Kemenkeu Sanksi Rafael Alun dan Eko Darmanto: Demi Perbaikan atau Sekadar Selamatkan Citra Lembaga?

2 Mar 2023 12:03 WIB

thumbnail-article

Menteri Keuangan Sri Mulyani/ Antara

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Penganiayaan Mario Dandy Satrio kepada Cristalino David Ozora berujung terkuaknya harta kekayaan tidak wajar dan gaya hidup hedon sejumlah pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan.

Rafael Alun Trisambodo, pejabat eselon III yang juga ayah dari Mario Dandy dikuliti dan diumbar harta kekayaannya oleh netizen di media sosial. Sebagian netizen tidak percaya Rafael yang jabatannya Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan II bisa memiliki harta kekayaan hingga Rp57 miliar di LHKPN dan meminta negara mengusut sumbernya.

Rafael akhirnya dicopot dari jabatannya oleh Menkeu Sri Mulyani dan diperiksa harta kekayaannya.

Jari jemari netizen kemudian mengarah ke Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto.

Sebelum kasus Rafael mencuat Eko kerap memamerkan koleksi mobil antik, mobil mewah, motor Harley, dan sejumlah barang branded.

Sadar sedang menjadi sasaran Eko lantas menghapus akun media sosialnya, namun netizen sudah lebih dahulu merekam dan memviralkan. Eko gagal menyelamatkan citra dan karirnya, ia dicopot dari jabatan.

Direktur Jendral Pajak Suryo Utomo juga ikut jadi sorotan usai fotonya sedang mengendari Harley bersama anggota klub motor gede di lingkungan Direktorat Jendral Pajak, Belasting Rijder viral.

Sri Mulyani langsung memerintah agar klub motor Belasting Rijder dibubarkan.

Marah karena Layanan Mengecewakan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban menilai reaksi keras publik terhadap gaya hidup dan harta kekayaan pejabat berangkat dari kekecewaan terhadap pelayanan yang diterima masyarakat.

“Kita jadi resah karena pelayanan publiknya jelek. Sedangkan di sisi lain pelayan publik ini kok gaya hidupnya mewah. Rasanya enggak pantas dan nggak berhak jika performa kerjanya lembaganya buruk dalam melayani” kata Lola kepada Narasi, Rabu (1/3/2023).

Easter mengatakan hedonisme tidak hanya melibatkan individu namun juga institusi penyelenggara negara, termasuk Kementerian Keuangan. Misalnya, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan lembaga negara kerap menghabiskan biaya besar namun dengan hasil tidak jelas.

“Kegiatan-kegiatan seperti FGD, naskah akademik, konsinyering, dilakukan di hotel bintang 5 misalnya, itu kan enggak wajar. Kan poinnya bukan pada tempat itu dilakukan tetapi apakah tujuannya sudah tercapai,” kata Easter.

Easter mengatakan LHKPN yang tidak sesuai dengan profile jabatan berpotensi terkait dengan tindak korupsi, suap, dan pencucian uang. Ia meminta publik terus mempertanyakan sumber kekayaan para pejabat semacam ini.

“Polanya serupa. Harta yang nggak masuk akal, pelayanan publik instansinya tidak berjalan baik, dan kemudian ditemukan pelanggaran,” kata Easter.

Sanksi Demi Menyelamatkan Citra Lembaga

Easter melihat sanksi Menkeu kepada Rafael dan Eko cenderung bersifat reaksioner untuk menyelamatkan citra lembaga alih-alih menegakkan hukum.

Pasalnya, sejak 2012 lalu Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah menyampaikan kecurigaan terkait LHKPN Rafael.

“Jadi kalau tidak karena kasus penganiayaan anaknya, jangan-jangan ini tidak terbuka,” kata Easter.

Menurut Lola hal ini menunjukkan ketidakseriusan dalam mencegah praktik korupsi. Sebab LHKPN hanya sebatas formalitas administrasi, bukan sebagai mekanisme pengawasan yang disertai tindak lanjut yang jelas.

“Kalau misalnya hartanya tidak wajar apakah itu jadi informasi saja? Atau jadi pintu masuk untuk menulusuri keabsahan harta itu?” kata Lola.

“ini jadi pertanyaan apakah sebenarnya hanya tentang menyelamatkan image Kemenkeu?” ujarnya.

Sudah Jadi Budaya Institusi

Pakar kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai kemewahan dan hedonisme di kalangan pejabat Kementerian Keuangan bukan lagi sekadar budaya individu per individu namun telah menjadi semacam kultur yang terinstitusionalisasi.

Sebab gaya hidup mewah tak hanya ditunjukkan oleh satu atau dua orang petinggi instansi pemerintahan.

“Kalau dulu hanya satu atau dua orang, sekarang hampir seluruh (petinggi dan ASN) di DJP. Karena kan juga ada kelompoknya, ada grupnya yang moge-moge itu. Termasuk bu Menteri itu juga [punya] moge,” ujar Trubus saat dihubungi Narasi, Rabu (2/3/2023).

Trubus menilai gaya hidup hedon dan pamer barang mewah di media sosial akan menurunkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga yang ada di Kementerian Keuangan.

Sebab gaya hidup semacam itu dianggap masyarakat tidak sesuai dengan nilai dan norma untuk para pelayan masyarakat.

“Maka masalah moralitas, integritas, itu menjadi patokan. Itu tidak terpisahkan dari public civility,” kata Trubus.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER