Kronologi Konflik Rohingnya: Tidak Hanya Sentimen Agama Namun Juga Kepentingan Politik Ekonomi

28 Nov 2023 11:11 WIB

thumbnail-article

Ilustrasi - Imigran Rohingya di UPTD Ladong Aceh Besar (ANTARA/Khalis Surry)

Penulis: Elok Nuriyatur

Editor: Indra Dwi Sugiyanto

Baru-baru ini media dihebohkan dengan datangnya ratusan orang imigran Rohingya ke pesisir pantai Aceh Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh.

Etnis Rohingya sendiri merupakan merupakan penduduk minoritas beragama Islam yang bertempat tinggal di daerah Myanmar tepatnya Provinsi Arakan di sisi sebelah barat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh, dan sekarang dikenal dengan provinsi Rakhine atau Rakhaing.

Diperkirakan bahwa etnis Rohingya adalah keturunan campuran dari Arab, Moor, Turki, Persia, Mogul, Pathan, Bengali lokal dan Rakhine. Lantas bagaimana sejarah dan konflik Rohingya di Myanmar?

Sejarah Rohingya

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa etnis Rohingya di Myanmar sendiri adalah penduduk minoritas beragama Islam.

Pada mulanya setelah kemerdekaan Myanmar, yaitu pada masa kepemimpinan Jenderal Aung San, etnis Rohingya menjadi salah satu etnis yang memiliki peranan dalam pemerintahan Myanmar.

Bahkan ada warga Rohingya yang menjadi menteri di pemerintahan Myanmar pada tahun 1940-1950.

Namun, pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta hingga pada akhirnya Ne Win berhasil menjadi Presiden di Myanmar, sistem politik Myanmar berubah menjadi lebih otoriter.

Kronologi Konflik Rohingya

Konflik yang kerap muncul di Myanmar yang melibatkan antar etnis terjadi dalam kurun 1991 sampai sekarang.

Banyak faktor yang menjadi pemicu awal dari konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskriminasi warga minoritas dan masalah entitas etnis.

Perlakuan diskriminatif terhadap Etnis Rohingya, antara lain disebabkan oleh status mereka yang berbeda. Salah satu akar konflik tersebut adalah status etnis Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar.

Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui serta tidak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat karena tidak memiliki kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak.

Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein pada tahun 2012, dimana Myanmar tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh.

Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948.

Adanya kecemburuan dari etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya.

Kronologi konflik Rohingya selanjutnya adalah adanya kecemburuan dari etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut dikarenakan populasi etnis Muslim Rohingya dalam beberapa tahun terus meningkat.

Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya dianggap sebagai sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim Rohingya.

Etnis Rohingya yang banyak menjadi korban perampasan tanah melampiaskan kekecewaannya pada etnis Rakhine yang jauh lebih dilindungi oleh pemerintah.

Sejak saat itu, tingkat kebencian warga Muslim Rohingya semakin besar dengan etnis Rakhine dan konflik antar keduanya sering menimbulkan kerusakan dan pertikaian yang berlarut-larut di Provinsi Rakhine.

Konflik yang awalnya banyak tidak diketahui dunia luar

Pada awalnya konflik Rohingnya tidak banyak dunia tahu, sampai akhirnya pada bulan Juni-Agustus tahun 2012 banyak media Internasional yang memberitakan fakta-fakta konflik Rohingya.

Hal tersebut memancing kemarahan dari etnis Rakhine yang kemudian berakhir pada konflik yang tidak terhenti.

Puncak dari konflik ini ditandai dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingnya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah etnis.

Bahkan tentara dan polisi Myanmar diduga ikut memprovokasi kedua etnis dan turut menyerang perkampungan Rohingnya.

Hingga pada akhirnya pada tanggal 21 Maret 2022, Amerika Serikat secara resmi menyatakan bahwa kekerasan tahun 2017 merupakan genosida, dengan mengatakan ada bukti yang jelas dari upaya untuk "menghancurkan" Rohingya.

Topik:

Apa Komentarmu?

Tulis komentar

ARTIKEL TERKAIT

VIDEO TERKAIT

KOMENTAR

Latest Comment

Belum ada komentar

Jadilah yang pertama mengirimkan komentar untuk bertukar gagasan dengan pengguna lainnya

TERPOPULER