Stop Menyalahkan, Siklus KDRT Ini Buat Korban Sulit Lepas dari Pasangan

18 Maret 2024 11:03 WIB

Narasi TV

Perempuan yang mengangkat tangannya sebagai tanda hentikan kekerasan. Sumber: Freepik.

Penulis: Rusti Dian

Editor: Margareth Ratih. F

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih marak terjadi di Indonesia. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, sebanyak 2.247 kasus kekerasan terhadap istri sepanjang 2023. Lantas, bagaimana siklus KDRT bisa terjadi?

KDRT tampaknya menjadi masalah yang tidak bisa selesai begitu saja. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) seolah tak mampu menghentikan masalah tersebut.

Tak mudah bagi korban KDRT untuk melaporkan peristiwa yang menimpanya. Selain karena stigma dari masyarakat, ada pula korban yang merasa masih melihat secercah harapan dari pasangannya untuk berubah. Tak heran jika korban seringkali memilih bertahan dan kembali dalam lingkungan toksik tersebut.

Inilah yang disebut sebagai siklus KDRT. Pola ini menggambarkan bagaimana hubungan korban dan pelaku ketika peristiwa tersebut terjadi. Siklus ini dikenal sebagai Cycle of Violence yang dicetuskan oleh Psikolog Amerika, Lenore E. Walker pada 1979.

Siklus KDRT

Berikut siklus KDRT menurut Lenore E. Walker:

  • Siklus ketegangan

Siklus pertama yaitu ketegangan. Pada siklus ini, pasangan sedang mengalami gejolak dan pertengkaran. Tindakan ini bisa berujung pada kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban.

Pelaku bisa memberikan ancaman pada korban. Biasanya juga disertai kekerasan lisan seperti memaki, berteriak, atau mengumpat. Ketika korban tidak bisa menenangkan pelaku, maka tindak kekerasan bisa berlanjut pada siklus kedua.

  • Siklus kekerasan

Pada siklus kedua, pelaku merasa lebih superior, sementara korban mulai tak berdaya. Siklus ini ditandai dengan tindak kekerasan yang dilakukan pelaku. Biasanya melibatkan serangan fisik seperti tamparan, pukulan, tendangan, cekikan, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.

Kekerasan fisik ini bisa disertai kekerasan secara lisan seperti mengumpat dan menghina dengan sangat kasar. Tak jarang ucapan tersebut juga terdengar sampai telinga orang lain.

  • Siklus rekonsiliasi

Siklus rekonsiliasi berarti pelaku mulai meminta maaf dan memohon pada korban. Apalagi jika korban hendak melawan perbuatan tersebut. 

Siklus ini menjadi “modus” pelaku agar mendapat maaf dari korban. Ia akan memberikan hadiah, memanipulasi, atau menunjukkan rasa sayang yang berbanding terbalik dengan perbuatan sebelumnya. Tak heran jika korban seringkali merasa luluh dan mau kembali kepada pelaku.

  • Tahap tenang/bulan madu

Tahap berikutnya yaitu masa tenang. Pelaku berhasil membujuk korban untuk memaafkannya. Hubungan pun kembali romantis sehingga siklus ini juga disebut sebagai honeymoon atau bulan madu.

Namun, kondisi ini tidak akan bertahan lama. Pelaku berpotensi mengulang kembali perbuatannya, baik cepat atau lambat.

Siklus ini akan terus terjadi selama korban tetap bertahan dan memaafkan pelaku. Ada banyak faktor yang membuat korban tak bisa lepas begitu saja. Mulai dari ketakutan pada pelaku, bertahan demi anak, takut dengan stigma masyarakat, ketergantungan, dan masih banyak lagi.

Apabila kamu melihat, mendengar, atau menjadi korban KDRT, jangan ragu untuk mencari pertolongan. Kamu bisa mencari bantuan ke psikolog, lembaga layanan, atau kepolisian setempat. Informasi layanan bantuan penanganan KDRT di seluruh Indonesia bisa diakses melalui www.carilayanan.com

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR