Cerita Pilu Ruang ICU
Yang terpedih adalah berpisah tanpa sayonara, bergulat dengan maut tanpa orang-orang tercinta.
Pada jarak yang dipisahkan oleh bangsal-bangsal, masing-masing menghitung dengan napas tersengal.
Masih adakah waktu buatku, masih cukupkah udara buatmu, saat bip bip monitor seperti memburu.
Hidup memang bukanlah pasar malam, orang datang dan pergi sendirian.
Yang masih bertahan mengukur kenangan selagi bisa, meraup hari esok yang boleh jadi sudah tak ada.
Sementara yang ditinggalkan merawat jejak di atas pasir, yang rapuh oleh sapuan ombak yang tak hentinya bergulir.
Kita sedang hidup pada musim yang janggal, pancaroba yang menyerupai tukang jagal.
Lihat, bukankah ujung jalan masih berhias karangan bunga, mengapa masih sirine ambulans itu meraung-raung di udara.
Tapi kita bisa apa, kepada nasib yang fana, dan takdir yang tan kinira.
Dan kematian pun semakin akrab, seperti mata yang memeluk sembab.
Segalanya mungkin memang terasa berantakan, tapi pasti selalu ada yang bisa dielakkan.
Jika memang nasib buruk itu sudah diguratkan, nasib baik tentu saja ikut digoreskan, bukan?
Ada sangat banyak jumlah mereka yang tidak sudi menyerah, yang tahu nasib baik dan buruk serupa lempung yang dapat diolah.
Lihatlah mereka yang lintang pukang di ruang-ruang maut itu, yang terus bergegas memasok harapan pada tubuh yang enggan beku.
Dokter dan perawat adalah malaikat yang kasat mata, menjaga nyala pada garis tangan yang tak terbaca.
Tapi siapa yang bilang hari sudah larut, bukankah hanya siang yang agak berkabut?
Jadi mari angkat pena lagi, tuliskan rencanamu di sini, masih banyak helai tak terisi, untuk cerita yang lain lagi.
Cobalah sekali lagi untuk bertahan selagi bisa, ketabahan bisa memicu daya tahan tak terduga.
#MataNajwa #kapalapi #BRITAMAFSTVL
KOMENTAR
Latest Comment