelaskan selama ini pemerintah acap kali enggan melibatkan pihak ketiga sekalipun telah lama diusulkan tokoh-tokoh intelektual Papua.

Pertimbangannya karena pelibatan pihak ketiga berpotensi membuat isu kemerdekaan Papua terekspos luas ke dunia internasional.

Selain itu, pelibatan pihak ketiga juga berpotensi menguntungkan pihak TPNPB-OPM meraih kemerdekaan, alih-alih menemukan jalan tengah.

Dari situ, Vidhyandika berpendapat mediasi tidak akan menjadi opsi utama pemerintah dalam upaya membebaskan sandera.

Vidhyandika mengatakan apabila pemerintah memilih operasi militer maka mesti dilakukan dengan penuh kehati-hatian mengingat ultimatum TPNPB-OPM yang tidak akan segan menghabisi nyawa Philips jika Jakarta macam-macam.

“Tapi peliknya, selama tuntutan TPNPB ini adalah kemerdekaan Papua, kayaknya ruang negosiasi akan semakin kecil,” ujar Vidhyandika.

“Ini akan menjadi pilihan yang sulit buat pemerintah” katanya.

Ada Persoalan Intelijen

Vidhyandika menyayangkan statemen Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang sempat membantah penyanderaan pilot dan penumpang Susi Air oleh TPNPB-OPM.

Menurutnya, kekeliruan Laksamana Yudo mensinyalir koordinasi yang buruk antara TNI-Polri dan lembaga intelijen atas peristiwa yang begitu serius.

“Saya agak menyayangkan pernyataan pak Yudo yang prematur. Itu membuat masyarakat semakin rumit” kata Vidhyandika.

Pengamat Keamanan dan Intelijen Susaningtyas Kertopati juga menyorot pentingnya kerja sama intelijen antarlembaga dalam konteks pengamanan di Papua.

Ia mengatakan kerja sama intelijen pemerintah, TNI, dan Polri penting dilakukan. Pasalnya, koordinasi antarinstitusi acap jadi permasalahan dalam penanganan keamanan di Papua.

Arus informasi intelijen misalnya, harus dapat terintegrasi antara Badan Intelijen Stategis (BAIS) TNI dan Badan Intelijen Keamanan Kepolisian (Baintelkam) Polri.

“Itu koordinasi itu harus bagus. Jangan ada egosektoral. Harus saling informatif. Apalagi dengan kejadian Susi Air ini. Itu harusnya saling memberikan informasi, bukan egosektoral” kata Nuning.

Nuning mempertanyakan koordinasi internal TNI dan kinerja analisa situasi yang dilakukan oleh BAIS terkait pernyataan Panglima TNI bahwa tidak ada penyanderaan.

Sebab seharusnya, pernyataan panglima TNI tidak boleh terlepas dengan informasi dan kerja-kerja badan subordinat intelijennya.

“Panglima TNI, seharusnya jangan lepas dari informasi yang didapatkan oleh BAIS. Pertanyaannya, apakah panglima TNI saat itu sudah menyampaikan informasi hasil pull bucket dari subordinatnya yaitu BAIS?” kata Nuning.

“Kalau sampai apa yang disampaikan itu keliru, perlu dipertanyakan juga sejauh mana BAIS dalam operasionalnya melakukan analisa situasi,” kata Nuning.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER