Reska vs Tjokro: Kisah Politik Kontemporer dalam Polarisasi Musikal

6 Februari 2024 14:02 WIB

Narasi TV

Polarisasi Musikal / Bayu Ramanda

Penulis: Maria Goreti Ana Kaka

Editor: Indra Dwi Sugiyanto

“Hati-hati polarisasi!”

Frasa di atas adalah penggalan lirik lagu yang sering terdengar sejak Desember lalu di akun media sosial Jovial da Lopez dan Andovi da Lopez. Meski hanya terdiri atas beberapa kata, tetapi justru menjadi pesan utama dari Polarisasi Musikal, sebuah teatrikal bertema politik. Polarisasi Musikal dihelat di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, sejak 2–4 Februari 2024.

Secara garis besar, Polarisasi Musikal bercerita tentang lima mahasiswa yang sepakat untuk melakukan proyek lingkungan sebagai aksi sosial di Nusa Tenggara Timur (NTT) di tengah perebutan kursi presiden antara Reska (diperankan oleh Jovial da Lopez) dan Tjokro (diperankan oleh Andovi da Lopez). Meski banyak menyoroti NTT, tetapi jika ditelisik lebih jauh, pertunjukan ini menggambarkan keresahan tentang berbagai isu krusial, melintasi batas geografi dan memiliki relevansi dengan sistem perpolitikan nasional.

Melalui karakter Reska dan Tjokro, teatrikal ini menyampaikan pesan kritis mengenai dampak dan bahaya polarisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Reska dan Tjokro sebagai tokoh utama tidak hanya mewakili dua kubu politik yang berbeda, tetapi juga simbol dari polarisasi yang merajalela di masyarakat. Keduanya memainkan peran yang sangat kuat dalam membangun intrik pun merangsang fanatisme di antara para pendukung. Persaingan antara Reska dan Tjokro berhasil menciptakan suasana politik yang penuh ketegangan dan mengaduk emosi.

Mahakarya Da Lopez Entertainment berdurasi dua setengah jam ini secara tidak langsung mengkritisi sistem kampanye politik yang seringkali memecah-belah para pemilih. Reska dan Tjokro bersama tim suksesnya menggunakan strategi kampanye yang potensial menciptakan konflik, daripada mendiskusikan solusi-solusi konkret untuk masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Ini menjadi cerminan nyata dari realitas politik modern di mana retorika, gimik,  dan  konflik lebih mendominasi daripada diskusi substansial.

Di era lautan algoritma, polarisasi semakin intens karena berbagai platform  media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan pandangan politik pengguna. Media sosial menciptakan suatu "gelembung informasi" yang memperkuat keyakinan dan pandangan yang sudah ada. Algoritma yang mengatur tampilan konten berdasarkan preferensi pengguna dapat menciptakan lingkungan yang membuat seseorang cenderung terpapar hanya pada sudut pandang yang sudah mereka setujui dan mengabaikan perspektif alternatif.

Dengan strategi politik yang juga mengikuti logika digital, setiap aktor politik jauh lebih mudah untuk berkampanye dan menjalin kedekatan yang lebih intens dengan para calon pemilih. Namun, dari situ juga relasi politik itu menghadirkan peluang politik pencitraan yang lebih efisien dan terbuka lebar, sehingga menciptakan kesadaran palsu bagi para pemilih atau subjek digital. Distorsi informasi kerap menjadi konsekuensi kampanye politik di ranah digital.

Tendensi serius ini mendorong individu melepaskan nalar kritisnya untuk mempertimbangkan lebih jauh terhadap pilihan politiknya. Apalagi ada fenomena digital yang dikenal sebagai “logika algoritmik”. Nalar algoritma memiliki peran yang sangat vital dalam menggiring opini publik. Individu dapat dengan mudah menyalurkan kebencian ke pihak yang lainnya yang berbeda pilihan politik,  hanya dengan satu kali ‘klik’ saja. 

Salah satu sorotan yang juga tak kalah penting dalam Polarisasi Musikal adalah tentang sisi gelap demokrasi di era digital. Demokrasi di era digital sering dianggap sebagai ruang yang terlepas dari sistem kontrol yang represif. Faktanya, dunia digital justru seringkali menjadi arena dengan sistem kontrol yang tersistematis. Setiap orang diterjemahkan sebagai data, atau yang dalam pandangan Deleuze bahwa individu telah menjadi dividuals. Keadaan ini juga digambarkan dalam tulisan Rouvroy (2014) bertajuk “Data Without Body” yang memperjelas karakteristik “algorithmic governmentality” –  subjek yang telah tercerai-berai dan tidak mempunyai otoritas penuh atas dirinya. Situasi paradoks ini kemudian dapat dimanfaatkan lebih mudah oleh kapitalis yang juga dalam kesempatan tertentu bermain dalam ranah politik konvensional.

Pengaruh besar kuasa digital inilah yang menciptakan delusional massa dan berdampak pada tumpulnya objektivitas dan nalar kritis individu dalam kehidupan berdemokrasi. Setiap individu sulit menerjemahkan pilihannya, karena telah masuk dalam sistem komputasi yang menggiring subjek digital pada pilihan-pilihan yang hampir tidak sepenuhnya didasari dari pilihan eksistensialnya. Fragmentasi semacam ini kerap membuat subjek digital menghadapi kerentanan.

Bahaya misinformasi dan disinformasi juga diangkat dalam Polarisasi Musikal. Penyebaran misinformasi dan disinformasi tentang semua peristiwa politik melalui internet menjadi masalah yang meresahkan di banyak negara, baik di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Korea Selatan, maupun di negara berkembang seperti Indonesia dan Filipina. Internet, jejaring sosial, dan aplikasi perpesanan mempercepat penyebaran kebohongan dan hasutan, hanya dalam hitungan detik.

Baca Selengkapnya

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR