Kenapa DPR dan Pemerintah Setuju-Setuju Saja Soal Tuntutan Kades?

25 Jan 2023 19:01 WIB

thumbnail-article

Dokumentasi - Sejumlah kepala desa (kades) dari sejumlah daerah membubarkan diri usai berunjuk rasa di depan gedung DPR RI Jakarta, Selasa (17/1/2023). ANTARA/Walda Marison/aa.

Penulis: Rahma Arifa

Editor: Akbar Wijaya

Setelah menuntut perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) juga meminta diperbolehkan menjabat hingga tiga periode atau 27 tahun.

Alasannya karena kepala desa (kades) yang sudah dua periode terpilih tidak bisa menikmati perpanjangan masa jabatan sembilan tahun ketika tuntutan ini dikabulkan.

Apdesi menuntut revisi UU Desa dilakukan sebelum Pemilu 2024 jika pemerintah dan DPR RI benar-benar serius mewujudkan janji politik mereka. 

Apdesi juga meminta peningkatan dana desa sebesar 7-10% dari APBN 2024 atau setara dengan minimal Rp150 Triliun. Sunan menyebut porsi anggaran 2,56% terbilang kecil  untuk desa yang merupakan 91% wilayah dan mencakup 85,1% penduduk negara.

“Kami mengharapkan keseriusan pemerintah dan khususnya DPR RI untuk mewujudkan jika benar-benar partai politik dan DPR ingin disebut peduli akan pembangunan Desa,” tutupnya.

Sebelumnya ratusan kades melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR menuntut perpanjangan masa jabatan selama 9 tahun. Wacana tersebut juga bukan tanpa kontroversi. Sejumlah kritik dilangsungkan perihal masa jabatan yang terlalu lama dan potensi korupsi Dana Desa yang jumlahnya tidak sedikit. 

Namun, sejumlah perwakilan partai politik telah menyatakan persetujuannya atas tuntutan tersebut. Hampir seluruh fraksi DPR RI sepakat untuk merevisi UU Desa tentang masa jabatan Kades. Dengan ini, penetapan revisi tersebut tinggal menunggu pemerintah.

Menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin, sikap-sikap persetujuan atas tuntutan tersebut menunjukkan pragmatisme elit politik dalam mengamankan dukungan Kades untuk pemilu mendatang.

Pasalnya, Kades memiliki pesan besar dalam menentukan suara dan sikap politik masyarakat desa dalam memilih partai politik, caleg, maupun capres cawapres.

Ujang menilai tuntutan dan persetujuan masa jabatan kades sebagai simbiosis mutualisme.

Pasalnya, tahun politik menuju Pemilu 2024 menciptakan momentum transaksi politik antara kedua pihak. Di satu sisi, para politisi memiliki wewenang mengambil kebijakan untuk mendapat keuntungan elektoral dari dukungan kades, di sisi lain kades juga memiliki bargaining power yang kuat untuk mencapai ambisinya.

“Ini kan soal jual beli kepentingan. Momentum politik yang dimaksimalkan dan digunakan kepala desa untuk menaikkan masa jabatannya” kata Direktur Indonesia Political Review (IPR) tersebut kepada Narasi, Rabu (24/1/2023).

Ujang menyebut kades memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat desa.

Bukan hanya tokoh yang dikenal, seorang Kades memiliki pemahaman tentang dinamika, opini dan logika masyarakat. Dengan ini, merealisasikan tuntutan kades bisa disamakan dengan mengamankan dukungan suara elektoral desa yang cukup besar.

“Maka mau tidak mau, bagi politisi di istana ataupun di DPR, suka tidak suka, senang tidak senang, pasti meng-iya-kan.” sebutnya.

Ujang menyebut pragmatisme dalam isu tersebut mencerminkan absennya sikap kenegarawan para elit politik.

Sebab ini menunjukkan bagaimana kepentingan politik elektoral yang melupakan dampak jangka panjang pada pembangunan dan kebijakan desa. Menurutnya, perpanjangan masa jabatan kades hanya menambah potensi korupsi yang telah marak terjadi.

Menurut pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), Dana Desa merupakan sektor dengan kasus korupsi tertinggi pada 2021, yakni 154 kasus dengan potensi kerugian Rp 233 miliar.

Selain itu, ICW juga melaporkan terdakwa kasus korupsi paling banyak merupakan dari perangkat desa dan pemerintah daerah pada 2021. Perangkat desa dan pemerintah menjadi pekerjaan dengan angka dakwaan korupsi tertinggi sejak 2018 sampai 2021.

Besarnya Dana Desa yang dikelola kades dan masa jabatan yang terlalu panjang, menurut Ujang, hanya akan membuka ruang lebih besar untuk penyalahgunaan.

Sehingga, semestinya pemerintah memilih solusi yang lebih proporsional, bukan asal menyetujui permintaan Kades.

“Kekuasaan yang terlalu panjang, atau absolut, korupsinya juga absolut” ujar Ujang.

Pada tahun 2022, lebih dari Rp 67 Triliun disalurkan pada Rekening Dana Desa (RKD) untuk 74.960 desa dengan pagu anggaran Rp 68 Triliun.

Jumlah ini termasuk bantuan Alokasi COVID-19 dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa yang masing-masing mencapai Rp 1.3 Miliar dan Rp 27.2 Triliun.

Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar menyatakan persetujuannya atas perpanjangan masa jabatan kades. Ia berharap revisi UU Desa dapat segera masuk dalam Prolegnas DPR RI tahun 2023. 

Halim menilai perubahan tersebut penting untuk menyelesaikan ketegangan pasca pemilihan kades yang kerap menciptakan polarisasi di masyarakat.

Dengan perpanjangan masa jabatan akan menambah jeda antara Pilkades sehingga dapat meredam konflik yang kerap menghambat pembangunan desa.

“Sehingga membutuhkan waktu cukup lama, lebih dari satu sampai dua tahun unutk meredakan ketegangan itu. Di sisi lain, suasana kompetisi sudah mulai terasa lagi sejak satu sampai dua tahun sebelum perhelatan Pilkades berikutnya” kata Halim (18/1/2023).

Halim juga menyebut perpanjangan masa jabatan tidak akan menambah total maksimal masa jabatan kades, yakni 18 tahun.

Bedanya, periode yang awalnya berlangsung 6 tahun dengan maksimal tiga periode jabatan diubah menjadi 9 tahun dengan maksimal dua periode. Dengan ini, jika terdapat pemerintah tetap membatasi dua periode, seorang kades menjabat paling lama 18 tahun.

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER