Sistem Pemilu Tertutup Dinilai Cuma Pindahkan Praktik Politik Uang di Rakyat ke Lingkaran Elite Partai

4 Jan 2023 17:01 WIB

thumbnail-article

Spanduk kampanye pemilu bersih 2019/ Antara

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Delapan dari sembilan fraksi di DPR, kecuali PDI Perjuangan meminta Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 168 ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur soal sistem proporsional terbuka untuk pemilihan umum.

Delapan fraksi itu adalah: PKB, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PAN, PPP, Golkar, dan PKS.

Mereka juga mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat undang-undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapa pun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Wacana mengubah sistem penentuan calon anggota legislatif dalam pemilu dari terbuka menjadi tertutup mencuat setelah ada gugatan ke MK terkait Pasal 168 ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017.

Dalam gugatan yang tertuang dalam Surat Permohonan No.114/PPU-XX/2022, para pengguggat yang terdiri dari Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono meminta MK menguji pasal-pasal yang menyangkut sistem proporsional terbuka dalam pemilu.

Dua di antara penggugat Demas dan Yuwono, merupakan kader Partai PDI-Perjuangan dan NasDem.

Isu ini kian kencang setelah Ketua KPU Hasyim Asy’ari, mengungkapkan kemungkinan dilangsungkannya sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 mendatang.

Ketika itu Hasyim mengimbau para peserta pemilu untuk menahan diri dari memasang atribut peraga kampanye (APK) dengan foto mereka. Sebab, jika sistem pemilihan kembali tertutup, pemilih hanya akan melihat logo partai bukan nama calon. Sehingga, APK calon legislatif menjadi tidak relevan.

“Jadi, kira-kira bisa diprediksi apa enggak, keputusan Mahkamah Konstitusi ke depan? Ada kemungkinan. Saya belum berani berspekulasi. Ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup. Maka dengan begitu menjadi tidak relevan. Misalnya saya nyalon, pasang gambar-gambar di pinggir jalan. Jadi enggak relevan. Karena namanya enggak muncul lagi di surat suara.” kata Hasyim dalam pidato Catatan Akhir Tahun KPU RI, Kamis (29/12/2022).

Lantas apa sisi positif dan negatif sistem pemilu terbuka dan tertutup?

Menjauhkan Kedaulatan Rakyat

Feri Amsari Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) mengatakan sistem proporsional tertutup jauh dari komitmen kedaulatan rakyat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

Sebab, pemilihan atas siapa yang berhak mendapatkan kursi di parlemen tidak dilakukan langsung oleh rakyat, tetapi oleh elit partai politik atau ketua umum.

“Kalau kita melihat Undang-Undang [Dasar] kita, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat," kata Feri kepada Narasi, Selasa (3/1/2023).

Feri beranggapan sistem pemilu proporsional terbuka lebih sejalan dengan beleid tersebut karena rakyat berdaulat menentukan siapa yang mereka anggap representatif mewakili mereka di legislatif.

Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, penentuan anggota legislatif berada di tangan ketua umum partai. Sehingga yang berdaulat adalah ketua umum partai.

"Maka jauh dari sistem kedaulatan rakyat yang ada di Undang-Undang Dasar,” ujar Feri.

Feri mengakui sistem proporsional terbuka mengandung sejumlah permasalahan, misalnya melanggengkan politik pasar bebas karena kompetisi lolos menjadi anggota legislatif cenderung didasari oleh popularitas.

Sehingga, mereka yang betul-betul bekerja membangun partai bisa saja gagal lolos jadi anggota legislatif karena tersingkir oleh sosok popular pendatang baru dari kalangan public figure seperti artis.

Kendati demikian, Feri menilai permasalahan semacam ini bisa diatasi oleh komitmen partai dalam pembinaan kader atau tidak menyerahkan sepenuhnya penentuan calon legislatif ke tanga elite partai.

“Tapi bagi politisi, kader partai, itu (sistem proporsional terbuka) akan menjadi persoalan karena sekuat dan seterlibat apapun mereka dalam mengelola dan membangun partai, belum tentu mereka adalah orang yang dipilih oleh rakyat," kata Feri.

Tidak Menjamin Hapus Praktik Politik Uang

Salah satu dalil para penggugat sistem proporsional terbuka ke MK adalah karena sistem ini dinilai menumbuhkan praktik politik uang sehingga membuat biaya pemilu dan kampanye mahal.

Hal ini juga diamini oleh politikus PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno yang menilai sistem proporsional tertutup bisa menekan biaya politik tinggi.

Namun Feri tak sepenuhnya sepakat dengan pandangan ini. Menurutnya, pergantian sistem dari terbuka menjadi tertutup tidak serta merta membuat pemilu bebas dari politik uang.

Sebab bisa saja hal itu hanya mengganti ruang praktik politik uang dari semula di tengah masyarakat menjadi ke dalam lingkaran internal elite partai.

Praktik politik uang yang terjadi dalam lingkaran tertutup elit ini menurut Feri dapat menjadi penyimpangan lebih besar. Sebab negosiasi antarelit politik bisa lebih dari sekadar uang namun kesepakatan proyek-proyek yang menguntungkan politisi.

Feri mengatakan biaya pemilu yang tinggi bisa ditekan melalui cara-cara lain. Misalnya dengan menghapus anggaran pemilu yang tidak substantif. Seperti: beban anggaran APK yang termasuk dalam pengeluaran negara, pembelian mobil dinas untuk penyelenggara pemilu, hingga agenda-agenda konsolidasi penyelenggara pemilu setiap bulan yang memakan biaya tak sedikit.

“Semakin koruptif sesungguhnya proporsional tertutup karena lingkarannya tertutup, dan negosiasinya jangka panjang," kata Feri.

"Jadi kalau kerugiannya diakumulasi, jauh lebih koruptif sebenarnya sistem proporsional tertutup yang bermain di ruang elit dan oligark.”

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER