21 April 2023 17:04 WIB
Penulis: Rusti Dian
Editor: Indra Dwi Sugiyanto
Tanggal 21 April selalu dirayakan sebagai Hari Kartini, salah seorang perempuan pahlawan nasional yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Ide dan gagasannya berusaha untuk mewujudkan kesetaraan gender dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap perempuan.
169 tahun Kartini wafat, rupanya gagasan Kartini masih relevan dengan situasi perempuan saat ini. Masih banyak ditemui ketidakadilan dan penindasan perempuan di sekitar kita. Angka kekerasan seksual meningkat, budaya patriarki yang masih langgeng, hingga stereotip tertentu yang menghambat kebebasan perempuan seolah tak kunjung usai.
Buah pemikiran Kartini
Buah pemikiran Kartini bisa dibilang tak lekang oleh zaman. Nyatanya, beberapa buah pemikirannya masih relevan diterapkan di zaman sekarang. Berikut ini buah pemikiran Kartini:
Kartini terjebak dalam adat yang tidak memperbolehkan perempuan untuk mengenyam pendidikan. Ia berhenti sekolah dan dipingit sejak berusia 12 tahun. Dalam suratnya, Kartini selalu mengkritik tentang pendidikan bagi perempuan agar setara.
Kini, masih bisa ditemui di sekitar kita tentang stereotip agar perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Hal tersebut dikarenakan perempuan yang bersekolah tinggi dianggap sulit jodoh lantaran laki-laki takut dan merasa minder untuk mendekat. Bahkan, ilmu tersebut juga dianggap sia-sia karena pada akhirnya perempuan hanya akan mengerjakan pekerjaan domestik.
Perempuan berhak mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Sayangnya, akses pendidikan yang bebas ini masih terkesan hanya untuk orang-orang yang memiliki privilege saja. Harus diakui bahwa faktor ekonomi juga menjadi penghambat seseorang untuk mengenyam pendidikan.
Namun, dengan usaha yang giat dan tekad yang bulat, jalan menuju pendidikan setinggi-tingginya pasti akan terbuka lebar. Di samping itu, pemerintah juga harus memastikan kemudahan akses terhadap pendidikan, terutama bagi perempuan.
Kartini hidup di era dimana anak perempuan harus segera dinikahkan. Bahkan, ia dikurung di rumah seorang diri sampai ada laki-laki yang ingin melamarnya. Keluhan tersebut disampaikan Kartini kepada Stella, teman penanya di Belanda.
Kini, angka perkawinan anak di Indonesia masih tinggi. Pada tahun 2022, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mencatat 55 ribu pengajuan dispensasi nikah. Dispensasi tersebut alami peningkatan pasca UU No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia minimal menikah perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun.
Perkawinan anak tentu dianggap ancaman bagi pemenuhan hak anak. Selain karena pertimbangan kondisi fisik, secara mental pun mereka belum siap. Perkawinan anak juga dapat menimbulkan beberapa masalah seperti KDRT, kekerasan seksual, ekonomi, dan lain sebagainya.
Menanggapi peningkatan kasus perkawinan anak, pemerintah dan stakeholder pun menyusun Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020-2024. Dalam Stranas PPA menyebut target menurunkan angka perkawinan anak menjadi 8,74% tahun 2025 dan 0% kasus perkawinan anak di tahun 2030.
Kartini adalah seorang perempuan yang menentang poligami, walaupun pada akhirnya ia terpaksa mengalah dan menikah dengan Bupati Rembang. Menurutnya, poligami adalah kejahatan besar yang dibungkus dengan agama.
Kini, poligami seolah menjadi tren di masyarakat. Kampanye ajakan poligami masih bisa kita temui di sekitar. Bahkan, salah satu desa di Sidoarjo pun disebut sebagai “Kampung Poligami” lantaran banyak warga yang melakukan poligami di sana.
Ada pula mentoring poligami berbayar yang dilakukan semata-mata untuk mengajarkan bahwa poligami pun bisa berakhir bahagia, tidak seperti yang selama ini disampaikan masyarakat bahwa poligami itu merugikan perempuan. Nyatanya, ada cara-cara tertentu yang bisa dilakukan agar dapat hidup bahagia bersama suami yang berpoligami.
Padahal, poligami turut menjadi penyumbang tingginya angka kasus perceraian di Indonesia. Praktik poligami juga bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan justru menjadi orang yang dirugikan dalam praktik poligami lantaran mendapat ketidakadilan dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Selain emansipasi perempuan, Kartini juga sering mengajarkan tentang toleransi beragama. Dalam suratnya, Kartini menyampaikan bahwa orang yang ingin mengajarkan agama seharusnya mengajak untuk mengenal Tuhan yang Esa. Setiap orang bebas untuk memeluk agama dan keyakinan tertentu, sekalipun itu berbeda-beda.
Kasus intoleransi di Indonesia dapat dibilang masih cukup tinggi. Kasus yang biasa kita temui adalah ujaran kebencian antar agama yang berbeda. Faktanya, kasus intoleransi tidak sesempit itu. Bahkan dalam agama yang sama pun masih bisa kita temui orang-orang yang melakukan penghakiman dosa terhadap orang lain.
Indonesia merupakan negara multikultural. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menumbuhkan sikap toleransi dengan orang yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan. Dengan begitu, masyarakat kita bisa hidup berdampingan, damai, dan memiliki tali persaudaraan yang erat.
Walaupun Kartini sudah tiada, namun buah pemikirannya masih relevan diterapkan di zaman modern seperti sekarang. Kita bisa melanjutkan perjuangan Kartini untuk mencapai kesetaraan gender dengan membebaskan perempuan untuk berkarya, menciptakan ruang aman, serta menumbuhkan sikap toleransi kepada sesama.
Selamat Hari Kartini 2023!
KOMENTAR
Latest Comment