Pak Kapolri, Data Pribadi Warga Terus Disebar Akun Anonim dan Buzzer, Kok Masih Dibiarkan?

  • Kasus-kasus penyebaran data pribadi di media sosial oleh akun anonim dan buzzer.
  • Aturan hukum mengenai larangan menyebarkan data pribadi orang lain tanpa izin.
  • Tebang pilih pengusutan kasus penyebaran data pribadi.
  • Kapolri harus turun tangan.

Video seorang penumpang mobil Alphard memaki polisi saat mengatur arus mudik lebaran viral di media sosial. Si pelaku tak diproses hukum, namun data KTP elektronik (e-KTP) berupa foto diri, NIK, alamat, pekerjaan, nama diri, dan agamanya tiba-tiba disebar di media sosial.

Siapa pelaku penyebarnya? Lagi-lagi akun anonim.

Bukan hal sukar melacak dari mana pelaku mendapatkan akses data e-KTP penumpang Alphard tersebut, sebab di dalamnya juga termuat watermark “Ditjen Dukcapil” dan “Pusinafis Polri”.

Yang menjadi persoalan justru menjawab pertanyaan: bagaimana data pribadi warga bisa diakses akun anonim, disebarkan tanpa izin, dan tanpa ada proses hukum sama sekali.

Kalau kita melongok lagi ke belakang, kasus semacam ini bukan baru pertama terjadi. Sebelumnya data orang-orang yang mengeroyok dosen Universitas Indonesia Ade Armando di depan gedung DPR pada 11 April 2022 lalu juga disebar oleh akun anonim dan buzzer pendukung pemerintah.

Mereka yang datanya disebar ialah: Ade Purnama, Dhea Ul Haq, Abdul Latip, dan Try Setia Budi Purwanto.

Dalam kasus ini yang menjadi persoalan bukan saja pelanggaran hukum dalam bentuk menyebarkan data diri orang lain, tapi juga karena ada kesalahan analisis pada teknologi face recognition untuk nama Try Setia Budi Purwanto yang mulanya disebut sebagai pelaku pengeroyokan padahal bukan.

Aturan Hukum

Membocorkan data pribadi milik orang lain di media sosial tanpa izin pemiliknya dapat dikategorikan sebagai doxing. Perbuatan ini termasuk bentuk pelanggaran hukum yang salah satunya diatur dalam Pasal 26 ayat 1 UU ITE, UU №19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Beleid ini mengatur: “Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.”

Apa sanksi bagi para pelanggarnya? Pasal 26 ayat 2 UU ITE mengatakan: “Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan undang-undang ini.”

Tak Ada Sanksi Tegas

Menyebarkan data pribadi tanpa izin juga pernah dilakukan Ulin Yusron, salah satu pendukung Presiden Jokowi di Pilpres 2019. Ia menyebar data warga berinisial DS dan CY lengkap dengan foto diri, alamat, pekerjaan, NIK, dan agama. Ketika itu Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan perilaku Ulin dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi pidana.

Namun apakah Ulin dikenai sanksi? Alih-alih disanksi pidana ia justru diangkat sebagai salah satu komisaris BUMN atas jasanya memenangkan Jokowi.

Beda Perlakuan

Pengusutan terhadap pelaku penyebar data pribadi seperti tebang pilih. Jika pelakunya menyasar akun anonim atau buzzer yang punya kecenderungan mendukung pemerintah, maka aparat penegak hukum seperti masuk angin yang mager mau ngapa-ngapain.

Tapi jika korbannya adalah pendukung pemerintah maka proses pengusutannya begitu gercep. Pada 10 Juli 2022 lalu misalnya, polisi menangkap FPH (27 tahun) yang menjadi pelaku penyebaran data pribadi milik Deni Siregar yang lagi-lagi pendukung Jokowi hanya dalam waktu kurang dari dua pekan.

Sebagai aparat penegak hukum polisinya mestinya tidak berkilang bahwa proses hukum tak berjalan karena sebagaian korban tidak melapor, sebaliknya polisi semestinya bersikap proaktif memfasilitasi para korban.

Kapolri Diminta Turun Tangan

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati berpendapat dengan atau tanpa UU ITE doxing tidak dapat dibenarkan. “Ini semacam penghakiman massa, meskipun secara digital tidak [berbentul] fisik,” ujarnya kepada Narasi.

Asfin mengaku heran mengapa hingga sekarang para pelaku doxing data warga seolah kebal hukum. “Aneh kan mengapa ada orang atau akun yang kebal hukum? Melanggar hukum tapi bisa lolos dari jeratan hukum,” katanya.

Asfin mencontohkan salah satu kasus doxing yang mencuat saat Pilpres 2019. Ketika itu ada salah satu pendukung Presiden Jokowi yang melakukan doxing data warga namun ia tidak dihukum.

Hal semacam itu menurut Asfin memunculkan spekulasi bahwa pelaku doxing memang akun-akun yang memiliki kaitan atau bahkan bagian dari kekuasaan.

“Saat seputar pilpres saya ingat ada orang yg dekat kekuasaan melakukan doxing, ada yang salah orang juga. Tapi tidak ditindak. Jadi tidak berlebihan jika publik mengaitkan akun-akun ini dengan kekuasaan atau setidaknya orang yang di kekuasaan,” katanya.

Doxing data warga yang diduga bersumber dari internal kepolisian menurut Asfin menunjukan tidak berjalannya fungsi pengawasan polri. Ia meminta Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk turun tangan langsung menangangi persoalan ini agar tidak berulang.

“Kapolri perlu turun. Dan jika Kapolri tidak bergerak artinya atasan Kapolri perlu turun tangan juga alias presiden,” katanya.

Menegakkan hukum secara adil merupakan salah satu janji dari Kapolri Sigit Listyo Prabowo saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR.

Ayo, Pak Kapolri, coba ditelusuri siapa yang menyebarkan dan memberikan akses data e-KTP kepada akun-akun anonim. Bukan cuma akun anonimnya aja dong yang bersalah? Jangan sampai kejadian seperti ini kembali terulang dan dianggap biasa. Yuk, bisa yuk Pak!

Penulis teks: Firda Iskandar

Editor teks: M. Akbar Wijaya

#FaceRecognition #Doxing #NarasiDaily #NarasiNewsroom

KOMENTAR

SELANJUTNYA

TERPOPULER