Bechi Terbukti Cabuli Santriwati tapi Tetap Dibela Pesantrennya, Begini Penjelasan Dosen PTIQ

21 Nov 2022 17:11 WIB

thumbnail-article

Dr. Nur Rofi’ah Bil. Uzm

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis M. Subchi Anzal Tsani alias Bechi tujuh tahun penjara dalam kasus pencabulan kepada santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur yang diasuh ayahnya Kiai Mukhtar Mukti.

Ketua Majelis Hakim Sutrisno menyatakan Bechi bersalah karena melanggar Pasal 289 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP dan UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Kendati putusan ini lebih ringan dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta Subchi divonis 16 tahun penjara, keluarga dan pendukung Subchi tetap tidak terima.

“Zalim!” teriak Dzurotul Massunah isri tersangka Subchi.

“Ini semua settingan! Ini semua rekayasa!” kata pendukung Bechi.

Ibunda Bechi Nyai Shofwatul Ummah menilai kasus yang menimpa anaknya sebagai ulah jin tomang, metafor untuk menggambarkan bahwa anaknya korban fitnah seseorang.

Namun, penolakan terhadap proses hukum pria berusia 42 tahun ini bukan baru kali terjadi sejak awal sidang hingga pembacaan putusan pada Kamis (17/11/22) sore lalu.

Waktu hendak ditangkap aparat Polres Jombang, Bechi juga berulang kali menentang dan keluarga terus melindunginya. Penolakan, tak jarang melibatkan para santri Pondok Pesantren Shiddiqiyah.

Cara persuasif yang dilakukan aparat kepolisian tidak juga membuahkan hasil. Bahkan pada Juli lalu, video berisi Kapolres Jombang AKBP Nurhidayat duduk menunduk di hadapan Kiai Muhammad Mukhtar Mukthi saat hendak membawa Bechi beredar di media sosial.

Dalam video itu Kiai Mukhtar, di hadapan ratusan jamaah pengajiannya, tegas menolak proses hukum terhadap putranya dan menyebut persoalan yang terjadi sebagai “fitnah dan urusan keluarga”.

Kiai Mukhtar dan pihak Pondok Pesantren Shiddiqiyah baru melunak setelah pemerintah membekukan izin operasi pesantren.

Bagi, Dosen Pusat Tinggi Ilmu al-Qur’an dan Universitas Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Nur Rofi’ah Bil. Uzm, dukungan bertubi-tubi terhadap Bechi yang dilakukan sebagian santri menunjukkan masih adanya kesalahkaprahan dalam tradisi penghormatan terhadap keluarga kiai di pesantren.

Berikut wawancara kami dengan Nur Rofi’ah:

1. Bagaimana anda melihat putusan pengadilan terhadap Bechi dalam konteks citra pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama?

Peristiwa ini tentu mencoreng nama baik pesantren secara umum. Dan jangan sampai ini menjadi generalisir dunia pesantren. Tetapi juga jangan denial. (Pesantren) harus ambil pelajaran bahwa ada hal-hal yang harus dibenahi. Pencegahan itu penting sekali.

2. Bagaimana memahami dukungan terhadap Bechi oleh sebagian santri dalam konteks penghormatan murid kepada guru dan keluarganya?

Hormat kepada guru adalah [nilai yang diajarkan di] pesantren dan juga etika umum. Karena guru dianggap berjasa. Bedanya di pesantren, penghormatan kepada guru di samping sebagai nilai sosial, juga sebagai nilai agama.

Cuma problem itu menjadi sangat ironis sekali kalau ada penyalahgunaan wewenang yang diyakini sebagai ajaran agama.

3. Nilai sosial apa yang membedakan antara penghormatan kepada guru dan keluarganya di lingkungan pesantren dengan di lembaga pendidikan nonagama?

Kalau di pesantren diyakini ada barokah, ada pahala [dari penghormatan kiai]. Persoalannya ada pada penyalahgunaanwewenang itu oleh guru.

Penyalahgunaan [itu misalnya] asumsi bahwa anaknya guru pasti (juga) guru, menghormati guru itu harus menghormati anaknya juga. Jadi bukan hanya wewenang sebagai guru, tetapi wewenang mereka sebagai pemegang otoritas agama.

Penghormatan kayak kita manggil orang yang lebih tua dengan mbak, bapak, mas, ibu, itukan sebenernya biasa saja. Problemnya adalah penyalahgunaan itu, jadi yang salah bukan penghormatannya tapi penyalahgunaan atas previlege itu.

4. Bagaimana menyelesaikan problem penyalahgunaan penghormatan terhadap seorang kiai maupun keturunannya seperti Gus dan Ning?

Nah bagaimana cara menghindari penyalahgunaan itu adalah dengan nalar kritis. Kesadaran bahwa penghormataan atau ketaatan dalam bentuk apapun itu tidak boleh sampai dengan hal yang bertentangan dengan agama.

5. Mengapa nalar kritis sukar sekali tumbuh ketika berurusan dengan mereka yang memiliki otoritas di bidang agama seperti kiai?

Mungkin ada indoktrinasi ya. Cara memahami agama yang tidak disertai dengan kesadaran akan adanya kemungkinan bahwa agama itu bisa disalahgunakan. Indoktrinasi kan tidak membuka ruang untuk bertanya.

6. Bagaimana dunia pesantren mengambil pelajaran dari kasus Subchi?

Dari peristiwa-peristiwa yang bermunculan pelajaran pentingnya adalah kiai, gus dan sebagainya juga manusia. Yang pada umumnya baik tapi tidak berarti selamanya baik. Sehingga penghormatan pada siapapun itu ada batas tidak pada maksiat.

7. Evaluasi apa yang perlu dilakukan pesantren khususnya terkait tradisi penghormatan terhadap kiai yang cenderung mengarah ke kultus individu maupun kelompok?

Santri itu [perlu] dibangun kesadarannya untuk punya mekanisme perlindungan diri saat menghadapj sesuatu yang bertentangan dengan agama meskipun dibungkus dengan agama. Misalnya kayak ketaatan itu, orang bisa menghormati tanpa menaatinya dalam hal yang membahayakan

Bahkan dalam hadist ada perintah tolonglah pelaku kedzoliman dan korban kedzoliman. Lalu bagaimana menolong pelaku kedzoliman?

Berhentikan dia dari perbuatan dzolim. Tidak mau taat pada perintah yang membahayakan dirinya atau orang lain, atau bertentangan pada agama, itu justru sedang menolong, bukan kurang ajar.

Kedzoliman termasuk kekerasan seksual itukan akarnya adalah relasi kuasa yang tidak imbang. Jadi kita harus membangun atmosfer, apalagi di dunia pendidikan yaitu atmosfer saling tolong menolong agar semua pihak itu tidak menjaid korban ataupun pelaku.

Dan ini hanya mungkin jika semua pihak membangun kesadaran bahwa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga intelektual, apalagi makhluk seksual, apalagi objek seksual.

Laki-laki dan perempuan itu makhluk intelektual dan spiritual. Bahkan disebut manusia itu karena kemampuannya untuk berakal budi dengan baik. Kesadaran ini penting sekali.

Jadi semua lembaga pendidikan mesti membangun kesadaran kemanusiaan sepenuhnya, bahwa manusia adalah makhluk akal budi sehingga pergaulannya itu bisa menajamkan dan mencerdaskan spiritualitas.

Hindari tafsir agama yang bias, hindari guyonan sexist, hindari catcalling, hindari sikap-sikap yang rentan membuat semua menjadi pelaku atau pun korban.

8. Tetapi kan faktanya bersikap kritis terhadap guru atau kiai dan keluarganya merupakan tradisi yang sukar dilakukan?

Harus semuanya dipahami secara proporsional agar tidak disalah gunakan. Tradisi taat pada guru itu baik, tapi harus disadari secara kritis.

Kesadaran kritis, makhluk berakal budi itu cirinya adalah kritis. Dia tau mengapa harus taat dan sampai mana dia boleh taat. Taatnya buat apa, tentu saja untuk membawa maslahah kedua belah pihak.

Jadi tradisinya itu bagus, yang harus diperbaiki dan diwaspadai adalah penyalah gunaannya. Tapi harus dua sisi ya, misalnya hanya menekankan pada guru sementara tanggung jawab guru untuk melindungi muridnya kurang banyak disampaikan.

Bukan hanya kewajiban pihak yang lebih lemah yang harus disampaikan tetapi juga dalam pihak yang lebih kuat. Jadi keseimbangan dari kewajiban kedua belah pihak harus disampaikan.

9. Bagaimana sebenarnya Islam menekankan keberimbangan antara sikap takzim kepada guru di satu sisi dan kritis di sisi lain?

Hadist nabi, ya, nabi mengingatkan bahwa tidak ada ketaatan pada sesama makhluk dalam maksiat kepada Allah. Maksiat itu tidak hanya zina, mencuri membunuh, tapi semua kejahatan itu maksiat.

Sesungguhnya ketaatan pada makhluk itu hanya pada nilai. Maka apa artinya? Patuh itu kepada nilai. Maka bukan murid harus taat pada gurunya, tetapi murid dan guru harus taat pada kebaikan bersama.

Senior junior, senior kan suka meminta junior taat mutlak pada senior. Dan kekerasan fisik dipandang sebagai hak biasa. Maka harus dibangun kesadaran bahwa bukan junior taat kepada senior tetapi junior dan senior harus taat pada nilai kebaikan bersama.

Jadi hanya taat mutlak kepada Allah. Sedangkan, sesama makhluk taat kepada nilai kebaikan bersama.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER