Khutbah merupakan salah satu syarat sahnya salat Jumat. Biasanya pembacaan khutbah ini dilakukan sebelum mengerjakan salat Jumat.
Mengutip dari laman NU Online, terdapat lima rukun yang harus dipenuhi dalam khutbah Jumat. Jika tidak dilaksanakan maka dianggap tidak sah.
Nah, kira-kira apa saja rukun khutbah Jumat? Yuk simak penjelasan berikut ini.
Lima rukun khutbah Jumat
Masih mengutip laman yang sama berikut adalah 5 rukun khotbah Jumat yang wajib untuk dilaksanakan yakni:
1. Memberikan pujian kepada Allah Swt.
Rukun khotbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafaz-lafaz yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”.
Penjelasan ini merujuk pada keterangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi berikut:
ويشترط كونه بلفظ الله ولفظ حمد وما اشتق منه كالحمد لله أو أحمد الله أو الله أحمد أو لله الحمد أو أنا حامد لله فخرج الحمد للرحمن والشكر لله ونحوهما فلا يكفي
“Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafaz “hamdun” atau lafaz-lafaz yang satu akar kata dengannya. Seperti “alhamdulillah”, “ahmadu-Llâha”, “Allâha ahmadu”, “Lillâhi al-hamdu”, “ana hamidun lillâhi”, tidak cukup “al-hamdu lirrahmân”, “asy-syukru lillâhi”, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246).
2. Membaca selawat kepada Nabi Muhammad saw.
Membaca selawat atas Nabi Muhammad saw. merupakan rukun khotbah yang kedua. Membaca selawat dilakukan pada kedua khutbah. Diharuskan menggunakan kata "al shalatu" dan lafal kata yang seakar.
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:
ويتعين صيغتها اي مادة الصلاة مع اسم ظاهر من أسماء النبي صلى الله عليه وسلم
“Shighatnya membaca selawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa “as-shalâtu” beserta “isim dhahir” dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).
3. Membaca wasiat taqwa
Rukun khutbah jumat yang ketiga adalah membaca wasiat taqwa. Maksudnya di sini adalah memberikan pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah Swt.
Dalam kitabnya, Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:
ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح (قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه لا بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية لأن التقوى امتثال الأوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كلام ابن حجر ...الى ان قال... ولا يكفي مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا
Artinya: “Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari maksiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama.” (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, halaman: 218-219).
4. Membaca ayat suci Al-Qur’an
Rukun khutbah yang keempat yakni membaca sepenggal atau satu ayat Al-Qur'an. Untuk memberikan pemahaman mengenai makna ayat secara sempurna, misanya yang berkaitan dengan janji-janji Allah Swt., ancaman, dan lain sebagainya
Membaca ayat Al-Qur'an lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Bakr bin Syatha:
(قوله ورابعها) أي أركان الخطبتين (قوله قراءة آية) أي سواء كانت وعدا أم وعيدا أم حكما أم قصة) وقوله مفهمة) أي معنى مقصودا كالوعد والوعيد وخرج به ثم نظر أو ثم عبس لعدم الإفهام (قوله وفي الأولى أولى) أي وكون قراءة الآية في الخطبة الأولى أي بعد فراغها أولى من كونها في الخطبة الثانية لتكون في مقابلة الدعاء للمؤمنين في الثانية
Artinya: “Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang dapat dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita. Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” karena tidak memberikan kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding keberadaan doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz.2, halaman: 66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).
5. Berdoa untuk kaum muslimin
Rukun khotbah yang terakhir ini dilakukan pada khutbah kedua adalah memanjatkan doa kepada kaum muslimin.
Hal tersebut, sebagaimana dijelaskan Syekh Zainuddin al-Malibari sebagai berikut:
(و) خامسها (دعاء) أخروي للمؤمنين وإن لم يتعرض للمؤمنات خلافا للأذرعي (ولو) بقوله (رحمكم الله) وكذا بنحو اللهم أجرنا من النار إن قصد تخصيص الحاضرين (في) خطبة (ثانة) لاتباع السلف والخلف
Artinya: “Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra’i, meski dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa tersebut dilakukan di khotbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz 2, halaman: 66).
Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha menambahkan:
(قوله دعاء أخروي) فلا يكفي الدنيوي ولو لم يحفظ الأخروي وقال الأطفيحي إن الدنيوي يكفي حيث لم يحفظ الأخروي قياسا على ما تقدم في العجز عن الفاتحة بل ما هنا أولى
Artinya: “Ucapan Syekh Zainuddin, berdoa yang bersifat ukhrawi, maka tidak cukup urusan duniawi, meski khatib tidak hafal doa ukhrawi. Imam al-Ithfihi mengatakan, sesungguhnya doa duniawi mencukupi ketika tidak hafal doa ukhrawi karena disamakan dengan persoalan yang lalu terkait kondisi tidak mampu membaca surah Al-Fatihah, bahkan dalam persoalan ini lebih utama. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, halaman: 66).