Mengapa Kita Perlu Membicarakan Film Seri Beef

20 Apr 2023 15:04 WIB

thumbnail-article

Penulis: Adeste Adipriyanti

Editor: Margareth Ratih. F

Buatku, butuh 2-3 episode awal untuk kemudian jatuh cinta pada tontonan 10 episode karya Lee Sung Jin ini. Bahkan sempat bertanya-tanya, kenapa orang lain begitu memuja-muja film ini? Apakah seleraku yang “jelek”? Meski bukan cinta pada pandangan pertama, jelas, film ini membekas layaknya cinta pertama (ehem). Dan seperti judulnya, Beef, limited series produksi A24 yang sedang tayang di Netflix ini memang “daging” banget. 

Sulit merangkum banyak hal yang disenggol sama film ini. Fun juga intense, drama comedy thriller bertabur kritik sosial tajam, potret migran yang heterogen, ada isu kelas dan gender, semua campur aduk jadi tontonan yang memikat. Belum lagi jika kita kemudian bertanya-tanya apakah ini terinspirasi dari cerita perceraian Ali Wong, si pemeran utama dan juga produser eksekutif seri ini, dengan suaminya yang juga keturunan Jepang (sama seperti di film)?

Well, ini beberapa hal menarik yang kutemukan setelah habis melahap Beef dalam tiga kali duduk saja:

Dipertemukan dengan seseorang gak selalu jadi berkah, bisa aja jadi cobaan!

Seringkali kita (baca: aku) suka meromantisasi pertemuan. Mungkin karena aku penyuka romcom. Jadi, pertemuan itu biasanya identik dengan kesempatan yang mungkin akan mengubah hidupmu jadi lebih indah. Yang paling sering terpikirkan: dipertemukan sama jodoh. Ehe!

Tapi kebayang gak sih kalau kita (mungkin aja) dipertemukan dengan seseorang yang kemudian jadi musuh bebuyutan dan bikin hidup berantakan? 

Ya, ini yang terjadi dengan Amy Lau (Ali Wong) dan Danny Cho (Steven Yeun). Bertemu dan “gelut” sambil ngebut di jalan. Bukan sebuah meet-cute!

Ramah vs Marah

Kalau ada slogan buat imigran Asia di western countries, mungkin begini: marah-marah bukan budaya kita! Budaya kita itu ramah, tidak vokal alias nurut-nurut aja, tidak ekspresif, dan sukses (bayangannya langsung ke Crazy Rich Asians). Di series ini, ternyata para imigran Asia ini gak segan-segan ngamuk dan meledak-ledak.  

Rasanya sulit untuk menerima (apalagi memahami) kalau marah (anger) itu adalah emosi yang juga valid. Terutama buat kita yang lebih terbiasa mendem. 

Cara pandang ditentukan dari latar belakang

Biarpun sama-sama imigran Asia (Korea Selatan, China, dan Vietnam) di AS, perjuangan mereka beda-beda. Danny dan Amy datang dari kelas pekerja yang struggle dari bawah. Sedangkan George (suami Amy) beda lagi, dia datang dari keluarga seniman kenamaan yang punya privilege. Danny tetap miskin, sedangkan Amy bisa mentas jadi imigran sukses.

Meski terbilang sukses secara finansial, pandangan Amy dan George soal uang tetep gak padu. Amy gak pernah bisa merasa cukup dan selalu butuh cari validasi dengan bekerja gila-gilaan. George terasa lebih lembek dan terkesan gak punya daya juang dalam hidup, ya karena selama ini hidupnya cukup-cukup aja. 

Kita bisa sama-sama marah, tapi akar kemarahannya bisa beragam banget

Kemarahan Amy berakar dari perasaan kalau dia harus selalu membuktikan (dan mengorbankan) sesuatu seperti yang ditunjukin orangtuanya. Di satu titik, dia capek berpura-pura.

Sedangkan kemarahan Danny bisa jadi datang dari rasa malu karena belum membuktikan apa-apa ke keluarga. Belum lagi riwayat masa kecilnya yang pernah di-bully.

Apa yang tampak di permukaan belum tentu gambaran yang sesungguhnya

Di antara banyak pencitraan dan hal yang superficial alias dangkal, gimana cara merasa cukup jadi biasa-biasa aja? Karena aku pun kadang merasa, jadi diri sendiri pun gak cukup–kita dituntut lebih.  

Kayak kenyataan bahwa Amy yang kaya raya dan tampak seperti perempuan yang can have it all (keluarga dan karier), ternyata merasa kosong. Atau Justin, teman Danny di gereja, yang tampil dengan citra anak Tuhan yang baik-baik, ternyata punya “wajah asli” yang beda.

Pada akhirnya manusia butuh merasa diterima

Bentuk penerimaan ini bisa macam-macam ya, mulai dari perasaan dicintai, dimengerti, dan sesederhana didengarkan (seperti adegan Amy dan Danny di sepanjang episode akhir yang indah banget!). Dan meski pertemuan antara Amy dan Danny selalu berbuntut tragedi, tapi pertemuan penuh cobaan ini sesungguhnya menjelma jadi berkah buat mereka berdua. 

Beberapa hal lain yang menarik:

  • Akting Ali Wong dan Steven Yeun menawan!

Apalagi momen Danny datang ke gereja setelah sekian lama absen *chef kiss

  • Soundtrack sarat musik dari era awal 2000-an

Buat generasi milenial yang menyelami masa remaja di era awal 2000-an, setiap akhir episode dikasih kejutan dengan lagu-lagu nostalgic seperti Drive-nya Incubus, The Reason milik Hoobastank, atau lagunya Keane, Tori Amos, dan Limp Bizkit. 

  • Skenarionya menggelitik dan tajam

Bertabur kutipan yang bikin ngakak tapi jleb! Contoh: “Western therapy doesn’t work on eastern mind.”

  • Artwork di setiap opening title.

Ternyata semua lukisan itu karya David Choe (pemeran Isaac), yang sekarang lagi kesandung kasus pemerkosaan (duh serem! Makanya Beef juga lagi menghadapi ancaman boikot gara-gara ini)

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER