Upaya Komisi I DPR RI menggodok revisi Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) menuai banyak kritik. Salah satu yang banyak dikritik adalah perluasan hak TNI aktif untuk mengisi jabatan sipil yang dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi ABRI era Orba.
Sebelumnya, hak tentara aktif untuk turut serta dalam kegiatan politik dibatasi undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang selama ini berlaku, anggota TNI aktif hanya diperbolehkan untuk mengisi jabatan di 11 kementerian atau lembaga negara.
Dengan aturan tersebut, maka setiap anggota TNI yang hendak mengisi jabatan di luar 11 kementerian/lembaga yang diatur harus mengakhiri dinas militer mereka; menyetop hak mereka untuk pegang senjata, sebelum mengisi jabatan sipil.
Ketentuan 11 kementerian dan lembaga tersebut kemudian hendak diubah dengan revisi UU TNI yang tengah digodok DPR.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, revisi tersebut akan mengubah 11 kementerian/lembaga yang bisa dimasuki tentara aktif menjadi 16 pos sipil dalam 14 kementerian/lembaga.
"[Jabatan] seperti Mensesneg, juga nanti ada Sekretaris Militer Presiden, itu bisa dirangkap anggota TNI [aktif]. Jadinya maksimal 16 [posisi] tapi semuanya hanya di 14 K/L," tutur Supratman pada Selasa (18/3/2025).
Ramainya kritik yang ditujukan pada proses revisi UU TNI ini dilatari oleh kekhawatiran publik atas kembalinya dwifungsi ABRI yang pernah begitu berkuasa pada era Orde Baru.
Kritik itu sempat diutarakan oleh aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan yang menggeruduk ruang rapat Panja RUU TNI di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Sabtu (15/3) lalu.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS Andrie Yunus, salah satu aktivis yang menggeruduk ruang rapat, menyampaikan kekhawatiran RUU TNI dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.
"Kami menolak adanya pembahasan di dalam," seru Andrie ketika berhasil merangsek masuk ruang rapat. "Kami menolak dwifungsi ABRI!"
Lantas, bagaimana sejarah dwifungsi ABRI di Indonesia, mengapa ia pernah berjaya dan berakhir ditiadakan ketika Reformasi 98?
Sejarah dwifungsi ABRI: Pada Mulanya Nasution
Dwifungsi ABRI merupakan istilah yang merujuk pada kebijakan yang mengatur militer Indonesia memiliki hak untuk terjun dalam politik. Praktik ini berjaya pada masa Orde Baru dan dihapuskan setelah Reformasi 98.
Melalui dwifungsi ABRI ini, ada masanya tentara aktif bisa ditempatkan di berbagai posisi di luar barak militer. Di parlemen, misalnya, dwifungsi ABRI membuat tentara aktif bisa menjadi anggota DPR tanpa harus pensiun dini.
Tak hanya di parlemen, tentara kala itu juga merangkap jabatan sebagai kepala daerah, menteri, duta besar, dan bahkan pimpinan BUMN. Semua jabatan itu tak mengharuskan tentara untuk gantung senjata terlebih dahulu.
Seturut Indria Samego dalam bukunya Bila ABRI Menghendaki: Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI (1998), konsep dwifungsi bermula dari ide KSAD Jenderal A. H. Nasution.
Konsep dwifungsi tentara itu dijelaskan Nasution ketika berpidato pada acara Dies Natalis Akademi Militer Nasional (AMN) pada 1958. Oleh Nasution, ide itu diejawantahkan sebagai “jalan tengah”.
Dalam penjelasannya tentang ide "jalan tengah" tersebut, Nasution menjelaskan bahwa ABRI tak seharusnya hanya menjadi alat pemerintah yang dikuasai politisi sipil.
Bagi Nasution pada kala itu, situasi politik dan keamanan yang tak menentu membuat ABRI kerap kena "getah" dari pemberontakan-pemberontakan tanpa turut andil dalam penentuan keputusan politik.
Oleh karenanya, jelas Nasution, tentara seharusnya tak hanya dijadikan alat, tetapi juga "turut serta menentukan kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi," (Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, 2007).
Ide untuk memperluas fungsi tentara untuk terjun ke politik tersebut dilatari beberapa faktor.
Salah satunya adalah pemberlakuan Undang-Undang Keadaan Darurat Perang atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) pada 1957.
Jusuf Wanandi dalam "Theory and Practice of Security Sector Reform: The Case of Indonesia" (2023) menjelaskan bahwa keluarnya UU tersebut merupakan momentum militer mendapat ruang lebih dalam peta politik.
Kala itu, ketidakmampuan DPR dan Konstituante membentuk sistem politik yang stabil membuat pamor demokrasi parlementer merosot, sementara militer mendapatkan pamor lewat upaya-upaya membumihanguskan pemberontakan di berbagai wilayah.
Jalan mulus dwifungsi ABRI pasca-G30S
Momentum ABRI untuk mendapatkan hak politik kembali terjadi karena peristiwa G30S. Gagalnya upaya kudeta yang menewaskan beberapa perwira tinggi angkatan darat membuat rencana militer turut serta berpolitik mendapatkan legitimasi dan dukungan masyarakat luas.
Pasca-G30S, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) diberikan kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Mayor Jenderal Soeharto. Peristiwa ini membuat kewenangan militer makin luas dan pada gilirannya turut mengakselerasi terbentuknya kebijakan dwifungsi ABRI.
Pasca 1965, Nasution mematangkan konsep “jalan tengah” yang ia canangkan sejak tahun-tahun sebelumnya, seiring kebutuhan ABRI untuk mengeliminasi doktrin komunis dalam tubuh angkatan darat.
Hal tersebut, seperti yang dilakukan Nasution dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada 25-31 Agustus 1966. Kala itu, Nasution berbicara tentang “jalan tengah” kepada ratusan tentara, termasuk para perwira senior AD.
Pengondisian itu kemudian berbuah hasil. Angkatan Darat pada akhirnya diberikan jalan untuk berperan dalam politik.
Seturut Nugroho Notosusanto dalam The Dual Function of the Indonesian Armed Forces Especially Since 1966 (1970), kesepakatan tersebut membuat militer tak hanya punya peran sebagai kekuatan hankam, tetapi juga “berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.”
Dilegitimasi Orde Baru
Kendati secara de facto Soeharto telah memperoleh kekuasaan setingkat presiden sejak mendapat Supersemar, pelantikan sang Smiling General Presiden Indonesia ke-2 pada 27 Maret 1968 membuat dwifungsi ABRI terbilang mudah mendapat legitimasi.
Seturut Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978), pada tahun-tahun setelah pelantikan Soeharto, dwifungsi ABRI mendapatkan legitimasi secara hukum melalui Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, dan Undang-undang No. 82 Tahun 1982.
Dengan legitimasi hukum tersebut, praktis tentara mendapatkan hak politik dan bisnis secara legal.
Setiap lini kehidupan masyarakat lalu terikat erat dengan tentara. Para serdadu lalu dapat ditempatkan di lembaga negara non-militer, institusi peradilan, BUMN, bahkan di ranah bisnis melalui yayasan-yayasan ABRI.
Di parlemen, tentara bahkan punya fraksi tersendiri yang keanggotaannya tak melalui pemilu seperti politisi sipil. Fraksi ABRI memiliki “kuota” yang diisi melalui skema penunjukkan.
Seiring waktu, jumlah anggota Fraksi ABRI juga meningkat, terutama pada 1968 ketika persentase wakil ABRI di DPR ditambah dari 12 persen menjadi 18 persen.
Dengan jumlah yang tak sedikit itu, Fraksi ABRI kemudian menjadi kepanjangan tangan Soeharto di parlemen. Seiya-sekata dengan The Smiling General itu.
Berangsur mati setelah reformasi
Ketika gelombang protes pada 1997-1998 terjadi di berbagai wilayah, penghapusan dwifungsi ABRI jadi salah satu poin tuntutan yang dikumandangkan—selain, tentu saja, turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Tuntutan untuk menghapuskan dwifungsi ABRI tersebut dilatari oleh rasa lelah masyarakat sipil atas kejahatan HAM yang berulang dan melibatkan anggota ABRI dalam periode Orde Baru.
Ketika pada akhirnya Reformasi 98 membuat Soeharto mundur dari kursi kepresidenan, keberlangsungan dwifungsi juga turut di ujung tanduk.
Pada 2000, pimpinan militer di bawah kepresidenan Gus Dur mengadakan rapat untuk menentukan masa depan dwifungsi ABRI. Hasilnya, disepakati bahwa dwifungsi ABRI dihapuskan.
Hak politik dan ekonomi para tentara dicabut. Fraksi ABRI yang terus ada kala Orde Baru berjaya turut dibubarkan.
Per 2004, melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, tak lagi ada jatah kursi militer di parlemen dan setiap dari mereka yang ingin menduduki jabatan politik diharuskan pensiun dini/mengundurkan diri dari dinas militer.