10 Oktober 2022 18:10 WIB
Penulis: Akbar Wijaya
Editor: Frendy
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, dan Change.org menyambangi Kantor Staf Presiden (KSP).
Mereka menyerahkan petisi online berisi 16 ribu lebih dukungan publik, yang menuntut kasus peretasan terhadap situs dan puluhan jurnalis Narasi diusut tuntas.
"Kami meminta KSP mengawal kasus [peretasan terhadap] Narasi yang sudah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri," kata Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (10/10/2022).
Sasmito mengatakan kasus serangan digital juga pernah dialami sejumlah media seperti Tempo dan Tirto.id. Sayangnya –meski kasus itu sudah dilaporkan ke kepolisian– belum ada perkembangan yang jelas mengenai proses penyidikannya.
Menurut Sasmito, kasus serangan digital terhadap jurnalis maupun perusahaan media, perlu dilakukan secara transparan dan imparsial. Aparat penegak hukum harus bisa membawa para pelaku serangan ke meja persidangan.
“Tanpa jaminan ini, semakin memperkuat impunitas terhadap pelaku kejahatan jurnalis dan mendorong kekerasan semakin berulang,” ujarnya.
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), mengatakan peretasan, yang menimpa situs dan puluhan jurnalis Narasi merupakan serangan digital terbesar, yang pernah dialami media massa di Indonesia.
"Kasus peretasan ke Narasi merupakan kasus tertinggi dalam sejarah serangan digital ke media yang harus menjadi perhatian pemerintah," ujar Damar.
Damar mengatakan, organisasi masyarakat sipil merasa resah dengan kasus peretasan yang dialami puluhan jurnalis Narasi. Ia berharap KSP bisa mengawal proses hukum kasus yang telah dilaporkan ke Dewan Pers dan Bareskrim Mabes Polri ini.
"Kami harap KSP bisa membantu tim advokasi untuk mengungkap siapa penyerang ke Narasi. Karena tim advokasi sudah mengadu ke Bareskrim dan Dewan Pers," kata Damar.
Menurut Damar, mengungkap pelaku penyerangan digital terhadap situs dan awak Narasi penting demi menjaga indeks nilai demokrasi Indonesia dan memastikan rasa aman terhadap kerja-kerja jurnalistik.
"Salah satu hal yang menambah menurunya skor demokrasi adalah serangan digital semacam ini. Situasi yang tidak terungkap siapa pelakunya ini akan mendorong adanya rasa tidak aman terhadap kerja-kerja semua jurnalis, di Indonesia," ujar Damar.
Mustafa Layong, Pengacara Publik dari LBH Pers, mengatakan serangan digital dalam bentuk peretasan terhadap Narasi maupun perusahaan media merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU Pers No.40 tahun 1999.
Serangan semacam ini, langsung atau tidak langsung, menghambat kerja-kerja jurnalis yang mewakili kepentingan publik.
"Serangan seperti yang dialami Narasi maupun sejumlah media sangat berpengaruh terhadap terhambatnya kerja-kerja jurnalistik para jurnalis," kata Mustafa.
Menurut Mustafa, salah satu alasan mengapa serangan digital terhadap jurnalis dalam bentuk peretasan maupun doxing terus berulang karena kasus semacam ini tidak diusut tuntas aparat kepolisian.
LBH Pers berharap KSP bisa mengambil peran dalam mengawal proses hukum yang telah dilakukan Narasi maupun sejumlah media terkait serangan digital.
"Besar harapan apa yang kami adukan mendapat jawaban dan KSP mengambil peran sebagai pemerintah untuk mengungkap kasus serangan digital terhadap Narasi maupun media lainnya hingga ke pengadilan," katanya.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramowardhani, mengatakan Presiden Jokowi memberi perhatian serius terhadap kasus peretasan yang menimpa puluhan jurnalis Narasi.
Menurutnya perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalis merupakan hal penting yang ingin terus dijaga presiden.
"Kami nanti akan mengadakan rapat koordinasi dengan kementerian lembaga terkait bagaimana ini segera diselesaikan karena presiden sangat concern bagaimana perlindungan terhadap kawan-kawan jurnalis ini," kata Jaleswari Pramowardhani di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (10/10/2022).
Jaleswari berjanji pihaknya akan mengusut tuntas siapa pelaku peretasan ini.
"Saya rasa pemerintah juga berkepentingan untuk mengusut peretasan yang terjadi di puluhan kawan-kawan jurnalis ini (Narasi) agar segera terungkap," ujar Jaleswari.
Menurutnya pengusutan tuntas kasus peretasan yang menimpa puluhan jurnalis Narasi perlu dilakukan bukan saja karena menyangkut indeks demokrasi Indonesia, namun juga sebagai bagian dari komitmen pemerintah melindungi semua warganya.
"Jadi sesuai tupoksi kami yaitu pengendalian program, pengelolaan isu strategis, dan komunikasi publik, saya rasa kasus ini sangat penting bukan saja untuk capaian indeks demokrasi Indonesia tetapi ini bagaimana negara hadir untuk melindungi semua warga negaranya," ujar Jaleswari.
Jaleswari berjanji pihaknya akan mengaji seluruh dokumen yang telah diserahkan dan mengadakan rapat koordinasi antarkementerian dan lembaga untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"Kami akan mengaji dokumen-dokumen yang sudah disampaikan," katanya.
Manager Pemberitaan Narasi, Laban Abraham Laisila, mengatakan kasus peretasan yang menimpa jurnalis merupakan ancaman terhadap kepentingan publik. Ia berharap pemerintah sungguh-sungguh mengungkap kasus ini.
"Kami berharap Kantor Staf Presiden dan Presiden Jokowi mengawal kasus ini karena peretasan yang terjadi kepada awak Narasi mengancam kepentingan publik," ujarnya.
Sepanjang pekan terakhir September 2022, situs dan sedikitnya 31 jurnalis Narasi menjadi korban serangan digital.
Narasi didampingi oleh LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen, SAFEnet, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil juga telah mengadukan kasus ini ke Dewan Pers dan Bareskrim Mabes Polri.
KOMENTAR
Latest Comment