Dalam seminggu terakhir, kantor media Tempo di Palmerah, Jakarta Selatan memperoleh serangkaian teror berupa kiriman bangkai hewan. Kiriman tersebut ditujukan untuk salah seorang jurnalis desk politik. Berikut kronologi teror kantor media Tempo.
Teror kepala babi dan bangkai tikus yang dikirimkan ke Kantor Media Tempo merupakan ancaman serius terhadap kerja jurnalistik di Indonesia. Peristiwa ini menambah rangkaian kekerasan terhadap jurnalis.
Sebagai bentuk dukungan, gerakan dan aksi simpati mengalir deras membanjiri media sosial. Mulai dari tagar “#KamiBersamaTempo” hingga “lawan teror”, masyarakat mengecam keras tindakan teror yang ditujukan terhadap jurnalis. Mengingat bahwa pers merupakan salah satu pilar demokrasi.
Lantas, bagaimana kronologi teror terhadap Tempo dan seberapa besar dampaknya bagi demokrasi di Indonesia? Simak penjelasannya berikut ini!
Kronologi Teror Media Tempo
Pada Rabu (19/3/2025) pukul 16.15 WIB, kantor media Tempo mendapat kiriman paket yang dibungkus kotak kardus dan dilapisi styrofoam. Secara spesifik, paket tersebut ditujukan kepada jurnalis bernama Francisca Rosana (Cica). Ia adalah jurnalis desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik.
Tak ada keterangan identitas pengirim di paket tersebut. Yang jelas, paket diantar oleh seorang kurir yang mengenakan jaket hitam, celana jins, dan helm ojek online seperti yang terlihat dalam rekaman CCTV. Petugas yang menerima paket pun langsung menyimpannya dekat resepsionis agar bisa diambil oleh penerima.
Keesokan harinya, Cica mengambil paket pada pukul 15.00 WIB sepulang liputan bersama rekannya. Paket tersebut langsung dibawa ke ruang redaksi di lantai IV. Ketika kardus dibuka, bau busuk pun menyeruak.
“Baunya makin menyengat dan terlihat masih ada darahnya,” ujar salah seorang jurnalis Tempo, Hussein Abri Yusuf pada Kamis (20/3/2025), dikutip dari Tempo.
Dua hari kemudian, Tempo kembali mendapatkan kotak berisi enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Paket tersebut ditemukan oleh petugas kebersihan dalam kondisi kotak yang sedikit penyok.
Menurut pihak manajemen gedung, kotak tersebut dilempar oleh orang tidak dikenal pada Sabtu (22/3/2025) dini hari pukul 02.11 WIB. Petugas keamanan menduga kotak sempat mengenai mobil yang sedang diparkir sebelum jatuh ke aspal.
Dilaporkan ke Polisi
Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat melaporkan kejadian teror tersebut kepada Mabes Polri pada Jumat (20/3/2025). Ia didampingi oleh Koalisi Keselamatan Jurnalis.
“Ini adalah teror terhadap kerja jurnalistik dan kebebasan pers secara keseluruhan,” ujar Bagja pada Jumat (20/3/2025).
Menurutnya, peristiwa tersebut bukan teror yang pertama bagi Tempo. Namun, selama ini teror hanya dilakukan dengan cara melemparkan bom molotov, memecah kaca mobil salah seorang wartawan, dan teror melalui telepon.
Senada, Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra menilai teror kepala babi adalah ancaman serius bagi Tempo, profesi jurnalis, dan kebebasan pers di Indonesia. Ia juga mengingatkan bahwa profesi jurnalis bekerja untuk publik dan dilindungi undang-undang.
“Hari ini bisa saja Tempo, tetapi ke depannya kita semua sebagai jurnalis bisa terancam dan negara harus hadir memberikan perlindungan,” ujar Setri.
Usai mendapat laporan, Bareskrim Polri bersama Polda Metro Jaya pun mengecek tempat kejadian perkara. Mereka mengumpulkan informasi dan mengecek CCTV sebagai langkah awal penyelidikan.
“Polri telah melakukan langkah awal penyelidikan untuk mengumpulkan informasi dan keterangan yang diperlukan,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko pada Minggu (23/3/2025).
Kebebasan Pers Memburuk
Rangkaian teror yang ditujukan kepada Tempo harus ditanggapi secara serius. Sebab, teror tersebut dapat mengancam keselamatan jurnalis dan menandai kemunduran terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, kebebasan pers di Indonesia kian memburuk selama dua tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan data AJI Indonesia yang mencatat sebanyak 101 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2023, kemudian 73 kejadian pada 2024.
“Selama tiga bulan ini misalnya, sudah hampir 20 kasus masuk. Itu belum ditambah beberapa kasus kemarin yang demo anti RUU TNI (revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia),” ujar Nany, dikutip dari BBCIndonesia.
Nany khawatir apabila kasus kekerasan ini tidak jelas ujungnya, maka pelaku tidak akan jera. Bahkan bentuk kekerasannya pun bisa semakin berbahaya. Selama ini, setiap kekerasan terhadap jurnalis yang masuk ke AJI selalu dilaporkan ke polisi. Namun, mayoritas pelaku tidak tertangkap.